Part 38: Missing Link

1.1K 185 32
                                    

Kim Yona
 

|Abang
|Ditungguin Ayah di rumah
 

Ada apa?|
 

|Papa tau soal lagunya Kak Changbin
 

Opa ada?|
 

|Baru Ayah yang tau
 

Yuna?|

|Udah gue anter ke rumah Arvel
|Nanti gue temenin sama Mama
|Nggak usah khawatir
 

Bilang aja sama Bunda nggak usah| khawatir|
 


Yohan menghembuskan nafas kasar lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Langkahnya yang berat karena lelah sehabis latihan makin terasa berat kala ia mengatahui bahwa hal yang ia takutkan selama ini akan ia hadapi tak kurang dari satu jam.
 
Ayahnya dan mimpinya.
 
Yohan sadar betul dua hal itu tak akan menyatu. Sampai kapanpun. Maka dari itu sejak awal Yohan memutuskan membantu lagu-lagu Changbin, Yohan sudah membuat alibi, alasan, atau apapun untuk setidaknya mengendurkan sikap kaku Ayah kala mendengar berita Yohan berkecimpung di dunia musik.
 
Sayangnya, alibi dan alasan tersebut tetap saja menguap saat Yohan dihadapkan langsung pada kenyataan bahwa, Yohan akan membuat Ayah kecewa.
 
“Yo!”
 
Pemuda jangkung itu berbalik, mencari sumber suara yang memanggilnya.
 
“Oi” Yohan balas menyapa Hyunsuk yang menyapanya.
 
“Belum balik?”
 
Yohan menggeleng, “Baru kelar latihan, ini mau balik. Lo?”
 
“Abis ngobrol sama Taca terus udah selesai, ini juga mau balik.”
 
Hyunsuk memasukkan dua tangannya ke dalam saku celana kanan kirinya lalu berkata, “Oh iya, besok lo ikut ke studionya Changbin kan? Lagunya bentar lagi kelar. Design cover lagunya juga udah diselsein Wooyoung tadi, jadi bisa lah minggu ini upload ke soundcloud.”
 
Sial, sial, sial. Yohan lupa. Masih ada satu lagu dan demo yang akan diunggah di soundcloud Changbin dan pasti namanya ada disana.
 
“Nama gue ada ... di credit?”
 
Hyunsuk terkekeh geli seakan pertanyaan Yohan adalah pertanyaan paling lucu yang pernah ia dengar, “Tiba-tiba? Ya ada lah, biasanya juga gitu. Kan lo ikut bikin lirik.”
 
“A-ah... Iya” Yohan tersenyum kaku, “Ayo balik, udah sore.”
 
Dua pemuda itu kemudian mengendarai motor masing-masing dan saling membunyikan klakson di depan gerbang sekolah untuk saling berpamitan karena mereka mengambil arah yang berbeda dan juga … emosi yang berbeda.
 
Hyunsuk hari ini senang sekali karena Tasya mulai berbicara banyak padanya. Banyak dalam artian, Tasya mulai mengeluh pada Hyunsuk akan susahnya PR matematika, galaknya Pak Setyo di kelasnya, juga tentang pulpennya yang diam-diam diambil Chani. Itu hal-hal kecil, sangat sepele, tapi mampu membuat senyum Hyunsuk mengembang selama perjalanan pulang. Ia sangat suka, karena itu tandanya Tasya mulai terbuka padanya.
 
Kontras dengan Yohan yang menggenggam gas motornya kuat-kuat. Disalurkannya emosi pada kemudi motornya hanya agar ia tidak berteriak seperti orang gila di tengah jalan. Kepalanya sungguh ingin pecah dan Yohan benar-benar butuh pelepasan.
 
Bagi Yohan, lelah fisik tidak ada apa-apanya dibanding lelah batin, dan hari ini buktinya. Entah dengan cara apa agar hatinya terus lapang dan tak lagi sesak.
 
Sayangnya hingga motor besarnya terparkir rapih di garasi rumah, beban di dadanya tak kunjung hilang. Beban yang entah sampai kapan akan pudar dengan sendirinya.
 
“Abang pulang.”
 
Mendengar suara sulungnya, Bunda dan Yona yang sudah menunggu langsung buru-buru menyusul.
 
Bunda dengan raut khawatirnya memberikan sulungnya senyum terbaik, diusap lembut bahu anak laki-lakinya penuh sayang demi menyalurkan kekuatan yang bisa ia berikan, “Mandi gih, abis itu susulin Ayah di balkon. Nanti Bunda temenin.” Kata Bunda.
 
Yohan menggeleng dna tersenyum tipis, “Nggak usah, Bun. Abang aja sendiri”
 
Kembali diusapnya bahu putranya yang entah sejak kapan sudah selebar ini, anak Bunda sudah besar ternyata. Harusnya di usianya yang sekarang, putranya memiliki kebebasan untuk memilih dan melakukan apapun, tapi Bunda justru mengucapkan beribu maaf karena beliau tidak bisa memberi kebebasan itu pada sulungnya.
 
“Maafin Ayah ya, Bang”
 
Apa pernah Abang nggak maafin Ayah?’ ingin sekali Yohan membalas demikian, tapi ia masih waras. Kalimat itu hanya akan menyakiti Bundanya. Sehingga yang mampu ia lakukan hanya menghela pelan.
 
“Nggak apa-apa, Abang tau Ayah juga korban disini”
 
Yohan lalu menggeser bahu Bunda untuk lebih mendekat pada Yona, memberi tahu adiknya agar menjaga Bunda mereka selagi Yohan mandi dan menyusul Ayah. Kepala pemuda itu butuh diguyur air agar bebannya sedikit luntur terbawa air, agar kepalanya tetap dingin.
 
Lima belas menit kemudian pemuda jangkung itu sudah berdiri di pintu balkon. Ia menatap punggung kokoh sang Aayah sebentar lalu mengambil duduk di kursi sebelah Ayah yang dibatasi meja kecil diantara keduanya.
 
“Kenapa, Yah?” Yohan membuka suara, “Kata Bunda mau ngomong sama Abang.”
 
“Bagus” Kata Ayah sambil menatap jauh langit yang menggelap, membuat Yohan yang mengernyit samar, tak mengerti. Hingga akhirnya Ayah melanjutkan, “Liriknya.”
 
“Hmm. Kata temen-temen, Abang punya potensi buat nulis lirik lagu,” Yohan meneguk sebentar dan melanjutkan, “Kaya Ayah.”
 
Pandangan Ayah tak bergeser satu inchi pun dari objeknya meskipun putranya baru saja menyentuh titik paling ia sembunyikan.
 
“Kamu mau jadi kaya Ayah, Bang?”
 
History repeat itself, Yah. Buah jatuh juga nggak jauh dari pohonnya. Abang kaya digiring untuk ikut jalan yang pernah Ayah lewati. Gladly, Abang suka jalan itu.”
 
“Ayah yang nggak suka.”
 
Tahu. Yohan amat sangat tau jawaban ini.
 
“Jalan Ayah untuk sampe sini itu nggak mudah. Dan Ayah nggak suka kalo liat kamu jatuh bangun di jalan yang sama nantinya.”
 
Pandangan yang mulanya terpaku pada langit yang menggelap, kini Ayah alihkan pada raut wajah putranya yang sama gelapnya. Sama mendungnya.
 
“Cari jalan lain yang lebih aman dan minim resiko, Bang. Nilai kamu bagus, Taekwondo jalan, koneksi Kakek, koneksi Ayah, koneksi Bunda, semuanya kamu punya. Cukup ikutin jalan yang dibuat Kakek kamu, jalan itu udah sangat bagus buat kamu.”
 
Ayah tidak buta, Ayah jelas melihat mata putranya sendu dan terluka. Maka dari itu Ayah diam sejenak. Pria itu memalingkan pandangannya dan mengerjap sebentar. Karena lebih dari menghadapi Yohan, ia juga seperti sedang menghadapi bebalnya dirinya di masa lalu.
 
“Kamu satu-satunya cucu Kakek yang cowok dan udah gede. Axel, Gary, sama Dave masih di pre-school dan SD. Besar harapan Kakek dan Ayah untuk kamu ikut ngurus bisnis keluarga nantinya, makanya Ayah setuju kamu masuk IPS.” Dihelanya nafas berat lantas melanjutkan. “Maka dari itu berhenti. Nggak usah lanjut main musik lagi. Fokus sekolah sama Taekwondo aja. Olimpiade sebentar lagi. Berhenti sebelum Kakekmu tau”
 
“Yohan nggak mau” Yohan menjawab kelewat cepat. Dengan berani, ia menatap Ayah, “Main musik itu Cuma hobi Abang, Yah. Ayah liat sendiri, walaupun Abang main musik, nilai Abang nggak pernah turun, Taekwondo aman, semuanyaㅡ”
 
“AYAH JUGA!” Ayah menyentak marah. Membungkam bukan hanya Yohan, tapi juga dirinya sendiri.
 
Dipejamkannya mata sejenak. Menetralkan emosinya agar tak lagi meledak di depan putranya. 
 
“Ayah juga dulu mulai dari hobi, Kim Yohan.” Tegas Ayah.
 
Pria itu kemudian berdiri dan menyampaikan konklusinya. “Jadi sebelum kamu terlalu jauh, berhenti sekarang. Ayah nggak nerima bantahan.”
 
Langkah Ayah sampai di pintu balkon saat Yohan tiba-tiba bersuara dan menghentikan langkah Ayah.
 
“Gimana rasanya, Yah?”
 
“Gimana rasanya ketemu temen seperjuangan Ayah dulu?”
 
Ayah menoleh dan mengernyit samar pada putranya
 
Yohan berdiri dan balas menatap Ayah. “Gimana rasanya ketemu Choi Ji Young lagi? Or can I call him GD? Ayahnya Hyunsuk.”
 
Ayah spontan membulatkan matanya.
 
“Abang tau, Om Jiyoung itu bukan orang yang mau ribet ikut kumpul keluarga, Yah, apalagi perkumpulan yang completely stranger. Hyunsuk berkali-kali bilang gitu.”
 
Dengan matanya yang mulai berair, Yohan menatap tepat binar tegas sang Ayah. “Tapi hari itu, di rumah Wooyoung, Abang jelas tau kalo Om Jiyoung dateng bukan karena mau ikut kumpul, tapi mau ketemu Ayah; temen lama dari panggung yang sama.”
 
“KIM YOHAN!”
 
“Abang nggak pernah nolak, Yah.” Lagi, Yohan menjawab cepat. “Ayah minta pindah-pindah sekolah, Abang nurut. Ayah minta Abang Taekwondo, Abang nurut. Ayah minta Abang SMA di Angkasa, Abang nurut. Kali ini aja, Yah, kali ini ajaㅡ”
 
“Kamu tau kenapa Ayah nggak mau kamu ikut jalan Ayah?”
 
Kali ini Yohan tak menyela, pemuda itu ingin mendengar.
 
“Ayah Cuma nggak mau ketika kamu di puncak karirmu, ketika kamu sedang bersinar, KETIKA KAMU SEDANG BAHAGIA DI PANGGUNG! ... ”
 
Dada Ayah naik turun emosi, namun harus dibuatnya si sulung mengerti alasan dari tindakannya sekarang.
 
“Kamu harus dimatikan oleh alasan dan orang yang sama, Kim Yohan.”
 
 
 
 
 
 
 

Geng Ubur-Ubur: Dream, Fear, And LoyaltyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang