Satu

9.4K 650 28
                                    

Bab 1

Suara sah menggema di penjuru rumah yang ditempati oleh empat orang anggota keluarga, serta beberapa asisten rumah tangga.

Kini tidak hanya terdiri dari 4 anggota keluarga yang akan menempati rumah besar tersebut dikarenakan ada satu anggota tambahan yang baru saja sah menjadi istri dari salah satu anggota keluarga.

Dialah Arseno Mahendra, pria 26 tahun itu baru saja mengucapkan ijab qabul hingga kini ia sah sebagai suami dari Evita Maharani.

Seno--sapaan akrabnya-- tidak pernah menyangka jika jodohnya akan dipertemukan oleh orang tuanya sendiri. Kalau tahu begitu ia tidak perlu repot-repot mencari kekasih. Untuk apa mencari jika jodohnya sudah diatur oleh orang tuanya, batin Seno berujar.

Seno kemudian mengulurkan tangannya pada Evita yang menyambut dengan gemetar.

"Hei, aku bukan monster. Untuk apa kamu takut seperti itu?" Seno menggerutu ketika melihat tangan istrinya yang gemetar ketika menyambut uluran tangannya.

"Seno." Mama Seno yang tak lain adalah Widya menatap tajam putranya. Istri gemetar bukannya ditenangkan, tapi justru diomeli, dengus Widya.

"Iya, Ma." Seno dengan malas menyambut uluran tangan Evita kemudian menciumnya. Hal tersebut sontak membuat Widya memukul pundak putranya gemas.

"Apa lagi?" Seno menatap mamanya dengan tatapan malas. Perasaan tidak ada yang benar dimata mamanya, pikir Seno.

"Istri kamu yang harus cium punggung tangan kamu, bukan kamu yang cium punggung tangan istri kamu, Seno anak Mama yang pintar." Widya menatap putranya gemas.

Andai saja tidak ada sanak saudara dan tetangga yang hadir, Ingin rasanya Widya memukul kepala putranya dengan sepatu hak tinggi agar otak putranya bisa lurus kembali.

"Oh." Seno mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Evita kemudian mendorong punggung tangannya agar perempuan yang menjadi istrinya mencium punggung tangannya. "Udah," lapornya pada sang mama.

"Bagus." Widya mengangguk puas. Setelah itu mereka mulai mengikuti serangkaian acara di antaranya adalah doa bersama agar pernikahan yang dijalani Seno dan Evita langgeng hingga maut memisahkan.

Setelah itu pasangan pengantin dibawa ke pelaminan yang sudah disediakan di halaman depan kediaman Ardi Mahendra yang tak lain adalah Papa Seno.

Mereka memang sengaja tidak menyewa gedung karena memanfaatkan lahan yang berada di halaman depan rumah.

Orang tua Seno sendiri memiliki usaha restoran serta kontrakan yang bisa mencukupi kehidupan mereka bahkan lebih. Total ada 5 cabang yang tersebar di beberapa daerah yang masih berada dalam kawasan kota Jakarta. Begitupun dengan kontrakan sehingga mereka tidak begitu kesulitan dalam hal keuangan.

Seno sendiri sedang mengembangkan usahanya di bidang percetakan buku yang sudah ia geluti selama 4 tahun terakhir. Seno sudah memiliki gedungnya sendiri sehingga ia tidak perlu menyewa lahan atau tempat untuk membuka usaha. Orangtua memiliki kontrakan dalam jumlah yang banyak, tidak mungkin Seno mau menyewa tempat.

Percetakan yang dipimpin oleh Seno sendiri sudah cukup terkenal di kalangan penulis dan pembaca. Tidak heran jika mereka memiliki omset yang banyak setiap tahunnya. Percetakan milik Seno tidak hanya mencetak novel, tapi juga buku pelajaran dan surat Yasin jika dibutuhkan.

Seno bahkan berniat untuk membuka cabang di beberapa daerah dan semoga saja niatnya terkabulkan agar bisa membuka lapangan pekerjaan bagi para pengangguran yang memiliki tekad untuk bekerja.

"Oy." Seno tanpa sungkan menyenggol lengan Evita yang duduk di sebelahnya.

Saat ini mereka sedang duduk di pelaminan dan Evita sejak tadi diam tanpa mau menoleh atau mengajaknya bicara dan hal tersebut tentu saja membuat Seno jengah.

"Mulut kamu tidak dikunci oleh Mama 'kan?" Seno bertanya sambil menatap Evita yang di dandan sedemikian rupa oleh perias profesional sewaan mamanya.

Lihat saja bentuk alisnya ditata sedemikian rupa. Hidung dibuat mancung, dan bibir dibuat mungil. Sementara dagunya juga dibuat tirus sehingga bentuk wajah Evita terlihat cantik dengan bantuan make up. Itu adalah hal yang dipikirkan oleh Seno ketika pertama kali melihat wajah Evita yang didandani dengan cantik oleh perias ternama.

Pertemuan pertama mereka tentu saja sebelum akad dilaksanakan. Seno hanya menerima ketika ia bertanya pada mamanya apakah calon istrinya memiliki wajah cantik dan jawaban mamanya cukup membuat Seno sedikit puas. Barulah ketika selesai ijab Kabul Seno bisa menatap wajah istrinya dengan jelas. Iya, ini adalah pertemuan pertama mereka.

Evita yang mendapat pertanyaan tiba-tiba dari Seno, spontan menundukkan kepalanya. Gadis itu menggeleng pelan sebagai jawaban jika mulutnya tidak dikunci oleh Mama Lidya.

"Aku hanya bercanda. Kenapa kamu menanggapi dengan serius?" Seno terkekeh geli melihat reaksi Evita. "Kenapa menunduk seperti itu? Apa ada uang koin di bawah?" Seno ikut menundukkan kepalanya mencari sesuatu yang menjadi objek pandang Evita. Namun, yang Seno temui hanya karpet merah yang menjadi alas kaki mereka.

"Tidak ada uang." Seno kembali menyenggol Evita dengan sikunya. "Apanya yang menarik?" Seno menatap Evita dengan sebelah alis terangkat.

Jawaban Evita, "tidak ada apa-apa."

Seno hanya mendengus. Tak lama kemudian dua sosok pria dan 1 orang wanita naik ke atas pelaminan dan menyapa Seno dengan ramah.

"My Sensen akhirnya nikah juga. Tidak menyangka, kalau bocah ini akhirnya punya istri," ujar seorang pria seraya menepuk pundak Seno. Hal tersebut spontan membuat Seno memelototi pria yang tak lain adalah sahabatnya itu.

"Kamu punya dendam sama aku? Mukulnya dari hati banget," ujar Seno ketus. Tangannya bergerak mengusap pundaknya yang baru saja menjadi korban keganasan sahabatnya.

"Kamu saja yang lemah," cidbir temannya.

"Raka." Wanita di samping pria yang memukul pundak Seno memelototinya ganas. "Jangan cari gara-gara kalau kamu tidak ingin tidur di luar," ancamannya, membuat Raka menunduk.

"Aku tidak melakukan apa-apa lagi," cicitnya.

Sementara wanita itu memutar bola matanya. Kemudian ia mengulurkan tangan pada mempelai wanita yang menyambut dengan canggung.

"Aku Raline, dan pria di sampingku adalah Raka, suamiku," ucap Raline memperkenalkan dirinya. "Sementara patung es berjalan di belakang kami adalah Gibran. Kami bertiga sahabat Seno," tambahnya, menjelaskan status mereka.

"Aku, Evita, Mbak," jawab Evita sambil tersenyum kecil.

Raka juga ikut memperkenalkan diri. Sementara Gibran hanya bersalaman tanpa mengeluarkan sepatah kata.

"Bro, sebagai orang yang jomblo cukup lama di antara kita, aku berdoa semoga kamu cepat menikah juga," ujar Seno menatap Gibran. "Ayo, jangan mau kalah denganku."

"Kamu baru sehari menikah saja sudah sombong. Aku yang sudah menikah 3 tahun biasa saja," ujar Raka disambut dengusan Seno.

"Terserah aku. Sebagai sahabat yang baik, aku hanya memberi usul pada Gibran." Seno memutar bola matanya malas. Begitupun dengan Raka.

Ketiganya akhirnya turun dari pelaminan saat melihat antrian sudah panjang di belakang mereka.

Mungkin lain waktu mereka akan berbincang santai dengan istri Seno yang terlihat sangat penakut.





Ini adalah kisah yang sudah pernah dipublish dan diunpublish lagi. Akan tayang selama bulan Ramadhan.

Cinta Setelah MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang