DUA PULUH SATU

133 10 0
                                    


Karena suaminya tiba-tiba mendapat telepon dari sekretarisnya, bahwa ada rapat penting dengan kliennya, mereka harus membatalkan niatnya untuk ke rumah sakit. Sebelum turun ke gedung apartemen Ruby menegaskan untuk menenangkan kekesalan suaminya. "Aku bisa membeli alat tes kehamilan. Kalau masih belum percaya, masih ada hari esok ke rumah sakit, kan?"

Attar mengangguk, tapi rasa kesalnya masih belum luruh dari hatinya. "Take care, ya, Sayang," sebelum istrinya keluar mobil, diciumnya dahi istrinya.

Heran. Suaminya tak pernah bosan menciumnya di mana saja. Apakah itu reaksi dari pengantin baru? Selalu memberi perhatian yang berlebihan? Tak apalah, daripada ia dicueki oleh suaminya.

Ruby segera membeli alat tes itu di apotek. Begitu mendapatkan alat "penentu" hidupnya itu, ia langsung melakukan tes dengan urinnya. Ya Allah... semoga saja dua garis merah muncul di kertas kecil yang berada di tangannya.

POSITIF.

Dua garis itu muncul di kertas itu. Itu artinya.... Ia dan Attar akan menjadi orangtua. Mereka akan mengurus bayi yang dikandungnya. Tapi mengapa hatinya masih resah? Apakah ini karena anaknya will be born out of wedlock? Tidak, bukan itu kalimat yang tepat. Tapi, he was made before married. Ya Allah...

Segala kesalahan harus diakui.

Ruby tidak tahu harus bicara pada siapa. Pada suaminya? Ah, ia kira Attar akan bahagia dengan kabar itu, dan tak terpikir sama sekali olehnya tentang perasaan bersalah istrinya. Pada ibunya? Ia rasa itu ide yang bagus, tapi apa kira-kira reaksi Mami? Memarahinya? Itu sudah pasti. Diceramahi? Apalagi! Mungkin sebaiknya ia menyembunyikan ini dari orang-orang, termasuk keluarganya.

Tapi sampai kapan? Begitu ia melahirkan, orang-orang pasti akan menghitung berapa bulan ia dan Attar menikah, dan tada..... anaknya akan dihina. Tidak, ia tidak akan membiarkan itu terjadi. Ini bukan salah anaknya. Ini terang kesalahan dirinya. Ia yang lalai membiarkan dirinya dipengaruhi gairah yang tak seharusnya ia rasakan saat itu.

Gairahkah namanya, kalau ia melakukannya karena mencintai pasangannya? Yah, apapun itu, yang jelas ia sedang dalam masalah besar. Dan ia tidak ingin menyalahkan keberadaan janin di rahimnya. Apapun yang orang bilang, ia akan mempertahankan si kecil di tubuhnya.

Attar pulang menjelang malam. Didapatinya istrinya tengah melamun di depan TV yang menyala.

"Kok melamun, Sayang?" tanyanya sambil merengkuh istrinya. "Apakah hasilnya memuaskan?"

Ruby menyerahkan alat tes kehamilan itu.

Attar melihatnya sekilas, lalu menatap istrinya kembali. "Lalu apa yang membuat istriku yang cantik ini sedih?"

"Aku hanya memikirkan nasib bayi kita, At," ujarnya masygul. "Apa yang dikatakan orang, kalau mereka tahu..."

"Persetan dengan kata orang, Ruby," potong Attar geram, mengerti maksud kalimat istrinya. "Maaf, aku tahu aku orang yang mudah marah. Tapi itu resiko perbuatan kita. Dan kalau kita tidak menjadi orang yang menyebalkan, orang tidak akan memberi komentar negatif. Lagipula, kita bukan Brad Pitt dan Angelina Jolie yang selalu disorot media. Apa yang harus kamu khawatirkan?"

"Bagaimana reaksi keluargamu kalau tahu mengenai hal ini?"

"Ah, mereka sudah peduli saja sudah syukur!" Attar tertawa, mau tak mau Ruby juga ikut tertawa. "Nah, senyum itu yang ingin kulihat darimu, Rubinia. Sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Siapapun yang menghina anak kita, akan kuberi mereka pelajaran satu-satu!" Attar menyeringai jenaka.

Meskipun nadanya bercanda, Ruby tahu maknanya serius. Attar pasti tidak membiarkan anak mereka diejek anak....anak apapun itulah. Ah, sekali lagi Ruby bersyukur, memiliki suami yang luar biasa pengertiannya. Tidak seperti yang ia duga semula.

"Apakah tidak sebaiknya kita akui saja, setidaknya pada keluargaku?"

"Aku akan menemanimu," kata Attar. "Biar Kakek Gun memukulku. Karena kalau dia memukulmu, aku akan memukulnya balik."

"Kakek tidak pernah memukul, kok." -Tidak seperti ayahku! "Dia pasti sangat kecewa padaku."

"Mau bagaimana lagi? It can't be avoided, right?"

Ruby mengangguk setuju. Ah, andai saja Attar tidak setampan ini, tidak segagah ini, tidak sesempurna ini, mungkin saat itu ia masih bisa menolak, melarikan diri dari kenikmatan terlarang itu. Sayang, penyesalan itu tidak bisa diubah lagi. Ah, ia tidak bisa membayangkan, apa hukumannya di akhirat nanti? Penyesalan di akhirat tidak ada gunanya, kan?

Mungkin di dunia masih ada. Ia bisa menebus kesalahannya dengan membesarkan anaknya semaksimal mungkin. Ia dan Attar akan mendidik anak mereka menjadi anak yang baik dan dapat membanggakan orangtuanya.

"Jangan dipikirkan lagi, Sayang." Suara Attar menenangkan hatinya. "Yang terpenting adalah ini." Tangannya membelai perut istrinya dengan kasih sayang. "Aku janji, akan menjadi ayah yang baik untuk anak-anak."

Air matanya tak terbendung lagi. Ia menenggelamkan wajahnya di dada suaminya yang keras itu, yang selalu melindunginya. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Namun Attar dapat memahami perasaan istrinya.

Aku tahu rasanya menyembunyikan sesuatu yang tak seharusnya disembunyikan, bisik Attar dalam hati. Sangat sakit dan...takut. Aku hanya tidak tahu sampai di mana aku bertahan. Dan...sampai kapan.

Married to the Bad Guy (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang