Cermin setinggi 150 sentimeter itu telah memantulkan bayangan sang pemilik cermin. Dengan seragam lengkap putih abu dan kaos kaki panjang berwarna hitam telah terpasang dengan rapi.
Ia mengambil sebuah benda di atas nakas, berwarna jingga dengan hiasan daun maple di sekelilingnya. Pilihan seseorang untuk dirinya, ia mencoba mengurai rambutnya terlebih dahulu. Dan mengambil beberapa rambutnya yang ada di depan untuk di jepit ke belakang.
Penampilan baru dari seorang Jingga, walaupun hanya sebuah jepitan, dan mungkin tidak banyak orang peduli. Namun, ia senang karena benar yang dikatakan Rain, bila ia ingin berubah. Langkah awal yang diambil adalah memperbaiki kepercayaan dirinya dengan penampilan. Tidak ada yang berubah total, tapi ia puas.
"Ma, Jingga berangkat dulu ya."
"Sudah sarapan kan, Nak?"
"Hm, sudah Ma."
Wanita setengah baya itu pun berlari dari dapur menuju ruang tamu tempat Jingga berada. Ia memberikan uang saku secukupnya dan mencium kening gadis satu-satunya itu. Jingga pun mencium tangan Ibunya dan berpamitan untuk ke sekolah.
"Jingga! Yok kita berangkat."
Tiba-tiba sebuah kendaraan beroda dua terparkir di depan Jingga, motor vespa yang antik berwarna coklat menjadi barang khas milik Alfa.
"Bibi! Alfa sama Jingga pergi dulu ya," teriaknya berpamitan dengan Ibu Jingga padahal Jingga mengatakan iya untuk ikut dengannya saja belum.
"Ayo Ji! Naik." Tapi mau bagaimana lagi, sebaiknya Jingga mengikuti saja perkataan Alfa. Gadis itu juga sudah biasa diantar oleh barang aesthetic milik Alfa ini.
"Ngomong-ngomong, kayaknya ada yang beda ya Ji?"
"APA!?" teriak Jingga mendengar perkataan sahabat gadis itu yang samar-samar terbawa angin. Helm yang menjadi pelindung kepala mereka juga menutup telinga membuat Jingga tidak bisa mendengar secara jelas.
"ADA YANG BEDA!!!" teriak Alfa. Sudah biasa mereka sedari dulu teriak-teriakan saat berbicara di atas motor karena tidak terdengar. Sebenarnya Jingga tidak terlalu suka bila berbicara saat berkendara, tapi karena Alfa selalu seperti itu setiap hari dari dulu. Jingga maklumi.
"APA YANG BEDA!?" balas Jingga lagi.
Namun, tidak ada jawaban sampai mereka melewati gerbang sekolah. Cukup memakan waktu tiga belas menit saja mereka untuk sampai ke sini. Jingga turun dari motor dan Alfa memakirkan motornya ke tempat parkiran biasa yang selalu ia tempati. Ia mengambil helm yang dipakai Jingga dan menyimpannya di motor.
"Beda ya?"
"Hah? Apa?"
Alfa menyentuh rambut gadis itu mengusapnya pelan sambil tersenyum. "Jepitannya cantik, gak kayak orangnya."
"Hah?!"
Cowok itu tertawa setelah Jingga memukul lengan cowok itu merasa kesal. Namun, semenit kemudian Alfa tiba-tiba pamit untuk pergi ke kelasnya melewati lorong yang berbeda padahal biasanya ia melewati kelas Jingga untuk pergi ke kelasnya.
"Jingga!" panggil Lara yang ternyata tidak sengaja melihat Jingga.
"Eh, Lara," ucap Jingga membalas lambaian Lara.
Lara mengikuti arah pandang Jingga tadi di mana lorong tempat dilalui Alfa beberapa menit sebelumnya. "Alfa tadi ngapain lari ke sana?"
"Oh, dia mau ke kelasnya lewat jalan itu."
Lara meng-oh riakan kalimat Jingga, "anak IPA 2 ya. Emang dekat lewat situ sih kalau mau ke kelasnya," kata Lara dan mengajak Jingga untuk pergi ke kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIRAIN
Teen Fiction"Aku harus merasakan kehilangan, bahkan tepat sebelum kamu mengenalku." Jingga, seorang gadis yang tidak percaya diri menjadikan ia anak pendiam dan introvert. Ia bertemu dengan seorang laki-laki yang sangat aktif, yang berbanding kebalik dengan Jin...