Aku terdiam. Dan berusaha mengalihkannya dengan menggnedong sulung kemudian menyusuinya.
Namun, Bulek tak terima dan mengejar jawabanku. Wanita tua itu segera duduk di sisi ranjang, memiringkan tubuh menghadapku. Mataku hanya bisa menangis tanpa berani menatapnya.
Detik kemudian, Fatma mendekat dan menarik tangan Bulek.
"Sudah Bund. Jangan dibahas, kita pergi saja." Fatma menggeleng kepala. Saat melihat ke arah matanya, dua mata gadis itu sudah menangis.
Ya Tuhan, baru sekarang Fatma meminta bundanya meninggalkanku.
Waktu terjeda. Hening. Bulek menatap kami secara bergantian. Waktu-waktu itu cukup memberi kesempatan sulung untuk kembali tidur.
Tampaknya Bulek juga sengaja menunggu bayi itu tidur. Aku pun meletakkannya.
"Halimah, Bulek sangat mengenalmu, Bapak dan Ibumu. Mereka baik, dan Bulek tak mau membalas kebaikan mereka dengan keburukan yang menyakitimu. Percayalah ... Fatma tak mungkin merebut suamimu. Bulek bisa jamin." Bulek menatapku dalam-dalam.
Dalam penglihatanku yang berembun karena dihalangi air mata, bisa kulihat keseriusan di sana. Kulirik sebentar, Fatma yang berdiri tak jauh dariku. Kepalanya menunduk dengan bahu yang berguncang hebat. Dia juga menangis. Melihatnya membuatku merasakan sakit.
Bagaimana gadis pendiam dan pemalu itu harus selalu menjadi pelampiasan kekesalan dan kemarahanku? Dia bahkan sekarang bertahan di sisiku, tak kabur atau berlari mengejar Mas Sabil. Harusnya itu cukup untuk mengguncang hatiku bahwa dia tak mungkin seorang pelakor.
Emosi dalam dada ini semakin membuncah. Ada rasa bersalah begitu dalam. Bisa-bisanya aku mencurigai Fatma yang sangat menyayangiku, dia bahkan memberikan boneka kesayangannya karena melihatku menangis dulu.
Dia selalu menolak pria yang mendekatinya karena aku menyukainya dan kini dengan pikiran jahatku mengatakan dia telah berselingkuh dengan Mas Sabil.
"Bulek tahu suasana hatimu sedang buruk, Nduk." Bulek menarik tubuhnya. Kenudian menatapku yang menangis. "
Tapi tolong ... jangan membenci Fatma. Dia ...." Ucapan wanita itu terhenti. "Dia ...." Suara Bulek kemudian terdengar serak.
"Kamu tahu sendiri ... selama ini dia selalu mengalah padamu, kan? Dia selalu menurut perkataan Bulek agar mengalah pada kakaknya, kalau nggak nanti kakak sedih dan pergi dari rumah kita. Dia mengalah karena takut kamu sedih dan kamu tak mau jadi adiknya lagi."
Benar yang Bulek katakan.
Aku terlalu bodoh! Tak punya hati! Tak tahu diri! Tak tahu terimakasih!
Harusnya aku melihat ke belakang, siapa yang memberiku perlindungan saat Ibu dulu meninggal? Bulek yang memeluk dan memberiku kasih sayangnya yang hangat. Sampai aku merasa Ibuku masih hidup. Bulek tak pernah pilih kasih.
Jika bisa diungkap, akulah yang mengambil sebagian milik Fatma. Kasih sayang Bulek harus terbagi untukku. Bahkan dia harus sering mengalah untukku setelah Bulek memintanya.
"Iya, Bulek. Maaf. Maafkan Halimah."
"Fatma ...." Kini aku ingat gadis yang tengah menangis itu. Kiraih tangannya, hingga ia pasrah mendekat. Kupeluk tubuh Fatma yang berisi.
"Maaf Fatma, maafkan Mbak, ya."
Fatma semakin terisak. Sementara itu kueratkan pelukan ke tubuhnya. Kami sama-sama menangis. Sama-sama sadar, bahwa kami saling menyayangi.
Sungguh durjana jika aku berpikir, gadis baik hati itu merebut suamiku!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Gadis Menyusui
Chick-LitBayangkan jika di rumahmu, ada adik sepupu masih gadis, tapi dia menyusui anakmu. Apa yang ada dalam pikiranmu?