Gigi 7-Ditinggal Bersama Kenangan

1.7K 215 2
                                    

"Sudah seminggu ia tak masuk, parahnya tanpa keterangan," Bu Istiani sang wali kelas XI IPA-5 berbicara penuh kecemasan. "Teman-temannya juga tidak ada yang tau-menau tentang kabar Dwiki. Saya mohon bantuan Mbak Gista buat mencari tau, ya, Mbak."

Semenjak hari pertama keabsenan bocah itu pun Gista bahkan sudah sampai di rumah Dwiki. Tetapi yang didapatnya hanya helaan napas sedih dari seorang nenek yang membuka pintu rumah.

"Danu sudah kembali ke bapak ibunya."

Saat ia bertanya dimana alamat rumah ibu bapak Dwiki, nenek tersebut menggeleng berat.

Gista benar-benar kehilangan sosok bertopeng kebahagiaan itu, Dwiki benar-benar menjalankan perkataannya, pergi tanpa meninggalkan jejak apapun yang bisa Gista cari untuk menemuinya.

"Akan saya cari sekuat tenaga, Bu," kata Gista pelan sambil tersenyum lemah pada Bu Istiani.

"Terima kasih."

***

"Bu Gista sayang, senyum, dong. Heee."

Gista tersenyum perih memandang Dwiki yang nyengir lebar di depannya. Pemuda itu sibuk mengemut permen, lalu beralih memainkan kertas-kertas penting di meja Gista, atau sekadar memutar-mutar pulpen guru kecintaannya di meja lalu dipandangi sangat lekat setiap putarannya.

"Kapan kamu mau pulang menemui saya, Dwiki?" tanya Gista sedih, matanya memerah menahan laju airnya. "Pulang, Dwik! Saya rindu."

Dwiki menoleh bingung, lantas tersenyum lebar sambil kembali memandangi putaran pulpen di meja. "Bu, pulpennya tidak mau berhenti, sama seperti saya yang tidak berhenti mencintai Ibu. Haa."

"Kalau kamu memang mencintai saya, cepat kembali, anak nakal!" Tangan Gista melempari tubuh Dwiki dengan kertas-kertas absensi, kemarahannya meledak seiring dengan luruhnya air matanya. "Kenapa malah meninggalkan saya?"

Suara Dwiki terdengar lirih mengaduh lalu detik berikutnya adalah tawa geli yang menguar. "Bu, pacaran sama saya, yuk! Supaya Ibu jadi lebih santai pembawaannya, tidak kaku seperti itu. Haa."

"Pulang, Dwik!" jerit Gista akhirnya, makin giat melempari Dwiki dengan kertas-kertas hingga tubuh pemuda itu menghilang, hanya menyisakan pulpen yang masih berputar di meja. Tangis Gista makin mengeras. "Hhhh. Pu-pulang! Hiks. Dwiki, pulaaaang!"

Dari pintu ruang bimbingan konseling seorang lelaki tiba-tiba masuk dengan berlari, raut cemasnya kentara sekali. Dengan cepat ia duduk di samping Gista yang duduk di sofa sambil menangis keras, lengannya langsung merengkuh tubuh mungil itu, mengelus punggungnya lembut.

"Sssh, kamu kenapa, heum? Aku datang."

Mendengar suara itu, Gista tersentak dan keluar dari rengkuhan itu. Wajah di sampingnya membuat tangisnya makin menjadi. Ia menerjang tubuh itu dan memeluknya erat, menumpahkan semua air mata di sana. "Aku kehilangannya. Dia meninggalkanku, Dirga."

***

Di bangku ini biasanya Dwiki menaruh bokong, meja di depan ini yang pemuda itu multifungsikan, mulai dari alas menulis, menulis contekan, menghitung, menggambar, dan digunakan sebagai alat musik.

Gista meletakkan kesepuluh jarinya di atas meja, mengelus permukaan kayu itu lembut sementara senyum perihnya mulai muncul ketika telunjuknya menyentuh tulisan yang diukir menggunakan tipe-x di meja itu.

Safregista.

Berantakan, khas tulisan lelaki, tulisan Dwiki.

"Dwik," Gista memanggil namanya lagi, berharap pemuda itu kembali dan memberinya cengiran idiot lagi.

Dirga yang duduk membisu di bangku Hendra, yang hanya mengernyit bingung, akhirnya angkat suara, "Gis, kamu baik-baik saja?"

"Aku tidak," lirih Gista, kelas yang kosong itu seakan menyoraki kesedihannya. Hari sudah petang dan sekolah telah usai dua jam lalu, tapi yang ia lakukan masih betah bergumul bersama kenangan yang lupa tak dibawa Dwiki. Napas pemuda tengil itu bahkan masih terasa hangat menyapa kulit saat Gista mengelus meja Dwiki. Suara tawanya masih berdengung di telinga Gista. Cengiran lebar itu masih tergambar jelas di ingatan Gista.

Dirga menyentuh jemari Gista di atas meja. "Kamu harus! Apa yang membuatmu sehancur ini, heum? Kemana perginya Safregista dengan hati baja sebagai nama tengahnya?"

"Anak itu membawanya." Gista menggigit bibir bawahnya. Di depan sana ada Dwiki yang terduduk di meja guru sedang menatapnya penuh senyum.

"Ayo pulang, sudah sore, Bu."

"Dan hanya memberiku hati lemah tak bertiang." Mata Gista lekat memandangi sosok di depan kelas itu. Kini Dwiki beralih menuju papan dan mulai menulis dengan cepat sambil bersenandung riang.

Dwiki will always take a breath with love for Gista inside.

Lantas Gista melanjut, "Bahkan dia membawa tiangnya, tak membiarkan hatiku tegak berdiri tanpanya."

"Kamu mencintainya?" tanya Dirga penasaran, sebenarnya malu untuk menanyakan hal ini karena seperti terlihat sekali ia mengharap padahal di masa lalu ia yang meninggalkan perempuan ini demi yang lain. "Kamu mencintai pria lain?"

Dwiki merentangkan tangan di depan sana kemudian menjerit, "Saya cinta sama Ibuuuu~"

Air mata Gista pecah. "Kembali, Dwik."

***

Angin menggelitik lirih tengkuknya, membuatnya tersenyum lirih. Ia baru ingat bagaimana cara membuat cekungan itu di bibirnya sejak lima hari lalu menginjak tanah ini.

Alam menyambut kedatangannya dengan ramah, seakan telah lama menanti dan menyiapkan tempat tersendiri untuk pembaringannya.

Tangannya terangkat menggapai-gapai udara, senyumnya semakin lebar. Sekali lagi angin bermain di sekitarnya, membawa satu pesan yang meluruhkan senyum pertamanya sejak lima hari ini.

"Kembali, Dwik."

***

Tbc

Si Idiot ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang