Rumor yang berada di kalangan anak-anak lainnya tentang sahabat barunya itu menjadi pikiran tambahan bagi gadis itu. Bagaimana tidak, ia baru menyadari bahwa sekitarnya selalu memandang Lara aneh serta dirinya apabila bersama. Bahkan ada yang terang-terangan mengatai Lara dihadapan Jingga dan terus memberikan saran untuk tidak dekat-dekat dengan gadis indigo tersebut.
Gadis berambut panjang itu tidak ingin bertanya tentang rumor tersebut kepada Lara secara langsung. Ia ingin gadis itulah yang menceritakan semua hal yang membingungkan ini. Namun, Jingga lega karena sahabatnya itu tidak terganggu dengan rumor yang ada.
Sudah dua hari berlalu sejak jepitan baru itu berada di tangan gadis itu dan dua hari itu pun Rain menghilang tanpa jejak. Tidak ada kabar apapun lagi darinya, membuat Jingga bertanya-tanya sedang di mana laki-laki itu berada.
Ia melepaskan pena hitam miliknya dan menutup sampul buku berwarna ungu yang biasa selalu menemaninya. Menghela nafas dalam-dalam dan mengembuskanya dengan kasar.
"Hei, Jingga!"
Satu sapaan yang tiba-tiba menyeruak masuk ke telinga Jingga membuat gadis itu bergeming di tempat. Ia tahu bahwa sosok itu sudah berhasil membuat gadis itu mencarinya setiap saat. Namun, bukan berarti imajinasinya mengambil ahli fungsi otaknya untuk berjalan. Ia tidak menggubris sapaan itu sedikitpun.
"Jingga! Kok diam?"
Kepalanya berhasil bergerak mengikuti suara tersebut tanpa disuruh. Laki-laki yang sedang ia pikirkan saat ini tepat berada di depan matanya. Tidak ada yang berbeda, masih dengan wajahnya yang sedikit pucat dan matanya yang sipit karena tersenyum.
"Kau darimana saja?" Rain tidak langsung menjawab pertanyaan gadis itu, ia langsung duduk di bangkunya begitu saja.
"Rain?!"
Ia kembali tersenyum, memperhatikan lekat-lekat wajah Jingga seakan mencari sesuatu yang ia harapkan terselip di sana.
"Jepitannya mana?"
Merasa tidak dipedulikan, Jingga membuang muka ke arah depan dengan wajah ditekuk. Rain yang menatap raut wajah baru dari gadis di sampingnya seperti ini tentu menjadi pandangan yang ingin ia ingat seterusnya.
"Aku yang lebih dulu bertanya, kenapa tanya balik?!" Ketawa laki-laki itu pecah setelah mendengar nada kalimat gadis itu kesal dengan rasa ingin tahunya.
Ia mencoba mengangkat jemarinya dan mengelus helai rambut milik Jingga dengan ragu, "kemarin aku ke rumah sakit. Sehingga tidak bisa bertemu denganmu."
Sebuah semburat merah muda terbit di pipi gadis itu secara perlahan membuat rasa aneh dalam dirinya yang tidak pernah ia rasakan. Namun, ia menepis hal itu jauh-jauh dan mencoba berpikir positif bahwa itu karena udara dingin yang berhembus lewat jendelanya yang tidak tertutup.
"Aku bertanya seperti ini karena kau tidak boleh bolos sekolah lagi. Mm, kau sakit?"
"Tidak, bukan aku yang sakit." Jingga menghela nafas lega mendengar hal itu. Pandangannya tetap memperhatikan papan kosong di depannya walau ia ingin sekali melihat wajah seseorang yang ada di sampingnya itu setelah dua hari tanpa kabar.
Sepertinya Rain mampu mendengar keinginannya, sebuah tangan dengan lembut menarik wajah Jingga untuk masuk ke dalam tatapan mata itu. Masih tetap dengan bingkai mata yang sama dan rahangnya yang tegas, hidung yang selalu kokoh berdiri di sana. Jingga masih sangat ingat dengan semua hal yang ada dihadapannya.
"Aku akan di sampingmu, Ji."
Sebuah kalimat yang keluar dari bibir milik seseorang dihadapannya lagi-lagi kembali menerbitkan warna yang lebih merah di pipi gadis itu. Ia memalingkan wajahnya dari sana, takut ketahuan akan pipinya yang memanas.
"Sebaiknya jangan berjanji, aku takut itu hanya sebuah ucapan semu."
🍁
Sedikit kesal harus mengkhawatirkan sosok ambisius ini yang lagi-lagi memaksa gadis introvert itu lebih banyak bicara. Dengan degupan jantung yang sedikit ambigu tidak tahu disebabkan karena apa, ia mencoba memaksa dirinya mengikuti Rain. Menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh guru, dan sesuai pikirannya. Sekelilingnya benar-benar memusatkan tatapannya pada Jingga.
"Ah!" Hembusan nafas frustasi dari gadis itu terasa berat karena telah kehabisan tenaga. Sepertinya menjadi seperti biasa saja lebih baik daripada harus menghabiskan tenaga seperti ini.
"Ji, kenapa?"
Jingga melirik Lara tanpa memindahkan posisi kepalanya yang sudah terjatuh di atas meja. "Aku merasa lelah karena harus ikutin Rain."
Temannya yang ada di hadapannya pun menghembuskan nafas berat seperti Jingga, seakan tahu bagaimana susahnya yang dirasakan oleh Jingga. Cowok ambisius itu benar-benar menyebalkan.
"Biar aku yang ngomong sama Rain. Kemana lagi tuh anak?"
Jingga mengangguk pasrah, memindahkan posisi kepalanya dengan kedua tangan yang menopang agar tidak jatuh. "Seperti biasa. Katanya izin buat ke rumah sakit lagi."
Rasanya Lara tidak enak dengan Jingga karena ia harus terbohongi seperti ini. Tapi gadis itu juga belum menemukan cara agar Jingga tahu tentang ini tanpa membuatnya terkejut. Belum lagi masalah rumornya yang kembali beredar, ia yakin kalau Jingga tahu tentang rumor tersebut. Tapi, temannya itu benar-benar bungkam tanpa menyinggung dan tidak menjauhinya juga.
Lara kembali berkutat dengan isi pikirannya, apakah ia harus jujur kepada sahabatnya itu atau tetap diam seperti biasa. Namun, rumor tersebut sudah menyebar lebih luas dan lebih parah. Banyak hal-hal yang tidak benar ditambahkan dalam cerita tersebut, bahkan sampai menarik Jingga paksa masuk ke dalam rumor itu.
Dengan berat hati, ia melirik Jingga diam-diam. Memperhatikan sekelilingnya yang mulai sepi meninggalkan kelas untuk istirahat. Ia mulai meneguhkan hatinya, apabila Jingga tidak ingin berteman dengannya lagi setelah ini, tidak apa-apa. Ia tidak berharap begitu banyak.
"Ayo Ra, kita ke kantin."
"Ji, aku memang indigo."
Sebuah kalimat yang keluar dari mulut mereka secara bersamaan membuat keduanya bingung. Tidak terlalu jelas terdengar di telinga mereka masing-masing.
"Eh, gimana Ra?"
Lara menggelengkan kepalanya cepat menepis pikirannya yang ribut. "Nggak, nggak ada kok Ji..."
"Kamu mau bilang tentang rumor itu kan?"
Gadis itu sempat tersentak, ia memang tidak seharusnya mengundurkan niatnya yang sudah sempat ia lontarkan itu. Lara meneguk saliva nya dengan susah payah dengan menatap Jingga dengan takut-takut. "Ah, aku- kamu tahu kan. Rumor itu, yah, aku memang indigo."
Seketika suasana sepi, di kelas hanya ada mereka berdua. Dingin dan canggung, perasaan yang tidak disukai Lara, habis ini apa yang harus Lara lakukan. Pergi meninggalkan Jingga kemudian kembali seperti semula di mana ia harus sendiri lagi tanpa teman. Yah, walaupun ia masih memiliki 'teman' beda dunia.
"Ra, terima kasih sudah memberitahu. Menjadi indigo berat kan?"
Lara mengangkat kepalanya secara dengan Jingga, menatap wajah gadis itu lekat-lekat. Mencari sesuatu yang tidak ada dalam raut wajah temannya itu. Hanya ada senyuman dan rasa empati yang tergambar di sana. Namun, kedua mata Lara malah terlihat berembun dengan cepat.
"Gak apa-apa Ra, itu karena kamu spesial. Bisa melihat dua dunia yang berbeda pasti berat sekali. Tapi kamu berhasil sampai sejauh ini."
Kali ini benar-benar tidak bisa terbendung, air matanya mengalir tanpa aba-aba. "Kau, masih ingin berteman denganku."
"Kenapa kau bertanya, kau temanku. Kenapa aku harus tidak berteman denganmu?"
Jingga menarik sudut bibirnya membentuk bulan sabit yang indah mampu melenyapkan segala kekhawatiran milik Lara yang terus mengikuti gadis itu selama ini. Tidak ada yang perlu Lara takutkan, Jingga masih mau berteman dengannya walaupun ia memberitahu rahasianya seperti itu. Tidak ada yang perlu ia takutkan lagi, rumor apapun yang beredar, setidaknya ada Jingga ia tak masalah. [23:0627]
🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
JIRAIN
Teen Fiction"Aku harus merasakan kehilangan, bahkan tepat sebelum kamu mengenalku." Jingga, seorang gadis yang tidak percaya diri menjadikan ia anak pendiam dan introvert. Ia bertemu dengan seorang laki-laki yang sangat aktif, yang berbanding kebalik dengan Jin...