chapter eighteen

118 20 7
                                    

Setengah jam kemudian, Winna masih mengurung diri di dalam kamarnya dan Anggara masih berdiam diri di ruang tamu, menunggu perempuan itu untuk keluar kamar karena ia tahu betul, Winna tak akan mau diganggu jika ia sedang berada di kamarnya. Apalagi ketika suasana hatinya sedang tidak baik. Anggara menghela napasnya, menyadari kesalahannya yang sudah mengulur-ulur waktunya. Ia benar-benar terlena oleh kedekatannya dengan Winna selama ini, sampai melupakan niatnya untuk menyatakan perasaannya pada Winna yang sudah tertunda terlalu lama itu.

Anggara melangkahkan kakinya untuk menghampiri kamar Winna. Laki-laki itu mengetuk pintu kamar yang sudah tertutup selama setengah jam itu. "Winna?" panggilnya ketika ketukannya di pintu tak dibalas apa-apa. "Aku mau ngomong sebentar, boleh keluar dari kamar?" tanyanya lagi. Ketika tak ada jawaban, Anggara kembali mengetuk pintu kamar Winna pelan.

"Nanti aja. Aku gak bisa ngomong sekarang, takut malah salah omong ke kamu."

Anggara menghembuskan napasnya begitu suara Winna terdengar sayup di telinganya. Laki-laki itu menganggukkan kepalanya, lebih baik begitu. Dirinya segera mengemasi barang-barangnya dan bersiap untuk pergi dari apartemen Winna agar perempuan itu bisa leluasa keluar dari kamarnya karena sudah tak ada dirinya di sana.

Anggara kembali mengetuk pintu kamar Winna sekali. "Kalo gitu, aku pulang dulu, ya. Biar kamu nyaman kalo mau keluar kamar karena gak ada aku. Kita kayaknya sama-sama butuh waktu. Nanti kalo udah ngerasa baikan, bisa chat aku nggak, Win?" tanya Anggara lagi sembari memakai jaket hitamnya.

Kembali terdengar suara Winna sayup di telinganya. "Iya, nanti kalo aku sudah dingin, aku chat kamu."

Anggara kembali menganggukkan kepalanya, masih memiliki satu hal lagi untuk dikatakan pada Winna. "Aku minta maaf ya, seharusnya aku segera ngasih kamu kepastian, bukannya malah kayak gini. Aku pulang dulu, Win. Nanti kalo udah sampe aku kabarin kamu. Oh iya, kopinya udah aku minum. Makasih, ya. Rasanya enak, as usual." Setelahnya, laki-laki itu melangkahkan kakinya untuk pergi dari apartemen Winna. Rencananya hari ini untuk mengajak Winna keluar mencari makan harus gagal dan hubungannya dengan Winna menjadi sedikit bermasalah.

Anggara baru akan membuka kenop pintu apartemennya ketika satu tangannya ditahan tiba-tiba. Laki-laki itu membalikkan badannya dan dirinya dihadapkan dengan Winna yang menahannya dengan mulutnya yang mencebik. Anggara mengulas senyumnya. "Gak boleh pulang, nih, aku?"

Winna melepaskan tangannya dan berjalan menuju sofa. "Aku udah dingin sekarang. Ayo ngobrol." Kata Winna pendek, sebelum mendudukkan dirinya di sofa empuk yang dulu menjadi tempat tidur Anggara ketika laki-laki itu menginap untuk pertama dan terakhir kalinya di apartemen Winna di hari ulang tahun perempuan itu.

Anggara kembali melepaskan jaketnya dan mendudukkan diri di samping Winna. "Mau kamu dulu atau aku yang ngomong?" tanya Anggara.

Winna mengangkat tangannya. "Aku dulu." Perempuan itu kemudian menghela napasnya, hendak meluapkan unek-uneknya yang dipikirkannya matang-matang di dalam kamar tadi.

"Mungkin nggak semua cewek yang kamu kenal sifatnya sama kayak aku, tapi aku pingin kepastian dari hubungan kita ini, Ngga. Aku tau, kamu sayang aku dan akupun begitu ke kamu. Tapi, aku nggak mau cuma HTS-an gini. Setiap ditanya temen kantor, 'Loh, pacarnya mana?' aku bingung jawabannya gimana, aku bingung siapa yang dimaksud sama mereka. Kamu? Kan kamu belum jadi pacarku. Aku juga paham, paham banget alasan kamu buat nyembuhin diri dulu sebelum berkomitmen sama orang lain karena aku dulu juga begitu. Tapi, aku rasa seminggu sudah lebih dari cukup, Ngga... atau kamu punya alasan lain buat enggak segera resmiin hubungan kita?" keluh Winna, menceritakan hal yang sempat mengganjal di dalam dirinya dan berhasil membuat mood-nya menurun drastis itu.

Beyond BoundariesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang