Tiga Tujuh

2.2K 461 72
                                    


Bab 37

Seno memeluk tubuh Evita dengan erat setelah pulang dari kantor. Pria itu mendapat kabar dari mamanya jika hasil pemeriksaan dari dokter menyatakan istrinya sedang hamil 9 Minggu.

Seno tentu saja merasa bahagia. Lihat saja, saat bertemu dengan Marco nanti, ia akan dengan senang hati memamerkan anaknya. Usianya masih 26 jalan 27, sudah memiliki anak, tentu saja sebuah kebahagiaan bagi seorang Arseno Mahendra.

"Terima kasih, Sayang. Akhirnya kamu memberikan aku kado terindah setelah berpusing ria di kantor tadi."

Gemas menatap wajah istrinya, pria itu mencium pipi kiri dan kanan sang istri bertubi-tubi hingga membuat Widya menarik telinga anaknya menjauh.

"Tidak sopan kamu. Bisa-bisanya kamu cium istri di depan mama dan adik kamu."

"Iya, Ma. Bang Seno memang begitu. Tidak lihat sekitar," kompor Alisa.

Gadis itu sudah merasa jengkel melihat bagaimana kakaknya terus memeluk dan mencium pipi sang kakak ipar terus-menerus.

"Dasar anak kecil sirik saja. Tidak pernah melihat orang bahagia apa?"

"Sering! Tapi tidak berlebihan seperti Abang," balas Alisa tak mau kalah.

Sedang untuk Evita hanya menunduk malu akan kelakuan suaminya yang memang tidak bisa dikontrol.

"Sudah, Sayang. Kita pergi ke kamar aja. Daripada di luar, nanti bisa bikin hati orang panas melihat kemesraan kita."

Seno kemudian mengajak istrinya untuk ke lantai atas dan bermesraan di kamar. Sebelum itu ia menitip pesan pada mamanya untuk meminta tolong Bu Ami membersihkan kamar yang berada di lantai dasar. Rencananya, selama kehamilan Evita, Seno akan menempati kamar di lantai dasar. Pria itu takut jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada istrinya yang akan terus turun naik tangga.

Widya yang mengerti kekhawatiran anaknya tentu saja setuju.

Di lantai dasar memiliki 4 buah kamar. Kamar miliknya dan suami, milik Bastian, kamar tamu, dan juga satu buah kamar yang di tempat Ibu Ami bersama Hani.

Kamar tamu jarang ditempati, sehingga bisa ditempati oleh Seno dan Evita untuk sementara waktu.

Ardi yang mengetahui jika ia akan segera memiliki cucu juga bersemangat. Pria paruh baya itu mendatangkan seseorang yang ahli untuk mendekorasi kamar yang akan ditempati oleh putra dan menantunya. Tidak sampai di situ saja, bahkan beberapa furniture harus diganti termasuk tempat tidur. Sementara tempat tidur yang semula, akan ia berikan pada tetangga yang membutuhkan.

Melihat bagaimana antusias keluarga sang suami dengan kehamilannya, tentu saja membuat Evita merasa  senang dan bahagia. Tidak pernah selama hidupnya ia mendapatkan perhatian yang begitu berlebihan seperti ini dari keluarganya. Dulu, orang tuanya tidak mampu memberikan sesuatu yang mahal untuknya. Kasih sayang yang diberikan orang tua sudah cukup membahagiakan seorang Evita. Namun, saat sudah besar, dia tidak hanya mendapatkan kasih sayang dari suami dan keluarga suaminya, tapi fasilitas juga ia dapatkan. Meski terkadang dalam lubuk hatinya ia merasa sedih karena kedua orang tuanya tidak ada lagi di dunia saat hari bahagianya tiba.

Hari-hari dijalani dengan baik oleh Evita. Nafsu makannya justru semakin bertambah hingga membuat bobot tubuhnya sedikit melonjak. Sementara Papa dan Mama mertuanya terus memberi asupan makanan apa saja yang tentunya akan dilahap oleh Evita.

Mual, pusing, dan ngidam, justru dialami oleh Seno. Pagi-pagi  pria itu akan mengalami mual ketika akan mandi. Kemudian, seringkali menginginkan makanan yang aneh-aneh yang untungnya bisa dipenuhi oleh Evita maupun mamanya.

Ketukan di pintu menyadarkan Seno dari lamunannya. Pria itu mendongak dan memberi titah agar si pengetuk untuk masuk.

Tak lama pintu terbuka dan muncul sosok Vika yang datang dengan membawa segelas air hangat.

"Ini, Mas, air hangatnya."

Seno baru saja mengalami mual-mual hebat, dan pria itu segera meminta Vika untuk membawakan segelas air hangat untuknya.

"Terima kasih."

"Sama-sama, Mas." Vika mengangguk. "Nanti siang jadi 'kan Mas, buat menemani saya ke rumah sakit?"

"Jadi.  Tapi, nanti saya minta izin istri saya dulu."

Mendengar jawaban Seno, senyum Vika sedikit menyusut. "Apa tidak apa-apa Mas izin untuk menemani saya ke rumah sakit sama istri mas? Saya takut nanti dia curiga."

Seno mengerut kening. "Curiga kenapa? Saya tidak melakukan apa-apa sama kamu. Hanya sebatas menemani kamu mengunjungi nenek kamu di rumah sakit."

"Saya takut itu akan membuat istri mas merasa risih."

"Makanya itu saya izin dulu." Seno menyesap air di dalam gelas. Kemudian mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Evita. "Halo, Sayang."

"Iya, Mas? Ada apa telepon siang-siang? Mas mual lagi?"

Evita memberikan pertanyaan beruntun saat mengangkat telepon dari Seno. Mual yang dialami suaminya tidak terjadi di pagi hari saja, melainkan di siang hari juga. Siang hari terkadang membuat Seno harus menelepon  Evita untuk memberitahunya.

"Iya, masih mual-mual. Ini aku telepon karena mau minta izin."

"Izin apa, Mas?"

Sebelum menjawab, Seno menatap  Vika yang berdiri di seberangnya.

"Kamu tahu Vika? Sekretaris aku. Dia minta ditemani untuk ke rumah sakit mengunjungi neneknya di rumah sakit. Boleh, Sayang?"

"Oh, Mas mau minta izin ini? Boleh, Mas. Tapi, Mas harus hati-hati. Tidak usah bawa mobil ngebut."

"Iya, Sayang."

Setelah sambungan telepon terputus, pria itu mengangkat kepalanya menatap Vika.

"Sudah dengar? Istri saya tidak masalah."

"Iya, Mas. Kalau begitu saya permisi."

Vika kemudian berbalik pergi meninggalkan ruangan Seno. Sementara di sisi lain, ada Widya yang sedang memelototi menantunya. Tidak habis pikir, Evita mengizinkan begitu saja suaminya pergi dengan wanita lain.

"Mama kenapa?"

Takut-takut, Evita menatap Mama mertuanya.

"Kenapa kamu kasih izin Seno pergi dengan perempuan lain? Vita, seharusnya kamu tidak izinkan."

Gemas sekali rasanya Widya pada menantunya.

"Kenapa memangnya tidak boleh, Ma? Mas Seno 'kan berbuat baik pada karyawannya."

"Ah, sudahlah. Kamu tidak akan mengerti. Sepertinya harus Mama yang menegur suami kamu."

Memiliki menantu yang tidak punya pengalaman percintaan,  membuat Widya harus memberikan pelatihan khusus pada menantunya ini. Jangan sampai karena terlalu acuh atau tidak tahu, akan menyebabkan orang ketiga mudah masuk ke dalam rumah tangga mereka.

Evita menggaruk dagunya sambil menatap Mama mertuanya tidak mengerti. Seharusnya sebagai ibu, Mama mertuanya mendukung perbuatan baik anaknya. Bukan justru melarang, pikir Evita polos.

Cinta Setelah MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang