Bangunan itu yang biasanya ia datangi enam hari berturut-turut. Ia buat kenangan bahagia di dalamnya. Melewati hari sesuai keinginannya untuk berbahagia. Membahagiakan diri untuk membuat semua yakin bahwa ia adalah manusia yang dibenci kesedihan.
Kakinya berdiri tepat di hadapan gapura sekolah itu. Senyumnya terbit, di balik gerbang menjulang yang tertutup ini, Si Idiot Dwiki Danuwangsa memainkan peran kebahagiaannya, peran yang amat ia cintai.
Tentang si curut itu, apakah ada yang membagi makanan dengannya?
Dwiki tergelak pelan mengingat sosok sahabatnya tersebut. Hendra bukanlah anak dari seorang tidak mampu, hanya saja terlahir dari benih seorang jendral tentara membuat pemuda itu hidup dalam kedisiplinan tingkat wahid. Semua harus berjalan dengan tertib, sesuai aturan. Uang saku diberi setiap minggu dengan jumlah secukupnya, secukupnya Hendra untuk dibuat foya-foya lebih tepatnya. Pemuda itu sangat tergila-gila dengan komik, ia sering membeli komik menggunakan uang yang diberi ayahnya yang seharusnya ia bayarankan untuk SPP, akibatnya ia harus mengganti uang itu dengan jatah uang sakunya.
"Belajar yang tekun, ya, curut," lirih Dwiki lalu beranjak meninggalkan sekolah itu. Langkahnya sangat pelan, seakan berat meninggalkan gedung yang selalu ia penuhi dengan tawanya tersebut.
"Dwik tunggu!"
Langkah Dwiki terhenti mendengar panggilan itu. Tubuhnya bergetar hebat. Tak ada keberanian untuk berbalik dan melihat siapa gerangan yang memanggilnya. Tapi setelah ia mendapat tepukan keras di pundak, ia berbalik kaku.
Hendra, berdiri di depannya dengan mata memerah sembab. Ia buru-buru memberikan sesuatu ke tangan Dwiki dan berkata dengan cepat, "Akutidakakanmemberitausiapapuntentangkedatanganmu,sahabat. Akumerindukanmu. Terimakasihsudahdatang." Lalu setelahnya ia berbalik dan gesit berlari memasuki gerbang.
Dwiki masih terdiam melihat Hendra yang sempat membungkuk minta maaf pada satpam yang marah karena seenaknya keluar saat jam pelajaran masih berlangsung.
Perasaan Dwiki menghangat. Senyum tulusnya menguar. Ia menunduk, melihat sesuatu yang diberikan Hendra tadi.
Sesuatu yang dibungkus asal menggunakan kertas tulis.
Dwiki membuka perlahan bungkusan itu, sebatang lolipop. Ia tertawa, matanya memanas. Ada sebuah pesan yang tertulis di kertas tersebut.
Semangat! Kamu pasti bisa, duo jotos-ku. \=D/
***
"Sekarang Ayah mengerti." Ayah menatap Dwiki hangat lantas tersenyum. "Lakukanlah apa yang kamu inginkan selama itu bisa membuatmu bahagia di akhir hidupmu."
Dwiki balas tersenyum. Akhirnya....
"Buatlah semua yakin bahwa kamu benar-benar bahagia."
Dwiki mengangguk pasti. "Tentu!"
***
"Aku menunggumu di taman kota. Datang, ya, Bu. Hee."
Gista berlari sekencang yang ia bisa saat mendapat pesan singkat tersebut. Ia sudah tak memikirkan dari mana bocah itu mengetahui nomor ponselnya.
Sampai di taman kota, ia memandang sekeliling. Terlalu banyak orang di sini, ia tak mungkin bisa dengan cepat menemukan Dwiki, dan jika itu terjadi bisa saja pemuda itu kembali pulang karena mengira Gista tidak datang. Tidak! Gista tak mau kehilangan lagi!
"Dwiki kamu dimana?" Gista melirih cemas. Matanya yang menyapu sekeliling taman memerah menahan tangis. "Dwiki."
"Aku di sini."
Suara itu! Gista mencari asal suara dan dia masih tak menemukannya. Air matanya mengalir. Tangannya menutup mulut agar tak bersuara. "Dimana? Kamu dimana, Dwik? Hiks."
Dari belakang tiba-tiba pundak Gista ditarik. Ia terpaksa berbalik dan jatuh pada pelukan seseorang. "Aku di sini."
Gista menangis keras dalam dekapan itu. Akhirnya. Akhirnya setelah dua bulan tersiksa ia menemukan kembali kebahagiaannya. Tangannya membalas pelukan Dwiki tak kalah erat.
"Aku kangen banget sama kamu, Bu," bisik Dwiki mengelus rambut perempuan dalam dekapannya. Senyumnya menguar. "Rindu sekali."
Tak ada jawaban dari Gista, perempuan itu sibuk dengan sesenggukan dan menghirup aroma tubuh Dwiki dalam-dalam.
"Maaf karena aku kembali," kata Dwiki.
Justru aku yang harus berterima kasih banyak karena kamu mau kembali membawa tiang hatiku.
Gista menggeleng keras dalam pelukan Dwiki. Berharap Dwiki paham bahwa dia tak mau mendengar kalimat semacam itu dari bibir pemuda tersebut.
"Maaf karena aku akan menjadi egois kali ini karena memintamu untuk menemani sisa hidupku," bisik Dwiki lembut lantas mengecup puncak kepala Gista. "Maaf karena aku egois dan maaf karena aku mencintaimu."
***
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Idiot ✓
Teen FictionTawa idiotnya lebih dikenal daripada namanya. Dia tersenyum seolah lupa caranya berhenti, seakan tak kenal yang disebut kesedihan. Namun seperti pepatah mengatakan, bahwa yang paling keras tertawa adalah yang paling dalam tersakiti. Dwiki Danuwangsa...