Assalamualaikum, Kakak. Jangan lupa Sub dan tap lope-ya, ya. 🙏
❤️
Belum genap seminggu usai melahirkan caesar. Rasa sakit yang kurasa sungguh tak terperi. Jangankan bergerak, ingin batuk saja harus menahan.
Namun ... begini sikap suamiku,
"Sudah kubilang jangan buat dia menangis!" bentak Mas Sabil yang membuatku terkesiap.
Kontan saja bayi dalam gendongan, yang awalnya hanya merengek kecil lantaran tak puas menghisap ASI, kini menangis lebih keras.
Wajah pria itu semakin merah padam. "Kan? Nangis! Kamu itu ibu yang gimana, sih? Ngurus anak aja gak becus!" hardiknya lagi.
Jelas saja kembar terus merengek. Mereka tak kenyang minum ASI-ku. Bayangkan menyusui dua bayi dalam satu waktu. Mereka tak akan puas dan kenyang karena berbagi. Saat si sulung baru selesai dan tertidur dalam buaian, si bungsu bangun menangis karena sudah lapar.
Seminggu ini aku benar-benar merasa dihajar oleh keadaan, mengurus dua puteriku sendirian. Untung saja, Bude dan anaknya datang membantu tadi.
Kalau saja Mas Sabil mengizinkan, mendampingi dengan susu formula, pasti rasanya tak seletih sekarang.Apalagi kalau sedang menangis keduanya secara bersamaan. Duh, berasa diazab saja! Apa ini hukuman Allah padaku? Merasakan sakit, mengurus dua bayi dan suami tak pengertian.
Mas Sabil kemudian meraih si sulung. Mengambilnya dengan hati-hati. Sesuatu yang terkesan menyalahkan, karena aku tak becus mengurus anak.
Dan aku ... dengan tangan gemetar takut karena bentakannya, mengambil bungsu. Kemudian segera menggendongnya dengan susah payah.
"Mas, Mbak ada apa?" tanya Fatma sepupuku. Perempuan yang tadi sedang membantu memasak di dapur itu, terlihat datang dengan tergesa. Pasti karena suara kembar, yang tangisnya semakin kencang.
Perempuan berusia 21 tahun itu segera mengambil sulung dari dekapan Mas Sabil. Dan pria itu memberikannya begitu saja.
Tampaknya suamiku itu merasa anakku lebih aman berada di pelukan Fatma ketimbang aku ibunya sendiri."Tolong tenangkan dia." Mas Sabil bicara pelan pada Fatma.
Berbeda sekali saat bicara denganku. Yah, aku paham. Mungkin karena orang lain, ia tak enak marah-marah padanya.Namun, bukankah seharusnya ... terlepas dari semua itu, dia juga berlaku baik pada istrinya. Bahkan agama memerintahkan seorang suami berbuat baik pada istrinya. Sampai-sampai Rasul katakan, pria terbaik adalah yang paling baik pada istrinya.
"Heem. Ya, Mas." Fatma mengangguk lemah, sembari melirikku.
Usai merasa aman anaknya berada dalam dekapan Fatma, pria itu pun keluar. Meninggalkan kami. Mas Sabil memang harus bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan kami. Kalau saja ada uang lebih, tentu aku akan memintanya di rumah saja menjagaku dan anak-anak.
"Stt ... stt ... stt ... Sayang." Fatma dengan penuh kasih sayang mengayun anak kami dalam gendongan, lalu membawanya keluar kamar.
Tak lama, sulung terdiam di pelukannya. Fatma pun kembali ke kamar. Dengan perasaan lega, kuminta Fatma meletakkan bayi itu dan membantuku bangun. Aku sangat ingin pergi ke toilet.
Fatma pun mengiyakan permintaanku.Sejak operasi minggu lalu, aku tak mengerti kenapa kaki kananku sangat sulit digerakkan. Barangkali itu juga yang membuat Mas Sabil uring-uringan, pria itu terlalu sering kurepotkan saat berada di rumah.
Sedang saat Mas Sabil kerja, aku terpaksa memakai popok orang dewasa. Agar tak kesulitan bolak-balik ke toilet.
"Mbak Lim, siapa nama anaknya?" tanya gadis itu sembari meletakkan si sulung.
Aku menggeleng, kuserahkan perlahan bayi bungsu yang masih merengek di gendonganku. Mungkin dia juga ingin diayun dalam gendongan dengan cara membawanya berdiri dan berjalan.
Aku mendesah. 'Maafkan Bunda anak-anakku. Sudahlah kalian tak pernah kenyang, bunda tak bisa menggendong kalian,' batinku miris. Terkadang aku menangis sendiri jika memikirkan ini.
Setelah menggendong bungsu, Fatma tiba-tiba saja keluar kamar.
"Loh, Fat ...." Ucapanku menggantung.
Namun, tak lama Bulek datang.Dengan cekatan wanita paruh baya itu membantuku. Wanita yang sudah kuanggap ibu sendiri setelah kematian Ibu saat aku masih remaja.
"Ayuk, Nduk." Wanita berhati malaikat itu pun memapahku.
"Makasih, Bulek."
Sekitar sepuluh menit, akhirnya aku selesai. Bulek sudah berdiri di depan pintu toilet. Saat keluar kamar, bungsu sudah ada ada di kasur. Aku pun tersenyum lega.
Namun, ada hal yang membuatku mengerutkan kening. Fatma buru-buru merapikan pakaian bagian depannya. Mataku sampai memicing. Apa yang sudah dilakukannya?
Menyusui bungsu? Tak mungkin! Dia masih gadis bagaimana bisa menyusui? Kutepis pikiran aneh itu dan mulai fokus lagi pada tugasku.
"Setelah ini makan yang banyak, Bulek udah bikin urap kesukaan kamu campur daun pepaya, supaya ASI kamu melimpah."
"Ehm. Ya Bulek. Makasih. Maaf terus merepotkan."
"Hiss kenapa selalu saja minta maaf. Sudah kubilang bulek ini akan jadi ibumu " ucapnya lagi. Aku selalu bahagia mendapat kata-kata hangat dari Bulek, setidaknya aku masih punya seseorang yang sayang dan berkata lembut padaku. Dia ... Berbeda sekali dengan Mas Sabil.
"Ehm. Mbak, aku ada urusan di luar. Sekalian belanja ke pasar. Mungkin agak lama." Fatma tiba-tiba berpamitan.
"Oh ya."
"Maksudku, barangkali Mbak mau nitip sesuatu?"
"Oh, gak usah, Mas Sabil biasanya yang belikan setelah aku WA."
"Oh?" Mata bulat cantik milik Fatma melebar. "Em, tapi ... tadi, Mas Sabil bilang, aku saja yang membelikan keperluan Mbak."
"Hah? Benarkah?" Aku sedikit terkejut.
Apa iya Mas Sabil bisa ngobrol dengan Fatma, dia pria yang sangat menjaga diri. Tahu batasan. Makanya selama ini mereka terlihat tak nyaman saling bicara. Oh, mungkin karena aku sakit jadi Mas Sabil terpaksa memberanikan diri bicara dengan Fatma.
Aku lalu menatap pada Bulek, tampaknya raut wajah wanita itu berubah. Seperti ada yang ia khawatirkan. Atau aku saja yang terlalu sensi, karena hormon tak menentu setelah melahirkan.
"Ahm, kalau begitu. Nanti aku kirim ke WA kamu aja ya." Aku berusaha tersenyum. Walau bagaimana Fatma sudah berkorban mau tinggal di sini, menemani dan membantuku merawat bayi-bayiku. Tanpa kehadirannya dan Bulek, entahlah.
Kuharap setelah ini, Mas Sabil tak marah-marah lagi, karena bayinya ada yang membantuku mendiamkan. Belum lagi, masakan dari Bulek, akan membuatku menghasilkan banyak ASI untuk si kembar.
Gadis ayu itu mengangguk. Lalu bergegas keluar meninggalkan kamar kami. Begitu juga Bulek yang berpamitan ke dapur, menyiapkan makan untukku.
Aneh. Baru juga datang hari ini ke kota kami, tapi Fatma terkesan sibuk di luar. Apa yang dia lakukan sebenarnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Gadis Menyusui
Literatura FemininaBayangkan jika di rumahmu, ada adik sepupu masih gadis, tapi dia menyusui anakmu. Apa yang ada dalam pikiranmu?