"Jangan pernah menghilang lagi."
Dwiki tertawa pelan melihat raut permohonan Gista. Dia mengangguk geli. "Jadi benar, ternyata kamu juga suka padaku? Heee."
"Jangan memulai, Dwiki!" seru Gista tajam.
Dwiki hanya mengangguk sambil tertawa keras. Gista-nya juga mencintainya~
Biasanya Gista akan marah saat Dwiki menertawainya, tapi kini ia justru ikut tenggelam dalam tawa tersebut. Hatinya menghangat saat sadar bahwa yang dicintainya kini telah kembali. Tiang hatinya kembali, hatinya bisa berdiri tegak sekarang.
"Tapi, Bu," Dwiki menghentikan tawa dan diganti dengan raut serius. Gista benci ekspresi macam ini! Ini adalah ekspresi yang sama saat Dwiki hendak meninggalkannya, "jangan jatuh terlalu dalam, walau aku kembali tapi akhirnya masih sama, aku tetap akan meninggalkanmu karena kematian. Kumohon lindungi hatimu."
Gista melengos. "Jangan berbicara padaku jika kamu hanya ingin membahas hal ini."
Lalu setelahnya Dwiki terkekeh, ia mengacak-acak poni Gista kemudian mendekapnya sebentar. "Takut sekali jika kehilanganku. Kkkk."
"Memangnya jika aku pergi kamu tidak cemas dan takut apa?" sentak Gista kesal.
Dengan usil Dwiki mencolek dagu perempuan di sampingnya. "Jadi benar, ya, kamu juga mencintaiku? Haaaa senangnya~ heee."
"Dwiki!"
"Cieee yang akhirnya suka sama murid yang paling badung. Ihiiiy."
"Dwiki berhenti!"
"Ayo, dong, just say you love me then I stop teasing you."
Selanjutnya yang terjadi adalah Gista memukul kepala Dwiki lantas dibalas pelukan erat oleh lelaki itu.
"Bu, aku sangat mencintaimu, percaya tidak?" bisik Dwiki.
Gista menggeleng. "Selama kamu masih memanggil saya Ibu, saya tidak percaya!"
"Habisnyaa," Dwiki menggigit pelan lidahnya, "gatal rasanya setelah dua tahun selalu memanggilmu Bu Guru lalu sekarang hanya memanggil namamu. Aku malu. Heee."
Gista mencebik meremehkan, tangannya mencubit pinggang Dwiki masih dalam dekapan itu. "Kamu pernah beberapa kali memanggil namaku tanpa embel-embel Bu Guru."
"Itu tidak sadar."
"Ya sudah jangan sadar!"
"Memangnya kamu mau aku tidak sadar lagi, heum?"
Buru-buru Gista menggeleng. "Tidak mau!!!"
Dwiki terkekeh, ia mengusap punggung Gista menenangkan. "Heboh begitu. Aku masih sadar, kok."
Terdengar dengusan kesal Gista, Dwiki hanya terkekeh.
"Oh iya," Dwiki melepas pelukannya dan meraih sesuatu dari saku jaketnya, ia menyerahkannya pada Gista, "tolong berikan itu pada temanku Hendra."
Gista mengernyit melihat bungkusan kertas di tangannya, kemudian ia memandang Dwiki hendak protes. "Punyaku mana? Kenapa hanya Hendra?"
Dwiki tertawa sembari membawa Gista kembali ke pelukannya. "Kamu sudah mendapatkan hatiku, ingin minta apa lagi, heum?"
"Aish dasar!"
"Haha."
***
Ambu dengan senang hati menaruh singkong rebus di meja lantas duduk di sebelah Dwiki. "Kamu akan tinggal disini lagi, kan, Dan?"
Dwiki tersenyum lemah sambil menggeleng. "Tapi Ambu jangan cemas, Danu akan sering-sering main kemari."
Walau kecewa tapi akhirnya Ambu hanya tersenyum. Ia mengelus kepala Dwiki lembut. "Entah perasaan Ambu saja atau memang benar kamu semakin kurus dan pucat, Dan. Kamu sakit?"
Deg
Dwiki terkesiap. Ia memang tak memberitau Ambu pasal penyakitnya, tidak mau wanita tua ini sedih hanya karena memikirkannya.
"Danu sehat, Ambu." Dwiki tersenyum penuh kebohongan. Ia tak tega membagi kabar menyedihkan ini pada ambunya.
"Oh iya," Ambu memukul pelan paha Dwiki, teringat sesuatu, "kenapa hari itu kamu mendadak ingin pulang? Keesokan harinya gurumu mencari ke sini."
Dwiki mengernyit, lebih fokus pada pernyataan ambu daripada pertanyaannya. "Siapa, Ambu?"
"Saaa, seee," Ambu mengernyit untuk mengingat-ngingat, tapi tak lama ia mengaduh sambil menggeleng pelan, "Ambu tidak ingat namanya."
Dwiki menebak, "Safregista?"
"Tidak tau." Ambu mengedikkan bahu, benar-benar lupa. "Yang Ambu ingat dia perempuan kecil dan pendek. Dia bahkan bertanya alamat Tuan dan Nyonya Besar tapi Ambu tidak memberitaunya karena Ambu rasa Tuan Besar tidak akan suka jika Ambu selancang itu memberitau alamat rumah kalian pada orang asing."
Tidak! Gista bukan orang asing!
"Apa kamu tidak bersekolah semenjak pulang ke rumah ayah dan bundamu?" Ambu bertanya penasaran.
Dwiki menggeleng cepat. "Danu hanya membolos satu hari itu karena kelelahan, Ambu." Lagi-lagi satu kebohongan baru. "Oh iya, Abah di sawah? Dia sehat?"
Ambu tertawa pelan. "Penyakit serasa sungkan bertamu ke tubuh Abah, dia bugar. Kamu mau menyusulnya ke sawah?"
Lagi, Dwiki menggeleng. "Danu masih capek."
Ya, akhir-akhir ini ia memang sering kelelahan hanya karena melakukan hal kecil. Penyakitnya juga sering kambuh. Tapi ia tidak heran, mungkin waktunya sudah dekat.
***
Dwiki memakai jaketnya perlahan. Udara hari ini membuat tubuhnya menggigil, sungguh tidak bersahabat.
Dari arah pintu bunda masuk membawa air putih dan mangkuk kecil berisi obat. "Hendak menemui Ambu lagi, Dwik? Baru kemarin kamu ke sana."
Dwiki menoleh kemudian memberi senyum pada bundanya. Ia meraih air putih itu dan meminum obatnya.
Bunda mengelus pundak Dwiki lembut. Pasti berat berada di posisi pemuda ini. "Bunda ingin menghabiskan waktu seharian ini bersamamu, Nak. Bunda takut tidak sempat lagi."
Dwiki mengangguk, setelah meletakkan gelasnya ia menuntun bunda ke kasur dan mengajaknya berebah di sana. Kepalanya berbantal lengan bundanya, ia memeluk tubuh wanita itu erat. Hangat. Ia ingin seperti itu, seterusnya. Ya, hanya keinginannya saja.
"Kamu tidak ingin bercerita, Sayang?" Bunda mengelus rambut Dwiki. "Bunda sangat ingin mendengar ceritamu."
"Bunda tau, Dwiki sedang jatuh cinta," kata Dwiki senang.
"Benarkah?"
Kepala Dwiki mengangguk. "Namanya Gista, guru Dwiki dulu. Haa. Dia cantik dan mungil seperti Bunda, Dwiki sangat mencintainya."
"Kamu pasti mati-matian mengejarnya, ya?"
Dwiki mengangguk semangat. "Setiap hari Dwiki selalu menjahilinya. Tapi Dwiki sempat sebal padanya karena selalu menganggap Dwiki main-main."
"Lalu?"
"Lalu Dwiki mencoba untuk memperlakukannya dengan cara dewasa dan sepertinya dia luluh. Hehehe."
Bunda tersenyum mendengar tawa putranya yang ceria. "Apa dia juga mencintaimu dengan cara yang sama seperti yang kamu lakukan?"
"Ya," Tanpa bunda tau, Dwiki melepas senyum tipis, "meski tak pernah mengatakan kalimat cinta, tapi tatapan dan sikapnya padaku sudah cukup membuktikan segalanya."
"Kapan-kapan bawalah dia kemari jika sempat," Bunda menahan air mata, sedari tadi yang dikatakannya adalah jika sempat, ia hanya takut semua tidak terlaksana karena waktu yang hampir habis, "kenalkan pada kami."
"Tentu," Dwiki mengiyakan. "Jika sempat, akan Dwiki kenalkan pada Bunda."
Tak ada kalimat lagi untuk waktu berikutnya. Bunda menangis tergugu memeluk tubuh putranya, sedangkan yang berada dalam dekapan telah jatuh terlelap dengan damai, sama lelapnya seperti ia berusia lima dalam gendongan sang bunda.
***
Bukan ending yang sesuai harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Idiot ✓
Teen FictionTawa idiotnya lebih dikenal daripada namanya. Dia tersenyum seolah lupa caranya berhenti, seakan tak kenal yang disebut kesedihan. Namun seperti pepatah mengatakan, bahwa yang paling keras tertawa adalah yang paling dalam tersakiti. Dwiki Danuwangsa...