[24] Hitam di Dalam Emas

87 27 0
                                    

"Sedikit pengetahuan takkan menyakiti moralmu."

⌞ E ⌝

M A J O R M E M O R I A

"SERIUS? Kau lagi?" Aku tidak bisa menahan diri melihat Atlas di balik dinding pantai.

Saat itu aku baru saja kembali dari kota. Seusai mengembalikan kuda ke istal, meninggalkan vial darah di depan kastel, dan berpisah dengan salah satu Gliffard Penarik Ruang, tanpa maksud khusus aku berjalan-jalan di pantai.

Tapi lihat yang kutemukan di sore hari ini. Seseorang dengan kilat maut di sekujur tubuhnya tengah menungguku.

Atlas menoleh dan melambai. "Hai!"

Si gila yang satu ini .... "Apa yang kau lakukan?"

"Aku ingat semua jadwal dan tugasku selesai lebih cepat," katanya. "Jadi kupikir jalan-jalan di pantai ini sewaktu matahari masih ada bukan hal buruk."

Darahku mendidih. "Pergilah, kau hanya akan membuat orang-orang di sini merasakan hawa buruk saja. Apa para Dewan yang menyuruh mengirim monster untukku lagi?"

Dia mengangkat bahu, seakan-akan para Dewan bukanlah urusannya. Yang dia lakukan malah menyuruhku duduk di samping dengan gerakan tangan.

"Pergi," kataku lagi.

"Jujur saja kau menyuruhku enyah karena kau takut terbunuh," katanya, tidak menatapku. "Non, aku berbahaya untuk orang yang jahat. Memangnya kau jahat?"

"Itu bukan alasan kalau kau mau tahu."

"Begitu juga mengusir tamu yang tidak melakukan apa-apa." Baru sedetik dia menoleh, dia sudah memandang laut lagi. "Tenanglah. Kalau kau membiarkanku di sini, aku akan membayarnya dengan apa pun yang kau mau. Itu termasuk informasi mengenai dunia luar dan Dewan―segala hal yang tidak diberitahu oleh Karairan dan Elios."

Bodohnya aku yang tergerak untuk berhenti menyuruhnya pergi. Aku menelan ludah untuk menahan-nahan godaan berkata "Sungguh?" seperti orang yang tertarik. Tapi apa yang bisa kuharapkan dari diriku sendiri?

"Sungguh." Atlas tidak terdengar ingin membohongiku, dan menyiapkan rencana untuk menyergap begitu aku mendatanginya.

Saat itu, Jeremiah sudah membentak. Aku tak acuh, merasa kepalaku kosong dan menganggapnya seperti lalat berdengung. Kakiku berlari cepat dan melompat untuk langsung duduk di sampingnya.

Tanpa menunggu dia bertanya lagi, aku mengeluarkan selembar kertas lusuh dan kotor dari saku. Kertas berisi pemandangan yang baru saja kutemukan di laci-laci rumah sakit mini. "Ini apa?"

Atlas mencondongkan tubuhnya ke samping, melihat apa yang sedang berusaha kucari-cari penjelasannya. Tak butuh waktu lama, ia langsung mengangguk paham. "Itu patung-patung keluarga Norwood. Memang terlihat indah seperti kata dongeng lampau: diselimuti kabut berkilau cahaya peri, menjadi lokasi berdiam dewa, tempat para pengangkat pedang bisa mendapat berkat dari arwah Norwood yang pemberani. Sebagian benar, tapi asal kau tahu saja, di dalamnya bersemayam roh-roh yang menyanyikan pengantar kematian."

Jeremiah berteriak-teriak parau bagai bebek kesetanan. Hentikan! dia berkata tanpa mendapat balasan. Bocah tolol, jangan terlena dengan omongannya yang fantastik!

Justru aku menganggap dialah yang harus tutup mulut sekarang dan membiarkanku senang sedikit dengan rasa penasaranku. Aku berpura-pura tidak kesakitan saat Jeremiah menggedor-gedor otakku hingga mendorong banyak memori dalam penglihatan.

"Di mana tempat patung-patung itu berada?" tanyaku.

Dan aku bersyukur Atlas bisa membuatku bebas dari ocehan Jeremiah. "Kenapa? Kau ingin ke sana? Tidak jauh dari Rimegarde, kau akan menemukan puing-puing bekas kota Ayari Pertama, lalu ...."

Gauvelaire Has PromisedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang