Empat Dua

974 122 7
                                    


Bab 42

"Kami tadi ketemu dengan selingkuhan pacar kamu itu, Vik."

Vika yang baru saja menyesap minum dalam gelasnya tersedak mendengar ucapan dari Rina.

Wanita itu segera menoleh dan menatap bingung pada sosok sepupunya yang memang sering berada di rumahnya.

"Maksud kamu?"

"Memangnya aku belum kasih tahu sesuatu sama kamu?"

Mengerut keningnya, Vika bertanya, "sesuatu apa?"

"Ini, lihat."

Rina segera mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan gambar yang ia ambil beberapa hari lalu pada sepupunya.

"Ini pacar kamu 'kan? Seno? Cowok yang kamu bawa ke rumah dan dikenalkan ke keluarga terus, kamu bawa juga untuk ketemu dengan nenek kita." Rina memperbesar layar agar sepupunya bisa melihat wajah Seno dan selingkuhannya dengan jelas. "Aku ketemu dengan dia di restoran bintang 5 bawa cewek. Ini ceweknya."

Vika dibuat tertegun dengan apa yang dilakukan oleh Rina dan apa yang ditunjukkan oleh sepupunya itu.

Vika tentu saja mengenal sosok wanita yang bersama Seno. Itu adalah istrinya, batin wanita itu berujar. Namun, tidak mungkin Vika mengakui hal ini di depan Rina. Bisa malu dirinya jika mengakui suami orang adalah kekasihnya. Sebenarnya, bisa saja ia mengelak jika dirinya tidak mengatakan apa-apa tentang hubungannya dan Seno pada keluarga. Namun, ia justru menikmati pujian yang dilayangkan oleh anggota keluarga lainnya tentang Seno yang memiliki wajah tampan serta mapan. Hal ini yang membuat Vika enggan untuk mengklarifikasi jika hubungannya dengan Seno hanyalah sebatas atasan dan bawahan.

Apalagi melihat tatapan iri dari bibi, sepupu, dan keluarganya yang lain karena ia berhasil mendapatkan seorang Seno. Sayangnya, mau mengelak sekarang pun ia tidak bisa. Vika hanya berharap semoga tidak akan terjadi masalah ke depannya.

"Kamu harus minta penjelasan sama Seno tentang foto ini. Nanti aku kirim ke kamu fotonya ke WA. Jangan mau kalah sama perempuan seperti ini. Dia seperti perempuan pendiam dan lembut, tapi hatinya busuk karena mau merebut pacar kamu," ungkap Rina menggebu-gebu. "Tadi kami ketemu dia di supermarket. Tahu tidak, ekspresi wajahnya seolah dia tidak bersalah sama sekali, padahal sudah kami sindir habis-habisan."

Mendengar itu Vika kembali tertegun. Mulutnya lagi akan terbuka untuk berbicara, namun ponsel di tangan Rina sudah berdering lebih dulu. Segera ia mengangkatnya dan pergi meninggalkan Vika yang terbengong di tempat.

Sementara di sisi lain, sore sepulang dari bekerja, Seno mengajak istrinya untuk jalan-jalan di taman yang tak begitu jauh dari area perumahan mereka tinggal.

Menggunakan kendaraan beroda dua, keduanya menyusuri jalan dengan pelan dan hati-hati.

"Mas, memangnya tamannya masih jauh?"

"Tidak juga. Pokoknya di depan situ sudah ada tamannya. Kalau sore seperti ini biasanya ramai."

"Oh, oke."

Tak lama kemudian mereka akhirnya tiba di taman yang dimaksud. Seno membantu istrinya turun dari motor karena takut sang istri akan oleng saat turun dari motor dan menyebabkan bahaya pada anak di dalam kandungannya. Maklum saja, semenjak hamil Seno memang selalu protektif pada istrinya itu.

"Mas, motor kamu ini tidak tinggi. Aku bisa turun sendiri tanpa kamu pegang pelan-pelan seperti ini."

Jujur saja Evita dibuat gemas dengan tingkah laku suaminya. Terlebih lagi mereka sudah menjadi tontonan orang-orang yang masih berada area parkiran.

"Tidak apa-apa, Sayang. Aku takut kamu nanti kenapa-napa."

Evita hanya menggeleng kepalanya melihat tingkah laku sang suami. Mereka kemudian melangkah masuk dan menyusuri taman hijau yang memang terawat rapi.

Banyak orang yang sudah datang bermunculan. Ada pasangan suami istri, ada yang membawa keluarga, teman, dan mungkin pacar.

Setelah berjalan keliling, mereka akhirnya berhenti di sebuah kursi yang membelakangi tumbuhan setengah pinggang orang dewasa. Tak jauh dari posisi mereka saat ini adalah sebuah pancuran air mancur dengan kolam berbentuk melingkar di bawahnya.

"Anaknya papa, sehat-sehat di dalam sana, ya?"

Seno menunduk dan mengusap perut istrinya yang memang sedikit buncit. Pri itu sudah tidak sabar untuk melihat perut istrinya yang menggelembung besar.

"Alhamdulillah, sehat, Papa," sahut Evita, menirukan suara anak kecil.

"Pokoknya, jadi anak yang baik di dalam sana. Harus kalem seperti mama kamu dan jangan pecicilan seperti Bibi kamu."

Evita spontan tertawa mendengar ucapan suaminya. Memang selama hamil, suaminya sering bertengkar dengan sang adik ipar yang tak lain adalah Alisa. Hal kecil apapun bisa jadi perdebatan mereka hingga berakhir dengan Seno yang selalu mengadu padanya.

"Kalau mas tidak mau anak kita tidak pecicilan, makanya berhenti mencari masalah dengan Alisa."

"Tidak bisa." Seno langsung menegakkan tubuhnya kemudian menatap wajah sang istri. "Saat melihat wajah Alisa, entah mengapa bawaannya gemes aja. Pengen banget Mas unyel wajahnya itu. Terus, remas-remas seperti ulekan kue."

"Ssst, tidak boleh bicara seperti itu."

"Faktanya memang begitu, Sayang. Mukanya Alisa itu bikin Mas gregetan. Makanya, Mas selalu cari masalah dengan dia. Pokoknya anak kita harus kalem seperti kamu. Jangan seperti Alisa."

"Makanya berdoa saja."

Evita tersenyum manis. Merasa beruntung, pernikahannya tidak penuh drama seperti pernikahan dalam novel yang ia baca. Tentu saja novel tersebut diberikan oleh Alisa padanya untuk menemani dikala ia sedang tidak melakukan apa-apa.

"Mau makan batagor?"

"Memangnya ada jualnya, Mas?"

"Ada. Tidak jauh dari sini, Ma."

"Ma?" ulang Evita, mengernyit keningnya.

Tersenyum manis, Seno menyentuh kedua tangan Evita. "Kita 'kan suami istri. Sudah mau punya anak juga. Baiknya kita panggilannya mama dan papa. Supaya nanti kita terbiasa panggil dengan sebutan itu di depan anak-anak."

Evita terlihat berpikir sejenak sambil memandang ragu pada sosok suaminya. "Tapi, apa tidak aneh kalau aku panggil Mas dengan sebutan papa? Nanti kalau Mas lagi ngobrol dengan papa Ardi, terus aku panggil papa, kalian berdua sama-sama nengok, bagaimana?"

"Iya, juga." Seno bergumam pada dirinya sendiri. "Bagaimana kalau panggilannya ayah dan bunda saja. Setuju?"

Evita berpikir sejenak, sebelum akhirnya ia mengangguk setuju. Panggilan ayah dan bunda lebih baik daripada Papa dan Mama. Takutnya saat memanggil salah satu dari keduanya, maka mereka akan sama-sama menoleh.

"Jadi, Bunda tunggu di sini sebentar, ayah mau beli batagor untuk bunda dan anak kita."

Pria itu tersenyum sambil mengusap perut istrinya yang tertutup jilbab.  Mengenakan gamis berukuran besar dan jilbab yang menutup hampir pinggang, tentu saja membuat perut Evita tidak begitu terlihat.  Semenjak mengenakan jilbab, Evita memang selalu menjaga auratnya. Wanita itu berusaha untuk tidak menampilkan bagian tubuhnya yang menonjol.

"Iya, Ayah. Hati-hati."

"Tenang, Sayang. Tidak jauh, kok."

Segera Seno berbalik pergi meninggalkan Evita di kursi taman.

Sekali lagi Evita merasa bersyukur memiliki suami seperti Seno. Meskipun, awal-awal pernikahan, pria itu seringkali menjailinya. Pria yang bisa menghormati dan menyayangi ibunya, juga bisa menyayangi istrinya dengan adil. Asal, mertua tidak ikut campur dalam urusan rumah tangga anaknya. Beruntungnya lagi Evita memiliki mertua yang sangat baik.

Cinta Setelah MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang