13 - Harapan untuk Tinggal

1K 155 8
                                    

.
.
.

Derasnya suara keran air yang dinyalakan di toilet laki-laki, terdengar memenuhi tiap sudut ruangan lembap itu, yang sedang dipenuhi pemuda-pemuda yang asyik mengobrol--yang dimana beberapa dari mereka membawa sepuntung rokok yang dihimpit di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka. Sementara itu, Arsa sibuk mencuci tangannya di wastafel.

Arsa hendak melangkah pergi setelah urusannya selesai di toilet, namun panggilan dari salah satu dari orang-orang itu, menghentikan langkahnya.

"Gabung, Sa?" tawarnya ramah tamah, sembari menunjukkan sebungkus rokok pada Arsa. Namun Arsa menggeleng, "Kaga dulu, Ga."

"Kenapa?"

"Biasa. Basket." Arsa terkikik, seraya memperagakan teknik dribble.

Orang itu berdecak kecewa sebab Arsa menolak tawarannya, sedangkan sisanya nampak tidak peduli, atau malah menampakkan ekspresi seolah berkata, "Bener 'kan kata gue."

Arsa pergi dari sana, meski begitu, percakapan mereka yang bilang kalau Arsa berusaha menghindari mereka dengan alasan bermain basket, terdengar samar-samar di telinganya. Tapi Arsa sama sekali tidak mau peduli, karena kini, yang jadi pusat perhatiannya adalah, sepatu yang sedang dikenakannya.

Sepatu ini sudah robek di beberapa bagian, sudah tidak nyaman lagi untuk dipakai bermain basket, namun bukan itu masalahnya. Yang jadi masalahnya adalah, sol dari sepatu itu yang sudah lepas. Ya... mau bagaimana lagi? Selain dipakai panas-panasan saat upacara bendera, dipakai becek-becekan saat hujan, sepatu ini juga dipakai buat latihan basket tiap minggu.

"Ni sepatu nyusahin bener. Baru beli kemarin, udah rusak aja. Lemah banget lo."

Dari pada mengganggu latihan basketnya nanti, Arsa memutuskan untuk melepas sepatu itu, juga kaus kaki yang dipakainya saat ini.

Di depan sana, sudah ada Astala yang melihat ke arahnya dengan ekspresi bingung, begitu melihat kaki Arsa yang telanjang sama sekali.

Begitu Arsa ada di hadapannya, Astala langsung bertanya, "Sepatu lo kemana?"

"Sepatu gue solnya lepas. Dari pada ganggu waktu latihan nanti, mending gue lepas."

"Memangnya teu bakal sakit kaki lo? Lapangan 'kan banyak kerikilnya."

Arsa menggeleng yakin lalu menjawab, "Enggak. Tenang aja lah."

Setelah menaruh sepatunya di bangku dekat lapangan basket, Arsa langsung mengambil bola basket kemudian berlari menuju lapangan. Mendribble bola itu dan memainkan teknik-teknik dalam permainan basket, bahkan tanpa pemanasan. Sebentar, Arsa belum pernah mengabaikan hal penting seperti pemanasan sebelumnya!

"Woy, Sa! Pemanasan dulu, goblok!" teriak Rangga dari kejauhan.

Arsa nggak menggubris sama sekali, cowok keras kepala itu malah tetap melanjutkan permainan basketnya. Sampai sifat keras kepalanya sendiri itu berhasil menjerumuskannya pada sebuah kecelakaan saat ia hendak memasukkan bola kedalam ring dengan teknik jump shot. Ia terjatuh, bola pun tidak masuk. Apes banget!

Awalnya, ringisan kecil serta ekspresi kesakitan yang diciptakan Arsa, hanya dikira lelucon oleh teman-temannya. Namun ketika, ringisan kecil itu berubah jadi sebuah teriakan minta tolong, mereka langsung mendekat panik.

Rangga dan Jevan langsung bergerak, membantu Arsa yang sedang mendesis menahan sakitnya pergelangan kakinya saat ini.

"Sakit, Sa?" tanya Rangga.

"YAIYALAH!" Arsa menyahut dengan nada membentak.

"GOBLOK SIH! 'Kan udah gue suruh pemanasan dulu. Malah nggak digubris. CUIH!" bentak Rangga kesal.

A(R)SA • Haechan [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang