10. Mulai menerjang

6 1 0
                                    

Skandala sedikit gentar menelepon Cutie itu. Bagaimana kalau ia salah orang? Itu pasti akan sangat melukai harga dirinya.

Skandala mengetuk-ngetuk meja dengan kukunya, matanya menjelajah entah ke mana sama seperti pikirannya yang sudah melalang buana. Apa Skandala harus menguntit perempuan itu lalu kembali meneleponnya? Nah, masalahnya bagaimana caranya ia bisa menguntit perempuan itu?

Apa ia harus memakai kain hitam bergambarkan monster untuk menutupi wajah lalu memakai hoodie hitam celana hitam dan juga sepatu hitam? Ah, tidak. Itu berlebihan.

Dan lagi Skandala juga tidak tahu Cutie itu ada kelas atau tidak hari ini. Dan perempuan itu berada di kelas mana?

Skandala memijit pangkal hidungnya, rasanya ia lebih memilih mengerjakan skripsi lagi dibanding memikirkan hal beginian yang tidak ada ujungnya. Skandala bodoh juga, kenapa tidak meminta foto Sugar, nama lengkap, nomor whosaap, sekalian alamat kalau perlu. Jadi dia tidak perlu dihadapkan dengan masalah pelik semacam ini.

Oh, apa mungkin ia menunggu di kantin fakultas lalu menguntit perempuan itu dari sana setelah sampai di tempat yang tidak terlalu terbuka Skandala akan meneleponnya dan dengan cool-nya ia akan menyapa. "Hai, Sugar."

Astaga, alay tidak sih? Tapi Skandala tidak punya ide sama sekali. Itu pun ia dapatkan dari menonton drama korea dengan Dosila dulu.

"And?" Anzero melambaikan tangannya di depan wajah Skandala membuat laki-laki itu berjengkit mundur dengan mata membulat, terkejut.

"Ciee... ngelamun, ngelamunin siapa?" goda Anzero menarik turunkan alisnya.

"Nggak ada."

Anzero memutar bola matanya malas. Gemas ingin menjungkir balikkan temannya kalau tidak takut encok atau lebih parahnya patah tulang.

*FACEGRAM*

Skandala menyalakan ponselnya, lalu menelepon Sugar dan benar saja Cutie langsung mengambil ponselnya. "Hai, Sugar?" tanyanya setelah mengikis jarak di antara keduanya, tinggal lima langkah lagi.

Cutie yang baru mendengar itu refleks menoleh, matanya membulat lalu bibirnya menganga lebar. Angin semilir seolah menampar Cutie tanpa diperintah bahwa ini nyata dan bukannya mimpi.

"Hah?"

Skandala tak banyak bicara lalu menelepon akun Sugar_sgr lagi dan ponsel Cutie berdering lagi. Setelah ia mematikan teleponnya suara dering ponsel Cutie juga mati. Mampus!

"Kamu masih pura-pura tidak tahu?" tanya
Skandala sambil mengangkat satu alisnya mencoba mengintimidasi.

Cutie meneguk ludahnya kelu, lalu perempuan itu menggeleng pelan. Pura-pura tidak tahu.

Skandala menghela napas. "Ponsel itu punya kamu 'kan?" Cutie diam lagi, lalu menggeleng berkali-kali.

"Kalau bukan ponsel kamu kenapa kamu bawa?" desak Skandala membuat Cutie menatap sekeliling gelisah. Jalan menuju parkiran sepi hanya ada beberapa orang yang lewat dan bersikap tak acuh.

Cutie menggeleng lagi, kalau perlu sampai kram leher biar Skandala yakin akan kebohongannya. Sambil menatap sekeliling, mata Cutie berbinar melihat Novela datang dari arah parkiran.

"Maafin gue, Vel. Habis ini janji nggak bakal ngerepotin lo lagi!" batin Cutie lalu mencegah Novela yang akan melewati keduanya.

"Ini yang punya ponsel, Pak. Kemaren dia titip ke saya!" bohong Cutie sedangkan Novela yang tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi mengernyit bingung.

Skandala menoleh ke arah Novela yang memasang wajah bingung. "Kamu yakin?" tanya Skandala menyiratkan ketidakpercayaan yang kentara.

Cutie mengangguk yakin lalu menyikut Novela yang mulai paham sedikit. "Iya, Pak. Buat apa saya bohong?"

"Lalu kenapa dia membawa ponsel juga?" tanya Skandala melirik tangan kanan Novela. Cutie juga menatap ke arah yang sama.

"Oh, iya. Soalnya kemaren ponselnya ketuker, Pak!" kelit Cutie dengan nada suara dibuat seyakin mungkin. Mampus! Kalau ketahuan parah banget sih! Terus Cutie harus bagaimana?

"Kenapa jawaban kamu tidak konsisten?" desak Skandala. "Tadi kam-"

Ucapan Skandala terputus karena ada telepon. "Maaf, kita lanjutkan lain kali." Skandala bergerak mundur lalu mengangkat telepon itu setelah cukup jauh. Mungkin sepenting dan serahasia itu.

"Cute, jelasin ke gue," ucap Novela tenang. Cutie meringis, kalau sudah begini tidak ada pilihan lain untuk berterus terang.

"Terus?" tanya Novela setelah mendengar penjelasan dari Cutie. Sebenarnya ia tahu jawabannya hanya saja ia butuh jawaban langsung dari sang empunya masalah.

"Jadi... gue minta maaf karena ngelibatin lo di masalah gue. Ta-tapikan...." jeda. "Gue tadi terlalu kaget," ucap Cutie membela diri.

"Terus masalah bakal selesai?" tanya Novela dibalas ringisan lagi oleh Cutie. Novela menghela napas lalu menatap lurus ke arah temannya itu."Gue tau lo suka stalking sana sini dari dulu, tapi bukan berarti lo lari gitu aja kan setelah bikin orang kepayahan nyariin lo? Ya, gue juga tahu lo pengen jadi mahasiswi yang biasa aja tanpa ada masalah. Tapi kayaknya lo sendiri yang bikin masalah itu."

Ucapan tenang namun menghunus ke dalam dua arah, hati dan pikiran. Cutie pening sendiri. Di saat orang lain menjauhi masalah mungkin hanya Cutie yang selalu mendekati masalah.

"Gue harus gimana? Udah terlanjur."

"Iya, dan terlanjur libatin gue kan?"

Cutie diam, perasaan bersalah mulai menggerogoti hati dan pikiran. Harusnya dari awal ia tidak mengirim direct massage kepada Skandala, harusnya ia tidak usah stalking orang kalau tahu akan berakhir begini. Terlalu banyak kata harusnya kalau dipikir-pikir. Cutie bego!

Setelah itu, Novela tersenyum singkat lalu pergi meninggalkan Cutie yang otaknya panas, berkepul saking bingungnya. Mungkin kalau Novela orang yang mirip seperti Cutie perempuan itu pasti akan melantunkan deretan sumpah serapah bahkan sampai menghindarinya sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.

Dan yang melegakan adalah, Novela bukan orang yang seperti itu.

*FACEGRAM*

Skandala menghela napas di tengah-tengah kegiatannya memberi nilai pada lembaran kuis tadi. Rasanya sia-sia saja sudah mempertaruhkan harga diri. Orangnya saja masih berdalih terus-menerus.

Awalnya Skandala pikir, semuanya akan cepat dan Cutie mau mengaku. Tapi nyatanya orangnya malah selalu berdalih. Sebenarnya Skandala juga sudah memperkirakan hal ini tapi tetap saja rasanya kesal dan emosi kalau mengingat kejadian tadi.

Apa Skandala berhenti sampai sini saja? Sudah cukup ia menurunkan harga dirinya. Tapi sudah kepalang nanggung.

Skandala menghela napas kasar. Ia tidak boleh memberi nilai kuis sekarang, bisa bisa semua akan ia beri nilai C atau parahnya E. Dengan cepat ia merapikan lembaran kertas itu lalu menatanya menjadi satu.

Skandala beranjak dari duduknya, sudah petang ternyata dan beberapa dosen sudah pulang duluan setelah menyelesaikan kelasnya. Hanya ada beberapa dosen yang sibuk bersiap-siap pulang. Salah satunya Rintik.

"Selamat sore, Pak," sapa seorang dosen ramah, Skandala belum mengenalnya.

"Sore, Bu." Skandala tersenyum singkat sekedar membalas keramahan .

"Saya permisi dulu ya, Pak. Mari." Dosen itu bergegas keluar ruangan setelah mendapat anggukan dari Skandala.

TBC

Vote dan komen yup

facegramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang