DUA PULUH DUA

127 6 0
                                    

Tempat sanggarnya tidak terlalu modern. Cukup sederhana. Hanya ruangan besar yang berisi banyak kanvas dan cat. Setiap tiga bulan sekali, Attar mengadakan lomba lukis. Yang paling bagus akan diberikan kanvas, cat, dan kuas.

Setiap tahun muridnya semakin banyak. Dari umur enam sampai dua puluh tahun lebih. Sampai akhirnya ia kewalahan dan merekrut orang-orang yang bisa melukis untuk mengajar di sanggarnya. Karena banyak dari muridnya yang tak mampu, ia membuat program belajar gratis. Sedikit tidak biasa memang. Di sana, anak-anak orang kaya maupun yang tidak mampu berbaur tanpa ada rasa keki atau sombong.

Ada lagi poin positifnya. Sanggar lukis yang ia dirikan adalah sanggar gratis untuk anak-anak yang berbakat. Di dekat sanggar itu, ada sebuah rumah untuk anak-anak itu tinggal. Kebanyakan anak-anak yang tidak mampu itu sudah tidak memiliki orangtua.

"Yeee!! Kak Attar datang!" Anak-anak menyambut kedatangannya. Dan kemudian mereka tertegun melihat siapa yang berdiri di sebelah Attar. "Ini siapa, Kak?" tanya salah satu muridnya.

"Kenalkan, ini Kak Ruby, istri Kakak," sahut Attar sambil memberikan senyum bangga. "Ruby, kenalkan, ini yang kecil namanya Mita, yang ini Farrel, yang itu Kai, dan yang itu..." blablabla, untuk Ruby yang sudah lama tidak mengasah otaknya, cukup sulit juga menghapal puluhan orang.

Rupanya ia bukan hanya melukis di sana. Ia juga harus menunjukkan, dirinya pantas untuk menjadi istri Kak Attar tersayang ini. Telinganya panas ketika ada salah satu murid suaminya yang menyeletuk, "Cewek Kak Attar yang pirang itu ke mana? Padahal aku mau jadiin dia objek lukisanku loh!" dan disambut Attar dengan, "Ssst, usil banget sih, pengen tau urusan orang aja!". Huh. Menyebalkan!

Seperti dapat membaca pikiran istrinya, Attar menghampiri Ruby yang duduk termenung di teras depan. Nyaman juga duduk di sana. Ada kolam di sekitar mereka, yang menimbulkan suara percikan, mengingatkan Ruby pada kolam ikannya di rumah.

"Anak-anak memang begitu," kata Attar seraya duduk di samping istrinya. "Mereka tidak mengerti dengan apa yang mereka katakan."

"Kamu sering mengajak Lucy ke sini?" Ruby tidak menghiraukan alasan suaminya.

"Ya, kebetulan dia juga punya keluarga di Bali. Dan ketika ia ke Jakarta, ia senang berada di sini. Kadang ia dan anak-anak juga...Ah, pokoknya gitu deh. Jangan dimasukin ke hati."

"Sepertinya anak-anak dekat sekali dengan dia," gumam Ruby gundah. Sejak hamil ia memang menjadi lebih emosional.

"Yah, mau bagaimana lagi? Selain cocok menjadi model para pelukis, dia juga mengajari bahasa Inggris, dan aku rasa itu tidak ada salahnya memberi pengetahuan pada anak-anak juga, kan?"

"Ya, kamu benar. Mikir apa aku ini."

"Jangan diambil pusing, Sayang. Biar aku dan Fariz yang merubah mindset mereka, kalau kamulah ratu di sanggar ini. Tidak ada yang boleh menyakiti hatimu dengan menyebut nama Lucy."

Ya, ya, ya, kamu mungkin kamu bisa membuat berlagak akulah ratunya di sanggar ini. Tapi sepertinya sosok Lucy sudah melekat dengan dirimu. Semua-muanya menanyakan Kak Lucy. Apa kabar Kak Lucy. Mengapa tidak menikah dengan Kak Lucy. Bagaimana bisa bertemu dengan Kak Ruby. Bagaimana bisa menikah dengan Kak Ruby padahal kakak yang pirang jauh lebih cantik. Dan mereka bertanya di depanku. Hah, memuakkan!

Biasanya Ruby sangat menyukai anak kecil. Tapi sekarang ia sadar, ia menyukai anak kecil yang tidak bermulut pedas. Huh, beginikah nasibnya nanti ketika menjadi ibu? Menjadi anak yang menyebalkan jugakah anaknya kelak? Jangan sampai, jangan sampai. Bisa keblinger dia mengurus anaknya.

Sore itu Fariz datang dengan membawakan martabak. Itu memang kebiasaanya. Setiap hari Minggu ia datang dengan makanan. Attar menyambutnya dengan ramah seperti biasanya.

Fariz sedikit terkejut melihat istri Attar. "Aku tidak percaya kamu mengajaknya secepat ini," bisiknya pada Attar. Walaupun begitu, Ruby dapat menduga apa yang dikatakan Fariz pada suaminya. "Tidakkah terlalu cepat? Kalau tahu begini, aku sudah menceritakan pada anak-anak betapa agungnya istrimu! Kamu tahu sendiri, anak-anak kita ini mulutnya macam ember bocor!"

Attar hanya tertawa. Ekspresinya tidak menunjukkan aura negatif. "Aku percaya kamu bisa mengubah keadaan di sini." Ia menoleh pada Kai, muridnya yang paling dipercaya di sana. Postur tubuhnya bagus, tidak berotot, tidak juga kurus. Usianya sekitar dua limaan. "Tolong siapkan kanvas dan cat air, Kai. Istriku ingin melukis," pintanya yang langsung ditanggapi oleh muridnya.

Sebelum menikah Attar tidak tahu bahwa istrinya ini pandai sekali menggambar. Istrinya tampak adem dengan kuas di tangannya. Kuas itu tak pernah sekalipun berhenti bergerak, dan selalu tenang melambai di atas kanvas. Namun bukan ketenangan Ruby saja yang membuat orang-orang di sana termangu.

Married to the Bad Guy (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang