Part 23: Sedikit Kejutan

1.4K 262 104
                                    

Wangi harum panggangan roti menguar dan menggelitik indera penciuman Mark ketika pemuda kelahiran agustus itu membuka pintu kamarnya. Senyumnya tanpa sadar mengembang setelah mencium salah satu aroma kesukaannya itu, ditambah lagi melihat Mama dan Papanya —yang sudah pulang dari tugas— duduk di meja makan.

Diambilnya langkah demi langkah menuruni tangga hingga sampai di lantai dasar rumahnya. Pemuda itu tersenyum melihat Mamanya yang telah duduk di meja makan bersama Papanya yang sedang meminum kopi dengan mata fokus pada layar iPad-nya.

"Morning, Mom, Dad" Sapanya.

"Morning, Little Lion" Balas Mama lalu memberikan potongan roti pada putranya. "Gimana tidurnya? Nyenyak? Mimpi apa semalem?"

"Nyenyak dan aku lupa mimpi apa. Aku langsung lupa begitu bangun tidur" Meja makan itu dihiasi tawa Ibu dan anak itu setelahnya.

Tapi tawa itu tak berlangsung lama karena Mark sadar, hanya Mark dan Mama yang tertawa. Tawa Papa tak terdengar di rungu pemuda Agustus itu,  membuat Mark menoleh melihat Papa fokus melihat layar iPad sesekali menyuap potongan roti dengan garpu.

"Papa pulang kapan? Kok tadi malem aku nggak lihat?"

"Because you sleep too early"

Bulukuduk Mark seketika meremang.

Papa itu tidak pernah sekali pun menaikkan suaranya pada Mark.

Papa itu tak pernah membentak Mark ataupun Kakaknya —Taeyong.

Satu-satunya hal yang menandakan Papa sedang marah hanyalah suara yang sangat dingin dan tegas, seperti kali ini. Dan itu membuat Mark menelan ludahnya. Ini bukan pertanda baik. Mark sangat paham itu. Dalam dirinya seperti ada alarm yang menayakan bahwa ketika Papa sudah seperti itu, yang harus Mark lakukan adalah menunduk dan patuh. 

Mark tak lagi bisa melihat ekspresi Papa, tapi suara iPad yang berbenturan pelan dengan meja membuat Mark sadar, Papa sudah fokus untuk memarahi Mark saat itu juga.

"How can you sleep that early disaat nilai kamu jelek semua?"

"Pa..." Mama mengingatkan dengan suara halusnya. Merasa tidak perlu membahas ini pagi-pagi sekali, tidak juga ketika mereka sedang di meja makan.

Mark makin menunduk, tangannya yang awalnya memegang garpu dan pisau juga sudah beralih ke bawah meja. Pemuda itu jelas paham kemana arah percakapan ini bermuara.

"Lima nilai kamu turun ke angka 90, Mark Lee. Bisa-bisanya kamu santai-santai dan tidur lebih awal?" Papa tanpa sadar menaikkan kecepatan suaranya, membuat jantung Mark juga tanpa sadar menaikkan kecepatan detaknya.

"Pa, udah ya. Masih pagi, dibahas lagi nanti" Mama lagi-lagi menengahi. Nanar ditatapnya bungsunya yang menunduk ciut itu. Berkali-kali dalam hatinya ia mengucap maaf karena selalu tak berdaya di depan sang suami.

"Nggak bisa" Papa menyahut cepat, tanpa sadar bahkan telah melepaskan garpunya hingga membuat denting nyaring pertemuan garpu dan piring. "Dia bahkan urutan nomor 3 di pembagian kelas IPA 1. If he can study harder, pasti bisa nomor satu dan nggak malu-maluin Papanya"

Papa benar, Mark ada di urutan tiga diantara dua puluh siswa IPA 1. Papa tidak salah. Mark juga tidak masalah jika Papa memarahinya karena ini. Karena faktanya seperti itu.

"I will study harder, Pa" Pemuda itu mencicit pelan seiring tunduknya yang makin dalam.

"As you should!" Kata Papa. "Kakakmu bahkan selama sekolah nggak pernah dapet nilai 90, selalu diatas itu. Harusnya kamu belajar dari Kakakmu, harus bisa lebih hebat dari Kakakmu"

Geng Ubur-Ubur: Dream, Fear, And LoyaltyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang