[28] Berbagai Hal di Hari Kedua

87 33 1
                                    

"Banyak orang membuktikan Eithnidgar adalah neraka pertama Calistian. Satu bulan penuh terbakar dengan menara api berpijar hingga langit menjerit, kegilaan pun turut menyebar. Setelah itu, tidak ada yang tahu apakah negeri itu kembali berdetak, atau hanya ada hamparan abu di atas wilayahnya. Tidak ada yang membiarkan siapa pun memasuki tempat itu, bahkan Selias Agung."

⌞ O ⌝

BIASANYA memori kelam dari Jeremiah mengubah pagiku menjadi serupa dengan mimpi buruk.

Aku bertanya-tanya bagaimana jika mimpi itu tidaklah buruk. Akankah aku bangun seperti sebelum kepalaku dirasuki oleh si roh mimpi? Pertanyaan tersebut terjawab saat aku membuka mata.

Pertama-tama yang kelima inderaku tangkap adalah sebuah langit-langit bercorak kasar yang disiram garis cahaya keemasan. Kulitku bertemu dengan permukaan dingin, rata, tapi bukan lantai sebuah ruangan. Segera setelah sekujut tubuhku meraungkan rasa sakit di mana-mana, aku sadar tiada waktu untuk mengecek di mana ini.

Setidaknya ada sedikit kepastian--jawaban dari pertanyaanku barusan. Mimpi barusan tidak memberi sensasi menyengat pada detik-detik pertama kesadaran mulai bangkit. Benar-benar berbeda.

"Lebih baik kau diam daripada membuat isi perutmu berceceran." Aku menoleh begitu suara Aurelian turut menyambut hari baruku. Tidak ada noda merah yang menghiasi sejengkal bajunya. Aku yakin, di saat Jeremiah memberikanku mimpi-mimpi pengalih, dia tengah bertarung dengan sulur-sulur magis hitamnya. Entah memang darah vampir tidak meledak-ledak selama senjata itu bermain di dekat kami, atau dia memberi sentuhan sihir untuk melepaskan kotoran itu.

"Bagaimana pertarungannya? Seru?" sindirku. "Benda-benda hitam itu cukup meyakinkan untuk menyelamatkanku dari luka ini."

Dia mendesah. "Benda-benda itu," ulangnya. "Namanya kraai. Dan kraai bukan jenis sihir penolong."

Sekejap wajahku terpaku, dan sekejap kemudian aku sadar itulah yang dia inginkan untuk membungkamku soal sihir gelapnya. Nama kraai terdengar asing untuk lidah berlogat Pracia. Bayangkan kraai adalah sebuah adonan, dan campurannya terdiri dari hal-hal gelap, keji, serta dingin.

"Kenapa diam? Kau mimpi buruk soal itu?" hardiknya. "Kau sendiri, kan, yang memancing kraai keluar."

Setelah mendengar bahwa sihir memiliki nama, kupikir tiada hal lain yang perlu kutanyakan, atau Aurelian bisa menunjukkan sisi lain yang belum pernah kutebak. Jadi kutanggapi itu dengan mengubah topik dengan sesuatu yang lebih cerdas. "Aku tidak ingat kita membawa alat medis," kataku sembari menepuk tempat di mana luka tusuk berada. "Kau balut dengan apa?"

Dia mengangkat bahu. "Mau dengar sedikit saran?"

"Aku butuh jawaban."

"Lebih baik tutup mulut dan abaikan saja daripada membuat trauma baru."

"Jadi kau memberiku semacam obat-obatan kuno menjijikan, ya?"

"Maksudku, Gauvelaire Kecil," dia berucap sabar, "siapa sih yang mau melihat perut sendiri berdarah-darah sampai rasanya kosong sekali?"

Kepalaku terkulai lemah ke samping, sadar bahwa dia tengah menyembunyikan sesuatu selagi mengobatiku. Anggap saja dia memakai sihir demi mencegah darahku terendus oleh berbagai makhluk yang senang dengan darah manusia. Aku semata-mata menjawab, "Perutku tidak kosong."

"Kau bisa berjalan, aku yakin." Dia mengulurkan tangan seusai merapikan kantong makanan yang seharusnya tergantung di pundakku.

Selagi memperhitungkan bagaimana bisa berdiri menjadi hal mudah saat ini, mau tidak mau aku menggapai permukaan telapaknya yang dingin. Sekelebat bayangan tentang betapa Aurelian terlihat cantik enam hari yang lalu--tentang jantungnya yang terasa mudah ditikam selama beberapa menit, terlintas di benakku. Itu sedikit membuat segala hal di masa kini pudar. Tahu-tahu, begitu aku menggusir Aurelian dengan gelengan kuat, kedua kakiku sudah tegak menopang bobot tubuh.

Gauvelaire Has PromisedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang