ᴺᴼᵂ ᴾᴸᴬᵞᴵᴺᴳ :╔══ஓ๑♡๑ஓ══╗
𝙃𝙖𝙞𝙩𝙖𝙣𝙞 𝙍𝙖𝙣
╚══ஓ๑♡๑ஓ══╝
Diantara stalker, mantan pacar, seorang kriminal psikopat, dan hubungan palsu...
Mana yang lebih menakutkan?
Semua itu dialami sang gadis jel...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
➳➳➳➳➳ ⚘ ➳➳➳➳➳
° ° °
Kabut menyelimuti jalanan, udara dingin cukup menusuk memang, ada kalanya sang dara diam di unit apartemennya, namun ada kecemasan dalam benaknya yang membuat dirinya merasa selalu diperhatikan.
"Psstt!!" Suara itu rupanya dari unit gedung sebelah, sontak gadis jelita menoleh.
Merasa diganggu, ia segera menutup pintu balkon dan menggeser tirai putih. Semakin cemas, ponselnya hilang begitu saja, benda paling utama yang ada dalam hidupnya.
Knock knock
Daksa anindya terperanjat, keringat dingin mulai menjalar pada kulitnya. Takut apa yang akan terjadi jika ia membuka pintu itu, siapa yang ada disana, pikiran itu terus mengacau isi kepalanya.
Sebuah suara terdengar, suara seorang wanita dari balik pintu unitnya membuat sang gadis sedikit tenang. Menghela napas berat, ia membuka pintu itu perlahan. Wanita itu rupanya petugas kebersihan apartemen, namun sang gadis merasa dirinya tidak pernah memanggil petugas kebersihan itu.
"Maaf, tapi aku tidak meminta petugas untuk membersihkan unit ku." Cakap dara itu.
"Bukan nona, tuan Haitani memintaku untuk memberikan surat ini padamu." Wanita paruh baya itu menyodorkan sebuah amplop putih.
"Tuan Haitani?" Sang dara mengernyitkan keningnya, seakan pernah mendengar nama tersebut.
"Benar, penghuni unit xxx."
Petugas itu kini pergi, anindya segera membuka isi amplop putih yang dimana terdapat sebuah kartu nama dan secarik surat. 'Jika kamu membutuhkan bantuan ku, hubungi nomorku 0xxx, disitu juga ada nomor unit milikku, kamu bisa mampir kalau mau - H.Rn'
Pengirim itu bernama Haitani Ran, gadis jelita kini mengingat nama itu, pemuda yang sudah mengantarnya kemarin. Diraihnya sebuah telepon yang menempel pada dinding, menekan setiap tombol angka hingga suara yang dituju menggema rungu.
/:halo
Setelah mendengar suara pemuda itu, telepon kini ditutup dan diletakkan kembali pada penyangganya.
"Untuk apa aku menelpon orang itu, dia pasti salah satu penguntit yang meneror ku." Gadis itu menggerutu.
Akhir-akhir ini, sang gadis menerima beberapa pesan teks dan telepon pada ponselnya - sebelum ponselnya hilang. Ia juga selalu merasa diikuti oleh orang asing, penguntit itu terus-menerus meneror dengan gangguan kecil hingga lebih parah, seperti pesan-pesan cabul dan foto telanjang pria.
Hingga suatu saat perutnya merasa lapar, tidak ada stok makanan di lemari penyimpanan maupun kulkas. Mau tak mau, ia harus pergi ke supermarket terdekat. Langkahnya tergopoh-gopoh, takut jika penguntit itu mengikuti, sejujurnya ia sangat ketakutan jika berada di luar, dia tak suka dunia luar.
Gep
Sebuah lengan mencengkram, seseorang dengan hoodie hitam dan topeng kain hitam yang menutupi area wajah dan lehernya - kecuali mata, hidung dan mulut tentunya, mencengkeram erat pergelangan anindya. Ia terkejut mendapati orang itu, apakah orang itu penguntit nya selama ini?
Area jalanan sangat sepi, bahkan jauh dari keramaian, berteriak pun seperti tak ada gunanya. Ketakutan semakin membuncah diri anindya, orang itu terus menarik daksa dara, meraba beberapa anggota tubuh cantiknya, dia akan diperkosa. Pria tak dikenal itu mendorong sang dara hingga jatuh, menindihnya sembari lengan itu hampir membuka pakaian yang dikenakan sang gadis.
Ia celingukan dan mendapatkan sebuah batu bata dan mengambilnya, memukul kepala pria itu dengan keras. Karena ketakutan, pukulan itu terus dihantamkan pada wajah hingga noda merah menetes aspal jalanan. Tubuhnya gemetaran, takut, cemas, apa dia baru saja membunuh seseorang? Pria itu benar-benar tak bergerak, apa pukulannya sudah membunuh pria itu? Anindya semakin takut.
"Hei! Kamu baru saja membunuh orang?" Suara dari arah belakang sang gadis membuat gadis itu terkesiap.
"T-tidak!! Aku gak bunuh dia!! Dia mau memperkosa ku, dia penguntit!" Nadanya gelagapan, bibir manisnya pun bergetar.
"Tidak ada bukti." Cakap pemuda bersurai burgundy dengan garis kehitaman.
Apa salahnya melindungi diri dengan perlawanan, pemuda itu seolah-olah menempatkan kesalahan pada sang gadis dan tidak mengerti situasi dan sudut pandang yang dialami gadis itu.
"Apa aku harus lapor polisi karena sudah terjadi pembunuhan tak terduga?"
Anindya segera menarik kemeja pemuda itu, dirinya semakin ketakutan. "Jangan! Aku gak salah! Dia yang mau menyakitiku...jangan lapor polisi! Kumohon!"
Smirk tertanam pada wajah pemuda, wajah malas itu tersenyum sembari menatap sang dara. "Aku bisa menolongmu."
Anindya sangat tak suka melihat ekspresi pemuda itu, raut wajah aneh selalu terpatri di sana, mata sayu membosankan, senyum malas, seperti seorang psikopat. Tak ada pilihan, ia tak bersalah namun mengapa pemuda itu menuding dirinya sebagai pembunuh, dunia memang tak adil. Bahkan jika pemuda lapor polisi dan sang gadis menjelaskan apa yang terjadi, tidak ada bukti akurat.
"Oke, aku meminta bantuanmu. Tolong! Aku ketakutan, mereka ada dimana-mana!" Sang gadis sadar bahwa ia tak memiliki siapapun.
Teman, keluarga, kekasih, itu semua tidak ada dalam lembar kehidupannya. "Tenanglah, kamu aman bersamaku. Kamu tidak perlu takut begitu padaku, aku gak akan melukaimu atau melakukan hal aneh."
"Pertama, mari bereskan semua kekacauan ini. Kamu cukup berani rupanya sampai membunuh orang itu." Lanjutnya.
"Itu demi melindungi diriku." Pemuda disampingnya menampilkan smirk nya lagi.