Empat Belas

2.2K 461 45
                                    

Selesai mengaduk kopi yang dibuat untuk Seno, Evita mengangkat tatakan kemudian berniat untuk membawanya keluar menuju halaman samping rumah di mana Seno saat ini berada. Namun,  saat akan melangkah keluar dari dapur, ia justru bertabrakan dengan Linda hingga membuat sebagian kopi di dalam cangkir tumpah dan mengenai perutnya.

Jeritan spontan keluar dari mulut Evita ketika merasakan kopi panas tersebut mengenai bajunya hingga masuk lebih dalam dan membuat penghuni rumah terkejut menghampiri sumber suara.

"Vita, kamu kenapa?" Seno yang tiba lebih dulu segera menghampiri istrinya dan menatap baju sang istri yang sudah basah serta tatakan dan cangkir kopi yang berada di bawah.

"Astaga! Kamu ketumpahan kopi? Panas?" tanya pria itu bodoh.  Hal itu tentu saja membuat Widya segera menjewer telinga anaknya.

"Kalau kamu ke tumpahan kopi panas, bakalan panas apa dingin?" Greget sekali Widya pada putranya satu ini.

"Aduh, maaf, ya, Vit. Aku tidak sengaja. Kamu juga tadi jalannya tidak hati-hati, makanya jadi ketumpahan," ucap Linda meminta maaf. Wanita itu menunduk dan memungut pecahan kaca serta tatakan. Sementara Widya  dan Seno sibuk mengurusi Evita.

"Seno, langsung bawa aja istri kamu ke kamar. Obati. Nanti lukanya meninggalkan jejak."

"Iya, Ma." Tanpa menunggu lama, Seno segera membawa istrinya ke kamar. Setibanya di kamar, pria itu langsung meminta istrinya untuk membuka baju yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Evita.

"Kenapa mesti malu? Tadi malam aku sudah melihat semua bagian tubuh kamu, dan bahkan yang paling tersembunyi sekalipun. Jadi, buka! Biar aku ambil salepnya sebentar."

Tanpa menunggu balasan dari Evita, pria itu kemudian berbalik pergi mengambil kotak P3K yang terletak di laci luar kamar mereka. Saat kembali, Evita sudah membuka jilbab dan gamis yang ia kenakan tadi, kemudian menutupnya dengan gamis yang hanya memperlihatkan bagian perutnya yang tersiram kopi panas. Daripada mendengar omelan suaminya yang akan panjang lebar nanti, lebih baik Evita menurut untuk membuka gamisnya.

"Ngapain pakai ditutup segala?" Segera, Seno menarik gamis yang menutupi bagian dada Evita hingga menampilkan bra berwarna biru tua.

"Mas!"

"Hei, tidak sopan jerit-jerit di depan suami seperti itu. Mau kamu masuk neraka?"

"Tapi, Mas Seno juga  tidak sopan seperti itu." Perempuan itu menarik kembali gamisnya dan menutup bagian dadanya. Tahu begitu, lebih baik ia hanya mengangkat gamisnya saja, tidak perlu membukanya. Terkadang, mengikuti ucapan Seno bisa membuat ia sesat, pikir Evita.

"Iya-iya. Maaf. Dasar cerewet," gerutunya. Pria itu kemudian memulai konsentrasinya untuk mengoles salep pereda luka sekaligus penghilang bekas luka di perut istrinya hingga selesai.

"Sudah selesai." Seno menegakkan tubuhnya sambil menatap hasil karyanya dengan puas. "Lagipula kamu juga tidak hati-hati. Lihat akibatnya."

"Aku sudah hati-hati, Mas. Mbak Linda saja yang jalannya tidak melihat. Jalanan luas, dan badanku juga besar, masa iya tidak melihat?" Evita berujar dengan ekspresi aneh. Padahal tadi ia sudah sangat berhati-hati agar tidak menabrak ataupun tertabrak. Tapi, tidak tahu mengapa Linda justru terlihat seperti dengan sengaja menabrak tubuhnya.

"Ya sudah, lain kali kamu harus hati-hati," kata Seno. "Pakai lagi gamisnya."

"Aku mau ganti, Mas. Ini 'kan sudah ketumpahan kopi."

"Iya, maksudku kamu pakai lagi bajunya dan ganti." Seno menatap istrinya gemas.

"Iya."

"Entah kenapa kalau perempuan pakai legging, itu lucu, ya. Betisnya yang kecil langsung kelihatan," komentar Seno sambil duduk di pinggir tempat tidur. Melihat kaki Evita yang tertutup dengan legging ketat berwarna hitam, membuat Seno merasa lucu. Pasalnya, paha dan betis istrinya yang kecil tampak seperti tiang tempat tidur milik neneknya di desa.

"Kamu tidak perlu bilang seperti itu, Mas. Aku tersinggung."  Evita kemudian mengambil gamisnya di dalam lemari dan menggantinya di dalam kamar mandi, meninggalkan Seno yang terkekeh di tempat.

Tak lama pintu kamar diketuk membuat pria itu segera bangkit berdiri dan membukanya. Terlihat sosok Linda berdiri di depan pintu dengan tatakan berisi secangkir kopi yang berbeda dengan istrinya tadi.

"Kenapa, Lin?"

Linda tersenyum. "Ini, aku buatin kopi untuk kamu. Soalnya yang tadi 'kan ketumpahan."
Linda menyerahkan tatakan berisi cangkir kopi tersebut pada Seno yang disambut pria itu dengan tatapan bingung.

"Oh? Terima kasih kalau begitu."

Seno mengambil tatakan dari tangan Linda, kemudian membawanya masuk setelah memastikan keponakan dari nenek tiri sekaligus teman masa kecilnya itu pergi.

"Siapa yang ketuk pintu, Mas?" Evita yang baru saja keluar dari kamar mandi menatap tatakan di tangan sang suami kemudian beralih menatap wajahnya.

"Oh, ini dari Linda. Dia buatin aku kopi karena memang kopi yang kamu buat yang tadi tumpah."

"Oh." Evita mengangguk mengerti.

"Kamu mau ke mana?" tanya pria itu.

"Aku mau ke bawah untuk ambil kue yang dibuat sama Mama tadi. Apa Mas mau minum kopi sambil makan kue di bawah?" sahut dan tanya Evita.

"Ke bawah aja deh." Seno melangkah melewati Evita yang masih terdiam di tempat. Merasa istrinya tidak bergerak, Seno menoleh dan bertanya, "kenapa bengong di situ?"

"Kopinya, Mas." Evita menunjuk kopi yang diletakkan Seno di atas nakas. Pria itu mungkin lupa untuk membawa kopi miliknya sendiri.

"Oh, itu. Tolong kamu bawa, ya. Tangan aku lumayan pegal buat bawanya ke bawah."

Setelah itu, Seno berbalik meninggalkan Evita yang hanya menggeleng kepala melihat tingkah laku suaminya. Tak mau ambil pusing, Evita segera mengangkat tatakan kopi tersebut dan membawanya ke lantai bawah bertepatan dengan papa mertuanya yang baru tiba.

"Kopi buat papa? Terima kasih."

Evita yang baru saja tiba di lantai dasar dibuat terbengong akan apa yang dilakukan oleh Papa mertuanya yang langsung mengambil cangkir kopi dari tatakan di tangannya. Belum sempat ia berucap, Ardi sendiri sudah berbalik pergi menuju dapur untuk mencari istrinya.

"Lho, kopiku mana?" Terlihat Seno berdiri di hadapan Evita sambil membawa ponselnya yang tertinggal di teras samping.

"Kopi Mas dibawa sama papa. Mungkin papa kira kalau kopinya buat beliau."

"Sepertinya mau minum kopi saja banyak cobaan," ujar Seno, sambil menghela napas.

"Kalau begitu aku buat kopi baru aja dulu."

"Ya udah. Aku tunggu di depan," ujarnya.

Baru setelah itu Seno berbalik pergi, sementara Evita pergi ke dapur untuk membuatkan kopi sekaligus membawa kue buatan Ibu mertuanya.

"Bagaimana? Enak tidak masakan Linda? Ini kue perdananya, lho, Di."

Saat masuk ke dapur, Evita bisa mendengar suara Wati yang sepertinya sangat haus akan pujian.

"Enak, kok, Bu. Cuma kalau mau dibandingin sama masakan istri saya, masih enak masakan istri saya. Soalnya manis kuenya, udah pas banget di lidah. Mungkin selera 'sih," balas Ardi.

"Oh, iya? Padahal tadi ibu rasa, kue buatan Linda udah paling enak."

"Iya itu, perasaan Ibu saja." Ardi menatap Evita. "Kamu mau apa, Vit?"

"Aku mau buat kopi untuk Mas Seno, Pa."

"Lho, tadi bukannya Linda udah buat kopi untuk Seno?" Wati segera menoleh menatap Evita dengan tatapan curiga.

"Iya, Nek. Tapi, kopinya diambil sama papa."

"Lho, itu buat Seno? Papa kira itu buat papa. Pantas, rasa kopinya manis banget tadi," celetuk Ardi santai. 

"Kopi yang papa buang di wastafel tadi?" tanya Widya. "Mama kira, itu cangkir kopi bekas temannya Bastian yang tidak diminum makanya papa buang."

Ardi menunduk saat mendengar ucapan istrinya, apalagi tatapan ibunya yang sudah memancarkan aura bermusuhan.

Pria itu tidak menyangka jika istrinya akan berkata jujur di depan ibunya sendiri.

Cinta Setelah MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang