[19] Pardon

93 34 0
                                    

"Aku suka bagaimana anak-anak rela ditembaki dengan ribuan butir air oleh Langit. Polos, naif, tanpa tahu bahwa maksud dari hujan tersebut bisa saja berbanding dari tawa mereka."

⌞ B ⌝

MIKI adalah hal pertama yang kulihat begitu sadar. Dia membuka mata lebar-lebar padaku, begitu juga anak-anak perempuan lain yang mengelilingi ranjang. Peluh membasahi seluruh tubuhku, seperti banjir, tetapi tidak sebanyak saat lari mengelilingi pulau. Berikutnya yang dapat dirasakan adalah rasa sakit, mekar begitu saja saat aku mulai membuka mata. Tambahan, aku tidak tahu sejak kapan ini terjadi tapi sepertinya aku demam. Demam tinggi, hingga tenggorokan terasa aneh, dan gigil menyelimuti tubuh meski aku sudah berada di dalam selimut.

"Demi Calistian, aku lega operasi bedah darurat tidak butuh dilakukan," kata si gadis yang ada di sebelah ranjang. Miki memelototi gadis itu setelah ia melontarkannya dengan santai.

Aku bergerak gelisah saat kakiku tidak ingin lepas dari sakit, begitu juga perut dengan racun yang masih mendekam di sana. Mau bergerak ke samping untuk turun dari ranjang saja pasti susah. Ini sungguh tidak tepat! Aku sangat ingin bertemu dengan Kai, membicarakan apa yang telah diberitahu kakek-kakek Gauvelaire itu. Sebelum Miki melarangku bergerak, organ-organ tubuhku pun turut melontarkan protes.

Miki bercakap-cakap pada yang lain. "Ambil kain dan air." Dan semua barang yang ia butuhkan langsung tersedia begitu para gadis sigap menanggapi perintahnya. Dia memeras kain kompres hingga airnya turun deras dalam satu perasan. Kain itu diusapkan ke dahiku, membuat mataku menjadi berat karena air hangat.

Aku menolak semua kenyamanan yang ada di sekitarku. Selimut, kain pereda demam, dan obat-obatan di tangan para gadis. Kutepis selimut dan berusaha bangun. Tetapi itu tidak bertahan lama karena aku langsung menyerah pada nyeri dan perih. Aku masih tidak berteriak, hanya menangis karena begitu menyiksa saat bergerak.

"Jangan bergerak!" Miki memberiku perintah. "Patricia, makanannya!"

"Kau mau memberikan makanan pada orang yang sedang kesakitan begitu?" Suara Patricia tidak lebih dari kumpulan nada meremehkan.

Mataku menangkap sosok Aurelian dan Austin yang memperhatikan anak-anak perempuan ini dengan tatapan ... memprihatinkan. Austin meringis ketika Miki mencoba memperbaiki kompres dan meminta obat-obatan lebih. Aurelian heran karena Patricia malah mengajak Miki ribut-ribut sebagai jeda pekerjaannya.

Tidak ada Kai, dan aku mulai ingin menanyakannya ketika suara mereka bercampur.

Aurelian berkata, "Austin kan bisa dengan cepat menyembuhkannya. Kenapa kalian malah repot-repot mau susah begini?"

"Berikan makanannya, suapi dia, bujuk agar dia mau menelan apa pun yang ada di mangkuk itu, Pat!" Tetapi Patricia tidak mengindahkan Miki.

"Orang sakit tidak boleh makan sambil tidur begitu. Berikan dulu pengobatan pada kaki dan netralkan racunnya dengan cepat."

"Aku dan Aurelian menunggu diberi perintah juga."

"Aku sudah berusaha sebaik-baiknya agar dia tetap dalam kondisi stabil."

"Austin benar-benar bisa mengobatinya, Nona-nona."

"Stabil tidak cukup. Dia butuh obat. Kekuatanmu tidak begitu manjur."

"Kalau begitu suapi dia makanan agar obatnya bisa dikonsumsi, anak idiot! Apa yang kau pelajari di sekolahmu dulu?" Miki melempar sarung tangan yang ia gunakan dan merampas mangkuk berisi makanan yang nyaris tumpah sedikit. Dia melontarkan tatapan garang pada Patricia. "Kalau kau tidak bisa membantu, pergi saja!"

Gauvelaire Has PromisedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang