Epilog-Dari Hendra

3.4K 336 68
                                    

Katanya lelaki berkacamata itu keren, sudah menyamai gaya detektif yang biasa ditontonnya. Ya, hanya dia yang bilang begitu padaku saat yang lain bahkan mencaciku sebagai si cupu. Dia adalah Si Idiot Dwiki Danuwangsa.

Aku mengenalnya sebagai seseorang yang tak pernah bersedih. Selalu tertawa meski sesulit apapun keadaan. Benar-benar seorang idiot!

Dia bukan seseorang yang pintar menunjukkan simpatinya pada kawan. Di balik sikap acuh dan tak pedulinya aku tau dia adalah orang nomor satu yang mengerti kesusahan teman meski tak ada yang berkeluh kesah padanya.

Aku sering tidak makan siang karena kehabisan uang, dia satu-satunya teman yang selalu memberikan makanannya padaku. Meski di bibir selalu menggerutu karena aku yang selalu berakhir menghabiskan makanannya, aku tau dia tersenyum senang melihatku memakan makanannya.

Aku pernah sekali mendengarnya yang seperti tanpa sadar bergumam, "Berbagi dengan sahabat lebih mengenyangkan."

Dua tahun kami menjalin hubungan pertemanan, dia sudah mengenalku bahkan hingga bau tubuh dan suara hembusan nafasku. Suatu hari aku pernah ingin mengejutkannya dari belakang, tapi dia keburu berbalik sambil nyengir dan berkata lain kali aku harus mengganti parfum dan lebih pintar mengatur nafas jika ingin mengerjainya. Tapi yang kutau dari dirinya adalah namanya dan dia yang selalu berbahagia, di luar itu ia seakan membuat tembok tinggi dan tebal. Aku benar-benar teman yang payah.

Di kelas, teman-teman selalu terlihat nyaman dengan semua kekonyolan yang ia lakukan. Sering ia membuat gaduh saat suasana kelas menegang karena guru yang jahat. Dia berceloteh seperti orang bodoh mengenai petani dan semua bersorak menertawakannya. Aku tau dia bersikap demikian hanya ingin membuat kami lebih rileks dalam menerima pelajaran, tanpa memedulikan risiko bahwa ia harus berakhir di ruang bimbingan konseling.

Tapi kini sosok itu menghilang. Seluruh kelas merasakan kehilangan akan sosok yang selalu berbahagia itu.

"Si Dwiki kembaran kamu kemana, Dra? Sepi nggak ada dia," Anisa si juara kelas mengeluh setelah pelajaran menegangkan usai.

Kalaupun aku tau kemana menghilangnya anak itu, sudah kutarik dia untuk kembali. Tapi itu yang kulakukan jika aku tak tau kebenaran tentang hal yang dengan baik Dwiki sembunyikan dari semua orang selama ini.

Semua berawal dari perbincangan singkat Dwiki dengan Bu Gista, guru muda yang bertugas menjadi guru BK. Awalnya aku bingung mendengar kalimat Bu Gista yang terdengar sangat khawatir. Aku menduga ada yang tak beres.

"Dan membiarkanmu tersiksa lagi karena guru lain menyitanya?"

Apa? Menyita apa? Hal apa yang membuat Dwiki seakan sangat bergantung keberadaannya?

Lalu esoknya saat di tengah pelajaran Dwiki ijin ke kamar kecil, aku buru-buru memeriksa tasnya dan menemukan sekantung obat. Jadi ini yang menjadi penggantungan Dwiki.

Aku mengambil satu dari masing-masing tiga obat yang berbeda itu dan menyimpannya. Aku yakin hingga kini dia tak sadar bahwa aku pernah mengambil beberapa butir obatnya. Kukira awalnya ini narkoba, tapi setelah meminta bantuan ayah untuk mencari tau obat apa itu, aku syok.

"Obat untuk penderita kanker pankreas."

***

Aku sudah lupa ini hari keberapa dia menghilang. Rasanya benar-benar sepi. Hampir semua siswa di kelas ini mengira bahwa mungkin Dwiki berhenti sekolah. Bu Gista sepertinya didesak oleh wali kelas kami untuk secepatnya menemukan Dwiki karena jabatannya adalah guru yang selalu berurusan dengan masalah siswa. Tentu saja hilangnya Dwiki adalah masalah karena ia menghilang tanpa keterangan.

"Kamu tau di mana rumah orang tua Dwiki? Bukan rumah nenek kakeknya, kamu tau?"

Waktu itu aku hanya menggeleng saat Bu Gista bertanya penuh harap, karena apa yang dia harapkan dari aku yang hanya tau nama lengkap Dwiki dan keidiotannya? Aku tau Dwiki dan Bu Gista memiliki suatu hubungan, mereka saling cinta. Sejak mengetahui penyakit Dwiki aku sering diam-diam mengikutinya dan beberapa kali memergoki dia berbincang dengan Bu Gista.

Meski aku tau penyakit Dwiki, tapi aku diam dan membiarkan Dwiki bahagia seperti biasanya.

Hari ini hari Selasa, pelajaran pertama tak menarik sekali bagiku. Aku membuang pandangan keluar jendela karena bosan, sejak kepergian Dwiki aku duduk sendirian dan membiarkan bangku Dwiki kosong, aku tak ingin ada yang menggantikan tempatnya.

Pintu gerbang sekolah itu, aku baru sadar kalau dia setinggi menjulang itu. Dulu aku pernah memanjat kesana bersama Dwiki saat malam hari karena ada barangku yang tertinggal, aku menghubunginya dan memintanya menemaniku.

Aku berpikir alasan apa yang membuat Dwiki pergi dan satu-satunya alasan yang mampu terpikir olehku hanya ; Dwiki ingin orang lain mengingat dirinya yang ceria, bukan dia yang semakin lemah karena penyakit.

Di balik gerbang sekolah yang tertutup itu samar-samar aku melihat siluet seorang pria mengenakan jaket tengah dengan tumaknina memandangi gedung sekolah. Aku terkesiap. Dia kembali!

Tanpa kata aku berlari keluar kelas tanpa berpamitan pada guru yang mengajar. Selama perjalanan aku menyempatkan merobek buku yang sengaja kubawa dan menulis sesuatu di sana, aku merogoh saku dan meraih permen lolipop dari sana kemudian membungkusnya dengan kertas ini.

Aku membuka gerbang dengan brutal lalu menyeru namanya yang mulai berjalan menjauh dari sekolah.

Setelah ia berbalik yang kulakukan adalah segera memberikan bungkusan permen tadi dan berkata bahwa aku tidak akan memberitau siapapun mengenai kedatangannya, dan bahwa aku merindukannya. Lalu setelah itu aku berlari kembali ke sekolah. Aku tidak ingin Dwiki melihatku menangis.

***

Sekarang di sinilah aku. Berdiri mematung di belakang Bu Gista yang bersimpuh menciumi nisan sambil menangis keras.

Dwiki telah berpulang. Yang kutau, dia menghembuskan napas terakhir di dalam pelukan ibunya. Dia pasti pergi dengan damai.

Bu Gista di hadapanku menangis sesenggukan. Ini hari kedua setelah kematian Dwiki tapi kami baru mengetahuinya saat ayah Dwiki memberitau pihak sekolah. Bu Gista pasti terpukul karena tidak bisa menemani saat-saat terakhir anak itu.

Aku beralih memandang nisan yang dipeluk Bu Gista, ada nama Dwiki di sana. Mungkin sekarang dia telah berada di surga dan kembali tertawa bersama bidadari-bidadari tanpa perlu kesakitan lagi.

Kamu pasti bahagia di sana, sobat.

Aku tersenyum pada nisannya, menggenggam erat pesan terakhirnya untukku. Dia menitip voucher belanja komik yang dibungkus kertas tulis pada Bu Gista untuk diberikan padaku.

Kakiku berjalan pelan mendekati kuburan Dwiki dan mengelus nisannya. Senyumku timbul. Selamat beristirahat, sobat. Kau tidak akan kami lupakan, teman yang selalu bahagia.

***

Untuk si mata empat, duo jotosku, Gunawan Hendra.

Banyak yang ingin aku ceritakan, termasuk penyakit dan hubunganku dengan Bu Gista. Tapi aku tau kamu pasti sudah lebih dulu tau kebenaran ini, kan? Heee.

Jangan membeli komik mahal lagi, aku sudah tidak ada di sana untuk membagi makanan denganmu =p

Aku hanya titip salam untuk teman-teman kelas, jangan terlalu tegang di jam pelajaran karena aku sudah tidak bisa mencairkan suasana lagi.

Dari yang paling berbahagia di dunia hingga akhir hayatnya, duo jotosmu, Dwiki.

Si Idiot ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang