#SelamatMembaca
~🍃🍃🍃~Reina POV
Langit cerah ditemani awan yang berwarna putih bersih dengan matahari yang ikut menyinari bumi. Memandang mereka dengan penuh takjub adalah bentuk rasa syukur kita karena telah diberikan kehidupan di dunia ini. Allah begitu baik, sehingga gue bisa hidup hingga kini. Bukankah manusia harusnya bersyukur? bukan malah mengeluh tiada henti.
Hari Minggu ini merupakan awal bulan dari bulan ke tujuh. Gue berdiri di sini untuk pertama kalinya, akan memasuki kawasan pesantren. Ini impian gue sejak beberapa bulan lalu. Pesantren menjadi tempat gue untuk menjalankan kegiatan yang mungkin saja di rumah tidak pernah gue lakukan.
Sebenernya, selama ini gue merasa tidak nyaman berada di rumah gue sendiri. Keinginan gue untuk pergi dari rumah, akhirnya terjadi. Walaupun, masih ketergantungan terhadap keluarga, apalagi orang tua.
Ketika keinginan gue disupport atau didukung dan dibolehin mondok sama orang tua gue. Perasaan gue tuh senang banget, karena bisa terwujud keinginan sekolah berasrama.
"Rei, kamu yakin mau masuk pesantren?"
"Yakin kok, Pak."
"Pelajarannya gak mudah lho."
"Nanti Rei akan usahakan untuk buat semua itu menjadi mudah. Rei, bersyukur karena bapak ngizinin Reina untuk mondok. Makasih ya, Pak."
"Yang penting kamu belajar yang rajin ya, semangat terus."
"Iya, Pak. Rei, pasti bisa!"
"Ini ada uang untuk kamu. Buat jajan nanti di sana. Takutnya kamu pengen jajan. Kan, sedih kalau gak ada uang dan gak bisa jajan."
"Terimakasih banyak, Pak."
"Sama-sama."
Bayangan memiliki teman baru dan tidak ada amarah orang tua membuat gue ingin menetap lama di pesantren. Tapi gue penasaran, orang tua gue sebenernya sayang gak sih sama gue? Kok gue dibolehin untuk mondok? Padahal anaknya kan cuma dua.
Jujur nih ya, dalang dari ketidakinginan nya gue diam di rumah berlarut-larut itu ada something yang membuat gue trauma sampai sekarang. Ada kenangan yang membekas. Ada luka yang belum kering. Ada rintikan hujan yang masih basah. Terkadang masih suka terngiang-ngiang yang membuat air mata berlinang.
Gue terlalu takut untuk menghadapi masalah di rumah. Gue sudah capek, lelah, letih, lesu untuk berhadapan dengan keegoisan orang tua gue.
Gue merasa di rumah tuh gak ada kedamaian. Sebenarnya ego dan keras kepala gue yang menyebabkan ini semua terjadi. Gue gak suka dikekang, apalagi sampai disuruh ini itu. Gue pengen hidup bebas tanpa tekanan dari orang tua gue. Mungkin kalau gue mondok, gue bisa menyesuaikan diri dan mengembangkan diri. Kan gak ada yang tau. Siapa tau gitu.
Walaupun, gue merasa berat buat melepas keluarga dan teman-teman masa kecil yang selalu ada bersama gue. Namun ini hidup gue, gue harus bisa menentukan hidup dengan kemampuan gue sendiri. Tidak selamanya gue bergantung pada mereka.
Ketika masuk ke dalam pondok, jujur gue deg-degan dan terharu banget. Dengan keyakinan penuh dan niat yang semakin meningkat. Gue merasa akan hidup lebih baik jika di pondok. Tanpa tahu didalamnya seperti apa, hanya dilema oleh kenyamanan semata.
Awal masuk pondok tgl 1 juli dimana keesokan harinya merupakan hari ulang tahun gue. Dihari itu, gue mulai memasuki kehidupan baru bersama teman-teman baru, ustadzah dan para pengurus pondok yang baru dikenal. Kini mereka semua adalah keluarga baru gue. Mereka gak tau kalau besok gue ulang tahun yang ke-12. Jadi, tidak mungkin ada siapapun yang mengucapkan selamat. Sedih sih, tapi ya udahlah.
Gue diantar oleh beberapa orang. Ada Umi, Bapak, Diva, Lea, Firsya, saudara dari Bapak dan Umi, kecuali teteh. Teteh gak ikut karena ada urusan katanya. Gue dan mereka pergi dengan mobil bak warna hitam yang terbuka. Seru banget, tapi sayang. Setelah ini gue akan diam di pesantren dan pulang setiap liburan semester aja.
Di mobil bak, bukan hanya ada manusia tapi ada beberapa keperluan gue juga. Gue sudah menyiapkan beberapa makanan ringan untuk menemani belajar dan tentunya dengan alat tulis yang serba baru juga.
"Rei, belajar yang benar ya. Umi, cuma bisa sebentar. Nanti kamu minta tolong sama santri lain saja untuk cari kelas nya. Kasurnya jangan lupa dibersihkan setiap bangun tidur."
"Iya, Umi."
"Oh iya, baju kotornya masukin ke plastik warna hitam aja, minggu depan Umi ambil."
"Oke."
Gue ditempatkan dikamar 3, gedung mina. Di situlah pertemuan pertama gue dengan teman-teman seperjuangan yang akan menjalani kehidupan sehari-hari bersama-sama.
Titik di mana gue harus bisa menyesuaikan diri di lingkungan baru adalah ketika masuk pondok yang serba ramai, serba bareng-bareng, jadi harus berbagi apapun itu. Mungkin karena ini hal baru untuk gue dan gue termasuk orang yang pelit terhadap apapun yang gue punya. Jadi, sangat sulit buat gue bisa nerima keadaan di pondok.
Awalnya gue sudah membayangkan akan hidup lebih tenang jika gue berada di sini. Tapi, nyatanya engga. Jauh dari keluarga itu tak semudah yang dipikirkan.
Sekarang gue hanya perlu menjalani ini dengan ikhlas. Semoga bisa. Walaupun gue manja saat di rumah, tapi di sini beda. Gue harus bisa mandiri dan berusaha berteman dengan yang lain.
~🍃🍃🍃~
KAMU SEDANG MEMBACA
Avoid Trouble
Short Story𝕐𝕦𝕜! 𝕄𝕒𝕞𝕡𝕚𝕣 𝕕𝕦𝕝𝕦.. 𝕊𝕖𝕜𝕒𝕝𝕚𝕒𝕟 𝕓𝕒𝕔𝕒 𝕤𝕒𝕞𝕓𝕚𝕝 𝕧𝕠𝕥𝕖 𝕕𝕒𝕟 𝕜𝕠𝕞𝕖𝕟.. ℙ𝕒𝕤𝕥𝕚 𝕤𝕖𝕣𝕦!! Menghindar dari masalah, bukan lah hal yang baik. Tapi ada waktunya kita lebih baik menghindar agar sakit tak bertahan. Akhir d...