LiS (11) || Kehilangan

99 5 8
                                    

Roh itu berbeda dengan jiwa. Sangat berbeda, malah.

Roh itu tidak pernah tahu namanya kesakitan, sedangkan jiwa tahu arti kesakitan. Roh itu tidak tahu namanya kehilangan, sedangkan jiwa tahu arti kehilangan. Roh itu tidak tahu namanya cinta, sedangkan jiwa tahu arti cinta. Roh itu tidak pernah tahu namanya rasa, sedangkan jiwa tahu arti rasa.

Dua bentuk tersebut sangatlah berbeda. Roh tenang jika tercabut apabila sudah waktunya, sedangkan jiwa mudah kesakitan apabila ada mencabutnya. Roh selalu menjelajahi dimensi, sedangkan jiwa tak bisa menjelajahi dimensi. Roh bisanya berdiam, sedangkan jiwa tak bisa diam. Roh tidak perlu alat bantu, sedangkan jiwa perlu alat bantu.

Itulah membedakannya.

Tetapi tahukah bahwa roh sudah mati tidak bisa kembali lagi walaupun jiwa memanggilnya? Padahal roh tidak bisa merasakan arti kehilangan, sedangkan jiwa lebih sakit setelah mendengar kata kehilangan.

***

Semenjak meninggalnya Maria, Gerry berubah 180 derajat. Gerry tak lagi sama. Gerry tak pernah senyum. Gerry tak pernah bercanda. Gerry tak pernah menghibur. Gerry tak pernah giat belajar. Gerry bukan lagi panutan dosen di jurusannya.

Itu semua setelah meninggal Maria Cassandra keseratus hari. Dan akibatnya, keluarga Gerry bisa merasakan betapa sakit kehilangan pujaan cinta dan sahabat-sahabat Gerry merasakan betapa heningnya suara lantang Gerry dalam memadu mereka dalam mata kuliah.

Gerry berubah pendiam. Gerry berubah bisu. Gerry berubah muram. Gerry berubah sendu. Gerry mudah menangis. Gerry mudah tersinggung. Gerry mudah pingsan. Gerry mudah sakit.

Kejadian demi kejadian menguras tenaga Gerry karena tidak ada sumber energi lagi di sampingnya. Sumber kekuatan juga rotasi kehidupan di Bumi ini.

Kini Gerry bukanlah orang suka ikut berkelompok. Gerry sekarang lebih suka duduk menjauh, lebih pada keheningan mencekam. Memeluk asa tak kasat mata. Berharap bisa bertemu sang kekasih di dalam mimpi, namun itu belum dikehendakinya selama 100 hari ini.

Setelah semua berubah, Gerry merenung di tempat. IPK menurun. Dosen menggerutu. Beasiswa bakalan dicabut. Sahabat protes pada kelakuannya. Keluarga bisa pasrah, siap memindahkan Gerry ke tempat lebih baik.

Tetapi, semua bisa berubah kalau nasibnya berubah.

***

Dara duduk di bawah pohon berdampingan dengan Pooh duduk di dahan pohon. Mereka menguyah lollipop sambil merenungkan kejadian semuanya tercengang, tak bisa melupakan walau ujian tengah semester mulai mendekat.

Pooh turun dari dahan mengejutkan Dara. Gadis itu melotot bertanya, meminta jawaban atas tindakan Pooh tidak tahu waktu. Lelaki itu tersenyum, lalu menunjuk ke arah seseorang duduk termenung sambil melamun. Dara terperangah melihat Gerry melamun sendirian.

“Gerry Allevo?”

“Dia frustrasi. Dia histeris. Dia menjerit. Dia tertawa aneh,” sahut Pooh tanpa menurunkan tangan. “Jika jiwanya semakin sakit, dia bisa gila dan tidak tahu arah. Tidak ada rotasi hidup. Tidak ada kekuatan. Tidak ada kehidupan.”

“Karena meninggalnya Maria?”

Pooh menurunkan tangannya, duduk di samping Dara. “Mungkin. Bisa jadi juga karena penyesalannya akibat menolak tawaran Maria waktu itu. Kamu ‘kan tahu, Gerry itu orangnya peka. Dia tahu mana bikin sakit hati, mana yang tidak sama sekali.”

“Lalu, apa harus dilakukan? Aku kasihan melihatnya,” kata Dara memilin ujung jarinya, ikut bersedih atas kesedihan Gerry dan meninggalnya Maria meski Dara belum mengenal mereka.

“Seseorang.”

Dara membelalak lebar, tak mengerti. Menoleh ke Pooh, meminta penjelasan. Pooh lagi-lagi menunjuk ke berbeda arah dengan arah tunjukkannya tadi. Dara mengikuti. Bisa dilihat di sana ada gadis terus memandangi Gerry tanpa pengalihan. Rautnya begitu sedih, diiringi air mata terpancar karena sinar matahari. Dara mengerti bahwa gadis itu suka kepada Gerry Allevo.

“Triastari?”

“Kamu kenal?” tanya Pooh balik sembari menurunkan tangan.

“Dia sejurusan denganku. Aku tidak menyangka dia menyukai Gerry.” Dara menoleh ke Pooh. “Apa perlu aku berbicara padanya dan mengajaknya ke tempat Gerry?”

Pooh tersenyum, menggeleng. “Tidak perlu.” Rona wajah Dara meredup. “Triastari, orangnya super cepat dan banyak akal. Aku pasti bisa tebak bahwa keesokan harinya dia bisa membangkitkan Gerry sedia kala.”

“Aku harap begitu.”

Pooh bangkit, mengulurkan tangan. “Ayo!”

“Ke mana?” Dara mendongak, menatap uluran tangan itu sambil mengernyit lalu menatap Pooh.

“Kita pergi makan di kantin,” balas Pooh tak sungkan lagi dalam menarik gadisnya. Iya, gadisnya. Setelah kejadian itu, mereka berteman hingga akhirnya berpacaran. “Rayakan saja dan mengembalikan senyuman indahmu, Princess Smile.”

Mendengus geli, Dara bangkit dan menggandeng lengan Pooh yang tersenyum ke arahnya. Mereka meninggalkan dua insan, satunya memandang tanpa arah dan satunya memandang ke orang disukainya.

***

Tanah makam sepi pengunjung meski ada sebagian pelayat mengunjungi. Di depan tanah basah bercampur batu nisan berdiri tegak, lelaki menabur bunga di tanah basah tersebut sambil menitikkan air mata yang tertahan di ujung pelupuk.

Nyaris mau ambruk, Gerry tersenyum senang. “Hai, sudah lama tidak berjumpa. Lebih dari berapa bulan aku tidak mengunjungimu, entahlah aku lupa. Aku sibuk melamun, jadi tidak tahu tanggal dan bulan berapa.”

Gerry berjongkok dengan satu kaki dan lutut menekan tanah, Gerry mengelus batu nisan bertulisan nama Maria Cassandra. Hatinya mencelos sakit karena kehilangan sebagian belahan jiwanya.

“Hari ini aku baik-baik saja walau kamu belum juga datang di dalam mimpi. Aku takut lihat kamu nangis, makanya kamu tidak muncul,” ujarnya sendu. “Sekarang, aku pamit. Mungkin esok hari aku tidak akan datang ke sini, menjengukmu lagi. Begitu pun besok lusa, besoknya lagi dan besoknya lagi. Aku harus kuat, kuat dalam kesedirian sejak kehilanganmu.”

Menutup mata, Gerry mengembuskan napas panjang dan mengeluarkannya perlahan begitu berulang-ulang. Sekian lama terdiam, barulah Gerry bangkit. Tersenyum pamit dan berlalu dari tanah makam.

Di sana, di ujung parkiran, Triastari Welan melambai tangan seraya tersenyum. Gerry Allevo akhirnya bisa tersenyum. Entah mengapa semilir angin juga ikut tersenyum karenanya.

***

Sedemikian sakitnya jiwa karena kehilangan sebagian jiwanya, beda dengan roh yang kehilangan belahan jiwa tidak akan pernah sakit meski berulang-ulang kali. Roh adalah kehidupan manusia untuk hidup, sedangkan jiwa untuk merasakan sakit pahitnya kehidupan.

Jadi, jangan beranggapan bahwa roh dan jiwa itu sama. Karena memang dua bentuk kehidupan ini tidaklah sama.

[Life is Simple (11) – End]

***

Note:

Fiksi berupa nyata. Nyata berupa fiksi. Berpikir sederhana saja, ya, jangan dibuat pusing. Sebenarnya cerita ini memang sangat sederhana termasuk kehidupannya.

05 Feb 2015

Life is Simple ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang