Gigi 4-Dari Mata Gista

2K 275 28
                                    

"Bu, saya mau minta Ibu menjadi pacar saya."

Kalimat itu jelas teringat dalam ingatan saat pagi kelam karena mendung hari itu, seorang anak laki-laki mendatangi ruanganku. Awalnya kukira dia terlambat datang ke sekolah dan satpam menyuruhnya kemari untuk meminta surat izin masuk kelas, tetapi mengejutkan sekali saat dia berlutut di depanku dan berkata demikian.

Hari berikutnya, aku baru tau jika namanya adalah Dwiki Danuwangsa, anak IPA-5 angkatan kedua tahun ini. Dia makin tak punya sungkan saat bertemu dan mengajakku berbicara. Belakangan aku dengar dari guru-guru, dia adalah anak badung yang tidak bisa diam di kelas.

Entah mengapa sejak kejadian tembakan mendadak itu, dia jadi sering datang ke ruanganku karena masalahnya bersama guru-guru. Kupikir wajar karena dia memang badung, tetapi salah seorang guru berkata mungkin saja bocah nakal itu sedang menarik perhatianku. Ck.

Dia anak yang aktif, ceria, dan selalu bisa membangun suasana menyenangkan, kata teman-teman sekelasnya. Tapi bagiku dia adalah murid paling menyebalkan.

"Kamu bikin masalah lagi?" Hari itu di pertengahan November aku bertanya saat dia datang ke ruanganku untuk yang ketujuh kali dalam bulan ini.

Yang dia berikan hanya cengiran. Katanya, semua orang di kelas memandang remeh pekerjaan seorang petani, padahal dirinya adalah pembela nomor satu para petani, untuk itu dia membuat keributan di kelas Pak Gito dan berakhir lah dia di ruanganku.

Kupikir dia anak mama yang manja dan harus dibantu untuk melakukan ini-itu, tapi aku terkejut bukan main saat di suatu malam Minggu kudapati dirinya memakai seragam pelayan di kafe yang sering kudatangi. Katanya dia bekerja di sana hanya di Sabtu malam saja. Ketika kusuruh dia pulang untuk belajar, yang kudapat lagi-lagi hanya gombalan.

"Ini juga lagi belajar, belajar mencari nafkah buat Ibu."

What a....

Malam itu dia jadi tak bekerja dengan benar, selalu menggodaku, menjadikanku bahan tertawaannya. Dan aku marah. Kukatakan padanya untuk yang kesekian kalinya agar berhenti bermain-main.

"Aku serius!" Dia selalu punya alasan untuk bisa menyangkalku.

Tetapi setelah kukatakan agar dia berubah, tak kunyana dia akan mengamuk. Mengatakan mengapa dia harus dipaksa berubah oleh semua orang. Dan aku berusaha meminta maaf, karena bukan itu yang seharusnya dia tangkap dari maksud perkataanku.

"Pulanglah, Bu. Hati-hati di jalan. Saya tidak bisa mengantar karena Bos bisa benar-benar memecat saya karena telah mengganggu Ibu yang merupakan pelanggan kami. Hee."

Tentu aku tergugu. Setelah detik lalu dia mengeluarkan seluruh emosinya, mengapa dia masih bisa bersikap sesantai itu? Tertawa seringan itu?

***

Siang itu Dwiki menabrakku dan menjatuhkan semua buku yang kubawa.

"Eh, maaf, Bu." Dia membungkuk dan dengan cepat memungut bukuku lalu menyerahkannya padaku. Saat dia tau bahwa yang ditabraknya adalah aku, yang dia lakukan adalah tersenyum lebar. "Eh, Bu Gista. Hee."

Ada yang aneh darinya. Mukanya memerah, kudengar dia juga sempat meringis seperti menahan sakit. Aku bertanya tentang keadaannya.

"Buru-buru, Bu. Maaf," katanya berlari menjauhiku menuju ujung lorong sekolah yang sepi.

Dia masih tidak sadar bahwa aku mengikutinya dan menemukannya melahap tiga butir pil sekaligus. Aku sangat yakin jika itu narkotika, tanpa ragu kusita sisa pil dalam plastik yang ia bawa.

"Itu bukan narkoba. Tapi setelah Ibu tau kebenarannya, saya mohon cukup Ibu yang tau."

Tentu aku yang tau, bahwa ternyata si badung itu mengidap penyakit kanker pankreas. Si pembuat masalah itu mengidap penyakit kronis. Bagaimana aku bisa percaya akan hal konyol macam ini?

Si Idiot ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang