chapter seventeen

90 21 12
                                    

Selama satu minggu sejak kedatangannya yang pertama kali di depan Winna, Anggara harus jungkir balik untuk mengembalikan mood perempuan itu yang benar-benar rusak karena fakta bahwa Anggara membiarkannya stay uninformed selama delapan bulan penuh.

Entah bagaimana pun cara Anggara menjelaskan alasannya, Winna tetap ngambek pada laki-laki itu dan tak mau melihatnya sepanjang acara ulang tahunnya yang diadakan di apartemennya itu. Barulah ketika semua orang sudah pulang—termasuk Anggara, Winna menahan laki-laki itu untuk pergi dan memintanya menghabiskan malam itu bersamanya. Berkali-kali Anggara mendapati Winna tengah melirik ke arah kakinya, bagai memastikan apakah kaki itu sudah kembali sehat seperti sedia kala. Anggara seketika berdiri, melepaskan tangannya yang berada di dalam genggaman Winna, dan menghentakkan kakinya ke tanah. Melihat Winna yang kembali terisak dengan tangan yang menutupi mulutnya, Anggara segera kembali memeluk perempuan itu dan membisikkannya kata-kata penenang.

Anggara pikir, saat itu pula hubungan mereka sudah membaik.

Dan ternyata, Anggara salah. Keesokan paginya—Anggara akhirnya menginap di sana dan tidur di sofa besar di ruang tamu apartemen Winna—perempuan itu kembali dingin dan mengabaikannya. Anggara tersenyum kecil, memahami tingkah Winna. Perempuan itu berhak marah dan Anggara memahaminya. Ia justru ingin tertawa melihat Winna dengan wajah dinginnya itu menanyai keadaan kakinya dan menawarkan masakan yang baru dimasaknya pagi itu. Tak tahan melihat tingkah Winna yang menggemaskan, Anggara bangkit dari posisi duduknya dan memeluk Winna dari belakang. Sedetik kemudian, Anggara melepaskan pelukannya dan mengaduh ketika sikut Winna dengan keras mendarat di perutnya. Balasan karena Winna merasa terkejut.

Anggara yang memang masih dalam masa hiatusnya itu kini beralih tugas menjadi sopir pribadi Winna yang bertugas mengantar dan menjemput Winna ke kantor. Seperti yang dilakukannya sore ini, duduk selama hampir dua jam di dalam mobil karena Winna sengaja mengabari jam pulangnya yang salah pada Anggara. Begitu Winna keluar dari kantornya dan melihat mobil Anggara yang terparkir dengan manis sejak dua jam yang lalu, Winna ingin melihat raut kesal di wajah Anggara. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Beberapa menit setelah Winna mendudukkan diri di mobil, raut wajah kesal terlihat kentara di wajahnya. Berbanding terbalik dengannya, Anggara tak henti-hentinya memasang senyum konyol di wajahnya.

Winna menghembuskan napasnya. Tadi, begitu Winna mendudukkan dirinya di kursi penumpang, Anggara tiba-tiba mencondongkan badannya ke arah Winna dan membuat perempuan itu lengah karena terkejut. Ketika Winna terdiam, tangan Anggara meraih sabuk pengaman dan bibirnya mendarat di kening Winna, mengecupnya. Kecupan pertama yang diterima Winna sejak dirinya berhubungan dekat dengan Anggara. Winna menggembungkan pipinya, tak mau Anggara melihat senyum yang sejak tadi memaksa untuk keluar.

Namun sayang, Anggara terlalu peka. "Kalo mau senyum gak usah ditahan kali, yang."

Mata Winna membelalak sempurna, pendangannya otomatis teralihkan ke arah Anggara yang lagi-lagi memasang senyum konyol di wajahnya yang biasa terlihat tanpa ekspresi itu. "Ih, apa? Coba ulang?"

Anggara menggelengkan kepalanya, berhasil membuat Winna merasa kesal. Perempuan itu memukul-mukul lengan Anggara pelan dan dibalas dengan tawa riang laki-laki itu yang jarang didengarnya. "Ih, aku lagi nyetir, yang. Jangan dipukulin!" seru Anggara, setengah serius, setengah meggoda Winna.

Winna langsung berhenti dan memperbaiki posisi duduknya. Dirinya masih trauma dengan kecelakaan mobil yang mencelakai Anggara dan merenggut laki-laki itu darinya selama delapan bulan. Perempuan itu terdiam, kembali teringat masa-masa yang dilaluinya dengan susah payah itu.

Anggara melirik ke arah Winna yang tiba-tiba terdiam. Menyadari ada air mata yang mengancam untuk turun di pipi Winna, laki-laki itu segera menepikan mobilnya.

Beyond BoundariesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang