[15] Selamat Pagi dari Tuan

102 35 0
                                    

"Aku khawatir kau punya kelebihan untuk menjadi prajuritku. Mau jadi anggota pertama pulauku?"

⌞ B ⌝

BAYANGANKU tentang barak sangat mengerikan. Saat aku dituntun Austin untuk pergi ke barak benteng batu besar, rasanya aku berharap jaraknya semakin jauh saja. Aku tidak ingin datang cepat-cepat ke dalam sana, berhadapan dengan ratusan mata yang memandang aneh padaku, dan kemudian mendengar mereka mulai menggunjing.

Nyatanya, aku pun juga tidak bisa berharap Austin akan mengerti keinginan terdalam yang tak kukatakan tersebut. Anak lelaki itu meloncat-loncat girang, lalu bergelantungan di pohon sambil melompat untuk mecapai dahan pohon lain. Aku terpaksa harus berlari kalau tidak mau tersesat di pulau ini. Berlari sama dengan lebih cepat sama dengan semakin dekat. Dan yeah, Austin membawaku ke depan gerbang benteng secepat kata-kata kasar Kai meluncur.

Soal laki-laki itu dan teman pirangnya, aku tidak melihat mereka di mana pun saat menuruni bukit. Letnan Sigmund sepertinya sedang mengajar, karena kudengar samar suara tentara remaja meneriakkan beberapa slogan dan jawaban dari pertanyaan maupun perintah. Begitu kuat sampai terdengar olehku yang agak jauh dari mereka.

Jariku menyentuh wajah, mengingat-ingat akan kenangan yang terlintas di benakku beberapa menit yang lalu. Dulu, saat Ibuku masih ada, sebelum gelombang laut itu menenggelamkannya, mataku masih memiliki warna biru. Semakin bertambah umur, mungkin yang tersisa hanya seberkas peraknya saja. Setiap kali aku melewati kaca aku tidak pernah tertarik untuk memeriksa apakah kini warna mataku masih cokelat-biru atau sudah cokelat total. Aku membencinya, aku membenci warna mataku, dan tidak mengerti mengapa Logan selalu bilang kalau mataku indah dulu.

Bagiku, mata yang paling cantik adalah mata Ibu. Dia tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa matanya akan berubah. Itu yang membuatku yakin kalau dia juga akan ada di sisiku, selamanya, tidak akan berubah, tidak seperti mataku. Sayangnya, mata itu tetap berwarna sama seperti dulu, harapanku yang berbanding terbalik―berubah, hancur hingga sisa-sisanya hilang.

"Sampai!" Austin mengetuk-ngetuk gerbang benteng yang menjulang. Bagian tengah gerbang terbuka sedikit, anak seumuranku cukup melewatinya.

"Sepinya," kata Austin ketika masuk ke halaman benteng, di depan bangunan utama. "Anna, kupilihkan kamar, ya?"

Aku mengangguk. Kalau aku sendiri yang memilih sepertinya harus memutar-mutar sampai besok pagi. Tidak ada tanda-tanda kalau semua remaja yang ada di pulau ini sedang berkumpul di dalam asrama mereka, mungkin karena hukuman serta tugas harian yang diberikan oleh Kai. Kupikir, itu bagus, karena tidak akan ada yang melihatku di sini. Tidak akan tatapan penuh kebingungan yang seakan menusukku dengan kalimat "Bisa-bisanya kau--manusia kecil--ada di tempat perang begini" dan "Pergi jauh-jauh sana!"

Sejujurnya, aku pun juga sama herannya kenapa aku masih ingin berada di sini. Terlepas dari kekuatan seperti apa yang dimiliki oleh pasukan ini, aku tetaplah anak kecil yang ... cuma mengundang cibiran jika ngotot mengaku kuat. Mereka akan menertawakanku, menceburkanku ke dalam kloset, dan mengerjaiku dengan berbagai candaan perang-perangan milik mereka.

Aku bergidik, tapi aku juga ingin menunjukkan wajah tegas pada mereka. Aku takkan mau duduk diam dan menurut jika diseret ke dalam segala bentuk percobaan.

Namun, kalau aku mencoba untuk menepis semua rencana buruk para prajurit padaku, pikiran tentang sumpah yang disinggung Kai kembali datang. Aku benci ketika itu selalu mengingatkanku pada Ibu dan pada manusia-manusia yang bertahan hidup dengan sumpah sialan.

Sentuhan Austin pada pergelangan tanganku terasa dingin dan menyengat. Dia menarikku ke dalam bangunan. "Kamu lama," katanya sambil tertawa. "Nggak ada siapa-siapa, Anna."

Gauvelaire Has PromisedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang