Bab 43Memilih beberapa tas yang diinginkan dengan budget pas-pasan tentu saja membuat Alisa pusing. Pasalnya, ia menginginkan kedua tas di tangannya. Namun, ia cukup sadar diri jika dirinya hanya bisa memilih satu, mengingat uang yang diberikan oleh mamanya tidak banyak.
"Lun, menurut kamu bagus yang kanan atau kiri?"
Alisa menoleh menatap sahabatnya itu. Saat ini mereka memang sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli tas yang sudah lama diincar oleh Alisa. Sayangnya, saat mereka sudah memasuki toko, justru ada tas terbaru yang juga ditaksir oleh Alisa. Hal ini yang membuat gadis itu bingung mau memilih tas yang sudah lama ia incar, atau memilih tas keluaran terbaru.
"Kalau kataku bagus semua, Lis. Kenapa kamu tidak ambil dua-duanya?"
"Mama cuma kasih aku 15 juta untuk beli tas ini. Nah, tas terbaru ini harganya dibawah 15 juta sedikit. Jadi, aku bingung mau pilih yang mana."
Aluna spontan melebarkan matanya mendengar perkataan temannya yang begitu enteng.
"Harga tas apa yang 15 juta? Mahal sekali," bisik Aluna, menatap sekeliling. "Apa mungkin kamu kena tipu, Lis? Tas seperti ini di pasar cuma 50 ribu."
Mendengar apa yang diucapkan oleh sahabatnya tentu saja Alisa melotot tidak terima.
"Ini tas asli, bukan KW. Enak saja."
"Mahal sekali." Aluna menatap aneh pada tas yang digenggam oleh teman yang menjadi sahabat dan saudarinya itu.
"Iya, mahal. Makanya tiga hari tiga malam mama tidak berhenti mengomel karena aku memaksa buat beli tas ini."
Alisa memasang wajah cemberut, mengingat bagaimana selama 1 bulan penuh ia membujuk mamanya untuk memberikan uang dengan nominal yang cukup besar padanya dan berakhir dengan omelan selama tiga hari tiga malam.
"Tapi, buat apa kamu tas mahal-mahal seperti ini?"
"Iya, buat masukin barang-barang aku, dong, Lun."
Sekali lagi Aluna tidak mengerti dengan jalan pikiran sahabatnya ini. "Tapi plastik kresek atau karung pun bisa menampung barang-barang kamu."
"Tidak like i same you, Lun."
Alisa mendengus mendengar ucapan Aluna. Gadis itu kemudian melengos pergi setelah mengambil keputusan berat untuk memilih satu tas di tangan kanannya. Berdiskusi dengan Aluna tidak akan mendapatkan hasil yang memuaskan.
Setelah membayar tas di kasir, Alisa kemudian berniat untuk membawa Aluna menuju restoran untuk mengisi perut.
Sesampainya di kursi mereka, Alisa meletakkan paper bagnya di samping kursi. Saat akan mendudukkan dirinya, tidak sengaja ia melihat dua sosok yang ia kenali duduk cukup jauh dari posisinya berada.
"Kamu tunggu di sini sebentar, Lun. Jaga barang-barangku."
Tanpa menunggu respon Aluna, gadis itu segera menghampiri meja yang ditempati oleh kakaknya dengan seorang wanita yang sudah cukup ia kenali.
"Abang!"
Seno, pria itu menoleh dan menatap terkejut pada sosok sang adik yang kebetulan bertemu dengannya di restoran ini.
"Kamu, Lis, sama siapa kamu di sini?"
"Sama Aluna." Alisa menjawab santai. Kemudian beralih menatap wanita yang bersama abangnya sejenak. "Abang ngapain di sini berdua sama Mbak Vika? Abang tahu 'kan kalau abang ini pria ber-istri. Tidak baik kalau Abang di sini berdua dengan dia."
Alisa tentu saja tidak takut untuk menegur abangnya selama ia merasa tidak bersalah. Terlebih lagi, ia tahu jika wanita yang saat ini sedang menatapnya dengan tenang menyukai sang kakak.
"Alisa, Abang tidak hanya berdua di sini. Tadi, Abang sama Riko dan Nina. Sebentar lagi mereka akan menyusul."
"Walaupun begitu, tetap saja tidak etis Abang berjalan dengan wanita lain selain Mbak Vita. Nanti orang pada salah paham dan mengira Abang ini pacarnya Mbak Vika."
"Iya, Abang paham, Lis. Tapi, Abang tidak hanya berdua."
"Iya, tetap saja tidak etis. Memangnya Abang mau melihat Mbak Vita jalan berdua dengan laki-laki lain?"
"Tidak akan pernah Abang izinkan," tegas Seno.
"Makanya ini dibalikkan ke Abang, bagaimana kalau posisi Abang ada di Mbak Evita." Alisa mendengus kemudian menatap Vika yang sejak tadi diam. "Mbak Vika, harus bisa menjaga batasan untuk tidak lagi dekat-dekat dengan abang saya. Abang saya bukan laki-laki single seperti dulu lagi. Mbak Vika tidak mau dianggap seperti perempuan begini 'kan sama orang lain?" Tidak lupa, ia juga menggunakan tanda petik dua sebagai kode.
Setelah mengeluarkan uneg-unegnya, gadis itu kemudian melengos pergi tanpa menunggu Seno dan Vika membalas ucapannya.
Pulang dari mall, Alisa langsung mengadukan apa yang ia lihat di restoran pada mama dan kakak iparnya. Jika Widya menanggapinya dengan menggebu-gebu, berbeda dengan Evita yang tetap santai dan tenang.
"Vita, kamu kok diam saja? Seharusnya kamu marah kalau lihat suami kamu jalan sama perempuan lain."
Wanita paruh baya itu sangat gemas dengan respon menantunya.
"Kenapa harus marah, Ma? Tadi Mas Seno sudah izin kok sama aku kalau dia mau makan siang sama karyawan kantornya."
Baik Alisa maupun mamanya sama-sama melebarkan mata mereka. "Terus, kamu izinkan?"
Dengan wajah polosnya, Evita mengangguk sebagai respon. Hal ini tentu saja membuat baik Alisa maupun mamanya sama-sama melemaskan tubuh mereka di atas sofa.
Sementara Aluna sendiri hanya diam menonton apa yang terjadi tanpa mau mengeluarkan komentar.
"Kamu memangnya tidak sayang sama Seno? Kok, kamu tidak marah atau cemburu kalau suami kamu jalan dengan perempuan lain?"
"Aku sayang dengan Mas Seno. Tapi, aku tidak marah karena Mas Seno sendiri sudah izin dan jujur sama aku, Ma, Lis." Evita menatap Mama mertua dan adik iparnya. "Tapi kalau Mas Seno tidak bilang di awal dan aku tahu dari Alisa, maka boleh aku marah."
"Mbak Evita pokoknya harus marah dengan Bang Seno. Mbak Evita jangan diam aja dong kalau Abang pergi dengan perempuan lain. Kalau abang diambil sama perempuan itu bagaimana?"
"Itu tandanya Abang kamu tidak sayang dengan mbak dan anak di dalam kandungan Mbak. Laki-laki yang menyayangi istri dan anaknya, tidak akan rela meninggalkan keluarganya demi wanita lain." Evita menjawab dengan bijak. "Aku percaya dengan Mas Seno, yang tidak akan menghianati aku. Adapun nanti, kalau Mas Seno benar-benar menghianati aku, maka aku akan berdoa pada Allah, supaya memberikan Mas Seno dan selingkuhannya rasa sakit yang lebih sakit dari yang aku rasakan."
"Ya ampun, bijak sekali kamu, Nak. Pokoknya Mama akan mendoakan yang terbaik untuk kamu." Widya menepuk pundak menantunya. "Harus kamu contoh itu kakak iparmu, Lis. Tidak menggebu-gebu seperti kamu."
"Oh, tidak. Aku tidak mau pasrah seperti Mbak Evita. Kalau suami aku selingkuh, aku akan memotong benda berharganya sampai rata dan memberikannya makan pada buaya."
"Astaghfirullahaladzim."
Evita beristighfar sambil mengusap perutnya agar anak di dalam kandungannya tidak menuruni sifat Alisa yang selalu berbicara blak-blakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Setelah Menikah
General Fiction#Serial Drama Ramadhan 1: Jodoh Tak Terduga. #Serial Drama Ramadhan kedua setelah Gibran dan Aqila. MY WIFE, I LOVE YOU. Seno & Evita Arseno Mahendra atau kerap disapa Seno menikahi anak dari pelayan di rumahnya yang sudah lama bekerja di kediaman...