"Tapi Abah bilang petani juga bisa dicita-citakan. Kalau tidak ada petani memang kalian mau menanam padi sendiri? Petani juga pahlawan tanpa tanda jasa, Pak Guru."
Pak Gito menghela napas frustrasi. Di tengah tawa anak muridnya, pandanganya tajam mengarah pada seorang anak laki-laki bermata bulat yang selalu berulah itu. "Dwiki!"
"Pak, menjadi petani itu bukan aib!" seru Dwiki Danuwangsa di tempat duduknya. Dia berdiri, bergaya seperti presiden yang berpidato. "Negara kita menjadi negara penghasil padi terbesar ke-2 setelah Thailand. Kita harusnya bangga dengan profesi petani yang membesarkan nama bangsa."
Ardi si ketua kelas berdiri untuk menyeletuk, "Kalau cuma mau jadi petani, nggak perlu sekolah tinggi-tinggi juga jadi, Dwik! Pulang, gih! Beli caping trus bantuin abahmu macul sawah."
Tawa seisi kelas kembali meledak dibarengi dengan Ardi yang kembali duduk.
"Nggak usah disuruh Ketua Kelas pun aku selalu bantu Abah, kok, setiap liburan," sahut Dwiki sembari tersenyum bangga. "Makanya, cita-cita itu tidak perlu yang muluk-muluk asal berguna bagi nusa dan bangsa! Ini baru semangat patriotisme yang tinggi."
"Dwiki, diam!"
"Apaan, sih, Pak Songot?!" Dwiki dengan cepat menutup mulut dengan jemari. Diliriknya teman-teman yang kembali cekikikan menertawainya lantas menatap Pak Gito sambil nyengir lebar. "Maksudnya ..., dalem, Pak Guru? Heheee."
"Ppft," tawa tertahan teman-teman masih terdengar di telinga lebar Dwiki, membuatnya melirik sejenak sambil mendengus kesal.
Teman sengsara malah berbahagia. Teganya~
"Pulang sekolah dicari, tuh." Pak Gito duduk di ujung meja guru, memandang Dwiki dengan senyum tertahan.
Sembari duduk Dwiki menyahut antusias, "Dicari Jupe, Pak? Aduhai bertuah aku niii~"
Pak Gito membalas cepat, "Dicari semua toilet, katanya kangen sama pijatanmu!"
"Hahahaaaaa," koor tawa itu meledak untuk yang kesekian kali, mengundang ringisan Dwiki di sana.
***
"Dwik."
Pergerakan asal-asalan Dwiki saat antri makanan di kantin terhenti karena panggilan itu. Anisa si juara kelas menegurnya sambil menahan tawa. "Eh, Mbak Pintar. Mau daftar jadi petani juga? Tenang, sawah Abah cukup luas untuk kita berdua."
Anisa mendengus kesal. Niat mau meledek malah diledek duluan. "Kita? Lo aja keleus, gue NGGAK!"
Dwiki cekikikan sendiri melihat Anisa yang melenggang pergi. Buaya kok mau dikadalin.
"Lama banget. Macul dulu, ya?" sentak Hendra sebal sembari membenahi letak kacamata minusnya ketika Dwiki baru duduk di hadapannya membawa semangkuk mie ayam.
"Mata sudah empat masih kurang, ya?" Dwiki balas menyentak lalu menunjuk antrian di stand mie ayam. "Antri panjang begitu juga."
Hendra tak lagi menjawab setelah sempat mencebik. Ia sibuk mengutak-atik ponsel jadulnya, membiarkan Dwiki mulai memakan mie ayam.
"Tidak pesan makanan?"
Hendra menyahut melas, "Duit mingguan sudah habis duluan buat bayar cicilan SPP."
Tiba-tiba Dwiki menyodorkan mangkuknya dengan malas, dia bersidekap malas. "Wajah melasmu bikin aku mulas, nih! Jadi hilang nafsu makanku."
Hendra cengengesan, ponselnya ia simpan kembali ke saku celana kemudian meraih mangkuk mie ayam di hadapan. "Ke toilet sana! Mie-nya biar aku yang urus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Idiot ✓
Teen FictionTawa idiotnya lebih dikenal daripada namanya. Dia tersenyum seolah lupa caranya berhenti, seakan tak kenal yang disebut kesedihan. Namun seperti pepatah mengatakan, bahwa yang paling keras tertawa adalah yang paling dalam tersakiti. Dwiki Danuwangsa...