[13] Satu Keraguan

136 34 0
                                    

"Lahir di negeri ini bukan suatu kebanggaan. Kalau kau manusia, kau adalah makanan hampir seluruh monster. Kalau kau monster, dan kau lemah, harus kukatakan kau tidak beruntung. Manusia bisa memanfaatkanmu sebagai alat percobaan."

⌞ G ⌝

PEDANG itu menembus batu dan membelahnya dengan mudah. Aku seperti sedang melihat seorang ksatria yang telah berkali-kali mendapatkan kekuatan di peperangan hingga bilah pedang miliknya menjadi sekuat logam langit dalam legenda.

Anak laki-laki lima belas tahun ini membuatku sedikit iri. Tekniknya melompat dan mengayunkan pedang hingga memusatkan energi untuk menghancurkan sesuatu yang nyaris mustahil, itu poin utamanya. Dia berpostur seperti seorang prajurit sejati, dan memiliki sikap serupa.

Tanpa mengucapkan sepatah kata atau melirik, dia langsung pergi ke arus yang sama dengan pasukan anak-anak.

Aku tak ambil pusing soal anak itu sekarang dan mengikuti para remaja lain. Pantai agak melengkung hingga apa yang terjadi di sisi sebelah kiri terhalangi dinding pepohonan. Aku mesti lari memutar sebelum mengetahui keributan yang semakin menjadi di sana. Kuharap bukan sesuatu yang mengkhawatirkan, mengingat anak-anak ini dikumpulkan untuk menjadi petarung.

Ekspektasiku terlalu rendah. Pemandangan di balik lengkungan jelas-jelas patut dikhawatirkan.

Seekor raksasa bulat kelabu tengah menempel pada batu karang yang menonjol dari air laut. Bentuknya seperti gurita, tapi tentakelnya agak terlalu wah untuk ukuran tubuh tersebut. Sekilas gurita itu nampak normal seperti kebanyakan hewan besar di laut, kecuali ukurannya. Tak ada tanda-tanda bahwa dia akan menyerang ke pantai dan berjalan menggunakan tentakel. Dia tetap ada di kedalaman yang sanggup membuat dirinya hidup. Namun, segera kusadari itulah bagian terburuk dari segalanya.

Monster itu juga memiliki sebuah kelebihan yang patut disombongkan. Tentakelnya mampu memanjang hingga delapan kali lipat. Aku melihat salah satu tentakel itu melesat ke arah pantai hingga melilit tong-tong di tumpukan batu dinding yang tidak berguna karena isinya kosong. Dia meleset untuk menangkap anak-anak gesit, tetapi benda-benda lunak (menurut monster) itu masih bisa digunakan sebagai alat penyerang. Tong-tong itu terlempar ke segala arah, salah satunya ada yang sampai ke tempatku.

Kini terjawab sudah apa yang membuat batu tadi bisa terbang.

Kubilang kalau posisinya di dalam air adalah yang terburuk, karena kalau manusia terseret tentakelnya, aku tidak yakin bisa selamat. Air adalah salah satu kelemahan manusia, dan laut itu kejam.

Karena terlalu takut mendekat, aku pergi ke dinding rendah yang menjadi pembatas antara pasir pantai dengan rumput. Lain dari pantai sepi tempat tadi aku datang, daerah pantai di sini lebih ramai―sekaligus kacau bukan main. Andaikan saja kericuhan ini tidak ada, asumsikanlah lapangan masih utuh tanpa bolong-bolong, sebuah gubuk tak harus kehilangan atap jeraminya, dan beberapa batu yang mengisi dinding tak akan hilang untuk membuat setengah lingkaran yang besar.

Sepasang kaki mendarat tegak di atas tembok batu, menghentikan tungkaiku untuk lanjut bergerak. Aku terkejut, karena orang itu lebih terlihat habis terbang. Ketika mendongakkan kepala, kulihat anak lelaki itu lagi. Anak pucat yang membuatku iri.

Namun, dia hanya menatap si monster tanpa menoleh sedikitpun padaku. Aneh. Dia seolah tidak bertanya apa-apa atau peduli tentangku. Padahal seharusnya orang asing dicurigai, terlebih mereka baru saja terkena musibah. Masa, saking fokusnya dia sampai tidak menyadari itu?

Sekonyong-konyong, sebuah suara muncul, membuatku berpaling dari si anak laki-laki. Awalnya pelan dan mampu diabaikan, tapi lama-kelamaan menjadi keras dan memenuhi kepala. Itu berkata: Kau, anak Gauvelaire, akan binasakan semua daratan, kosongkan lautan, dan membelah langit.

Gauvelaire Has PromisedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang