note; aku punya nama lain untuk bab ini, "Keputusan Besar Arsa".
--------
Selamat membaca cintah *tink.
.
.Giandra membuka pintu mobilnya yang ia parkirkan di depan sebuah toko alat musik. Ia sempat terpaku pada toko tersebut, sebelum mulai melanjutkan langkahnya.
Tiap langkahnya, seakan membawa Giandra kembali pada masa kecilnya. Saat ulang tahun Arsa yang ke-6. Giandra dan Papa kemari, mengelilingi seisi toko ini, untuk mencarikan gitar terbaik sebagai hadiah ulang tahun buat Arsa.
Tapi Giandra tahu, itu tinggal kenangan.
Seperti kata lagu, Secukupnya oleh Hindia, "Wisata masa lalu... ku hanya merindu..."
Giandra menilik jam tangan yang dipasang di tangan kirinya. Sudah sore dan sebentar lagi malam. Itu artinya Giandra harus cepat-cepat karena ia tidak mengabari Mama sama sekali, sebab ponselnya mati saat hendak mengirim pesan pada Mama tadi.
Sebenarnya, Giandra hendak menelfon Arsa, meyakinkan sekali lagi pada anak itu untuk mengiyakan ajakannya untuk membeli gitar baru. Tapi ntah kenapa Giandra yakin sekali pasti jawabannya, "Nggak mau". Soalnya Arsa itu kukuh sekali sama pendiriannya. Giandra sendiri masih nggak paham kenapa bisa begitu.
Untuk membiarkan Arsa hanya duduk termangu dengan tampang sedihnya di teras rumah, sangatlah sulit bahkan mustahil bagi Giandra. Ia benar-benar nggak bisa lihat adiknya yang biasa ceria jadi sedih. Jadi, lebih baik Giandra belikan yang baru aja buat Arsa. Siapa tahu, setelah diperlihatkan gitar baru, moodnya jadi naik lagi.
Semoga.
Saat Giandra hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam toko itu, tiba-tiba seseorang memanggilnya dari belakang.
Kaki kanannya melangkah, sedikit demi sedikit mendekat pada pintu masuk toko alat musik itu. Tangannya hendak mendorong pintunya, sesaat sebelum terdengar suara seseorang yang memanggilnya dari belakang.
"Bang Gian."
Giandra mengenali pemilik suara itu.
Ia sontak menoleh ke belakang. Membulatkan matanya, sedikit terkejut melihat siapa pemilik suara itu, yang memanggilnya barusan.
-
"Kamu ngapain, Bang, ke toko alat musiknya temen Papa, ada kepentingan?"
"Bukan apa-apa, aku... aku cuma pingin beliin Arsa gitar baru. Hadiah karena dapat juara satu turnamen kemarin."
Giandra menunduk, memainkan jemarinya. Di samping tangannya, ada segelas kopi susu dingin yang belum sama sekali dijamahnya sejak pertama kali gelas itu diletakkan di sana. Sementara pria yang kini duduk di hadapnya, menaikkan alisnya, sedikit terkejut, "Adik kamu menang turnamen, Bang? Kenapa nggak kabari Papa? 'Kan nanti Papa kasih hadiah."
Tidak tahu karena apa, Abang tiba-tiba menggeleng, "Kasihan Arsa," sahutnya yang langsung buat Papa bingung.
"Maksud kamu?"
Alih-alih menjawab, Giandra malah kembali menggelengkan kepala. Enggan menjawab.
Tiba-tiba, Papa mengulurkan uang pada Giandra. Giandra sempat terkejut melihat uang-uang itu, "Untuk apa, Pa?"
"Untuk beli gitar baru buat Arsa."
Untuk kesekian kalinya, Giandra lagi-lagi menggeleng. Ia mendorong tangan Papa, bermaksud menolak pemberian Papa, "Nggak usah. Aku ada uang kok, Pa. Sengaja kemarin aku sisihin buat ini," tolaknya. ia menggaruk hidungnya, merasa tidak nyaman. Bukan karena apa-apa, Giandra hanya ngerasa nggak enak untuk bohong sama Papa. Tapi, kebohongan Giandra bukan tanpa sebab, itu ia lakukan hanya agar Papa tidak tahu masalah yang terjadi kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
A(R)SA • Haechan [ END ]
Fanfiction"Mama, asa Arsa kali ini sederhana. Arsa hanya ingin cerita ini berakhir bahagia." Saat semesta menolak mewujudkan asanya berkali-kali dan enggan mendukungnya berkali-kali, Arsa Chandra Adhikari dan keberaniannya melawan arus kisah, membuktikan bahw...