Tak Pernah Menyentuhnya

11K 191 22
                                    

"Mas Sabil?" Mata Halimah melebar. "Apa nggak jadi nunggu barang datang dari pelabuhan?"

"Oh, itu ...." Pria yang dianggap Sabil oleh Halimah itu mendekat, sembari menggaruk kepala tak gatal.

"Ternyata ditunda, jadi ... aku memilih pulang."

"Mas agak serak?" Halimah makin heran. Dahinya berkerut. Kenapa kali ini Sabil sangat aneh.

"Hem?" Nabil mengangkat kedua alisnya. Pria itu baru ingat, kalau suaranya dengan saudara kembarnya sedikit berbeda.

Untungnya mereka hidup terpisah pulau, jadi setiap kali Nabil yang menemuinya, Halimah menganggap suaminya tengah sakit radang tenggorokan.

"Iya, nih." Pria itu segera memegangi jakunnya. "Nggak tahu, mungkin karena minum es di pinggir jalan kali, ya. Kena sari manis."

Halimah tersenyum. Suaminya sekarang jadi banyak bicara padanya. Dia pikir pria itu kambuh baiknya setelah insiden yang menguras emosi mereka tadi sore.

Wanita itu bersyukur. Begitulah seharusnya, adakalanya ujian itu ada di puncak, sampai sepasang suami istri kembali ingat perannya. Halimah jadi mengingat kondisi-kondisi aneh saat suaminya tiba-tiba jadi sangat baik dan romantis.

Walau hanya beberapa kali dan selalu didahului pertengkaran lebih dulu. Dan berangsur kembali dingin. Mungkin Halimah membosankan bagi pria itu. Namun, begitu sudah cukup baginya untuk bertahan di sisi Sabil.

"Pasti kambuh ya, Mas?"

"Huum." Nabil mengangguk. "Ehem-ehem."

"Minum, Mas." Halimah meraih minuman di nakas yang sudah disediakan buleknya.

"Makasih." Nabil meraih gelas tersebut. Duduk di kursi tak jauh dari ranjang di mana Halimah duduk bersandar.

Pria itu menenggak segelas minuman hingga habis tak bersisa. Ia tampak sangat haus.

Pria itu agak lama, menatap dua sosok bayi kembar di atas ranjang. Pikirannya menerawang jauh. Kalau saja satu bayinya selamat akan ada sosok bayi lain di antara mereka. Nabil mendesah. Tak ingin larut dalam pikirannya sendiri.

"Em, di belakang ...?" Nabil ingin menanyakan keberadaan 'rewang' Halimah.

"Bulek? Atau Fatma? Mereka mungkin sudah tidur, Mas."

"Oh, ya."

"Em, Mas. Apa masih capek?"

"Ah? Apa kamu perlu sesuatu?" Dua alis Nabil terangkat.

Halimah mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya karena tak nyaman.

"Ayok. Aku bantu."Pria itu tersenyum

"Mas."

"Hem?"

"Kamu sangat baik, Mas." Halimah sejenak berhenti. Menatap wajah tampan suaminya.

Nabil tak ingin menjawab apa pun selain tersenyum. Dia hanya heran kenapa setiap hari berbaur dengan wanita secantik Halimah, hati Sabil tak juga luluh untuk mencintainya.

'Secantik apa sebenarnya istri rahasianya abangku?' batin Nabil.

Dengan telaten, Nabil memapah Halimah dengan hati-hati. Karena dia tahu ia baru saja melahirkan.

Setelah selesai, dengan hati-hati Nabil membawa wanita itu. Namun, kerinduan yang tersimpan di hatinya untuk Halimah membuatnya memberanikan diri menggendongnya.

Mata Halimah melebar. Sabil benar-benar menjadi orang lain lagi hari ini. Mungkinkah seperti dulu-dulu? Di mana sikap manisnya berakhir pelampiasan rindunya yang begitu dalam.

Halimah tak mau melepas tatapannya dari wajah paripurna yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.

"Apa kamu sangat terpesona pada ketampananku?" Nabil bicara dengan tatapan lurus ke depan. Setelah sempat menatap sesaat wajah ayu dalam pelukannya.

"Aku hanya gak habis pikir saja, Mas. Kenapa kamu bisa berubah sedrastis ini?"

"Kan aku sudah bilang, saat tiba-tiba aku mulai bosan dan dingin padamu. Buatlah perkara besar seperti tadi. Dengan begitu aku akan sadar, kalau aku punya istri yang sangat mencintaiku."

"Ya ... aku ingat. Tapi ...." Ucapan wanita yang sudah kembali di letakkan di ranjang itu terhenti, kala jemari Nabil di letakkan di bibirnya.

Pria itu kemudian duduk di kursi. Menatapnya dalam, sampai Halimah salah tingkah sendiri. Ini sikap paling romantis dan manis yang pernah ia dapat dari Sabil.

"Hem? Apa ada yang salah, Mas?"

Nabil menggeleng. "Kamu cantik. Dan ... aku merindukanmu."

Pria itu mengucap tulus. Desir-desir halus pun merambati hati wanita bewajah oval di depan Nabil.

"Tidurlah. Kamu pasti lelah." Nabil mengusap rambut Halimah. Ia kemudian harus ingat istrinya yang lain. Wanita yang senantiasa ada di sisinya, sampai akhirnya ia pergi meninggalkannya.

***

Sabil mendesah lega, saat Nabil mengirim foto padanya. Pria yang mengenakan jaketnya itu sudah berada di depan rumah.

"Dia adiknya Mas Sabil?" tanya Fatma yang merasa belum pernah bertemu Nabil. Dan tadi hanya menatapnya dari dalam mobil saat keduanya bicara.

"Huum."

"Apa kali ini, Mas akan menipu Mbak Halimah lagi?"

"Apa maksudmu, Sayang?" Sabil meraih tangan lentik Fatma dan menggenggamnya.

Fatma mendesah. Ingin sekali menarik tangannya dari prianya. Namun, bersikap kasar pada Sabil bukanlah wataknya.

"Aku ingin Mas mencintai Mbak Halimah seperti Mas mencintaiku. Bukankah dulu Mas sudah janji? Itu kenapa aku mau kembali pada Mas."

"Ya, aku ingat. Tapi janji itu bukan untuk mencintainya Fatma. Tapi berusaha mencintainya. Aku sudah berusaha. Aku sudah berusaha sangat keras, Fatma. Tapi ... aku tidak bisa. Cuma kamu yang menuhi otakku."

Mendengar itu, bukan Fatma merasa bangga. Melainkan miris dan sedih. Ia bisa membayangkan bagaimana berada di posisi Halimah. Mendapat perlakuan dingin dari sang suami.

"Mas harusnya juga berusaha bersikap baik dan hangat. Bagaimana Mas bisa mencintainya jika Mas terus dingin padanya?" Fatma mengucap lemah dan kecewa.

"Sudah dua tahun, Fatma. Kenapa kamu tak juga berubah. Kenapa kamu masih terus memikirkan Halimah ketimbang aku? Apa kamu tak mencintaiku?"

"Bukan begitu, Mas. Kasian Mbak Halimah, dia baru saja melahirkankan caesar. Ia merasakan banyak rasa sakit. Dan sudah ada anak di antara kalian, mana boleh Mas begini? Kasian kembar kalau sampai hubungan kalian hancur. Aku rela lep ...." Tak terasa air mata jatuh ke pipi pualamnya.

"Hentikan itu, Fatma!" Suara Sabil meninggi.

Ia tahu apa yang akan perempuan yang sudah menyusui kembar itu katakan. Sabil tak akan sanggup Fatma mengucap akan meninggalkannya.

"Oke, dengarkan aku baik-baik! Dengar! Aku tak akan meninggalkanmu sampai kapanpun. Kalau ada wanita yang akan aku tinggalkan itu adalah Halimah orangnya, bukan kamu! Karena apa? Karena aku tak pernah menyentuhnya! Kembar bukan anakku!"

"Ap-apa? Apa yang Mas katakan?!" Mata Fatma melebar sempurna. Ia nyaris saja pingsan mendengar pengakuan Sabil.

***

Masih Gadis MenyusuiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang