Dua Satu

2.3K 468 19
                                    

Seno berbaring di atas sofa yang terletak di ruang tengah dengan TV tidak menyala. Pria itu sudah merasa lemas sejak pukul 1 siang sampai sekarang jam 3 sore.

"Aduh, lemas, letih, lesu, dan haus," ujar pria itu.

Tubuhnya berbaring miring sambil memeluk bantal sofa dan menatap sang istri yang saat ini sedang menyapu ruang tengah dari tempatnya berasal.

"Kalau Mas ngeluh terus dari tadi, bisa makruh puasanya," sahut Evita.

Perempuan itu heran sendiri dengan sikap Seno yang melebihi kuli bangunan bekerja di bawah terik matahari panas. Padahal, tadi hanya menggeser dan mengangkat lemari saja untuk pindah posisi. Namun, tingkahnya justru seperti orang yang bekerja keras.

"Kamu tidak tahu rasanya haus dan lapar. Kalau pecah sekarang, tanggung sekali. Ini sudah jam 3," gumamnya.

"Mas cuma angkat lemari dan dibantu sama aku, mama, dan papa. Cuma dua lemari aja, Mas udah lemah seperti itu."

"Tapi yang mengangkat beban berat tadi aku, lho. Kalian cuma mendukung aja."

"Mana ada seperti itu. Justru beban berat itu ada di Papa, bukan Mas Seno. Mas tadi cuma gerak-gerak wajah aja sambil meringis," timpal Evita tidak mau kalah.

Jelas tadi saat menggeser lemari, suaminya hanya berekspresi keberatan saja. Tapi, beban berat tetap ditanggung oleh mereka bertiga.

"Lagi pula, Mas kenapa bisa kalah sama aku? Aku tadi habis merumput di samping, kok."

"Kamu? Habis makan rumput?"

Evita mendelik menatap suaminya. "Habis merumput di samping. Cabut rumput. Rumput dicabut dari akarnya," jelas Evita mulai geregetan.

Siang-siang begini memang suaminya selalu memancing emosi. Seharusnya sama-sama puasa tetap tenang, bukan justru dipancing seperti ini.

"Oh, aku kira kamu tadi habis makan rumput. Batal, dong, kalau begitu."

"Memangnya aku sapi yang makan rumput?"

"Iya, sapi. Sapi kapan pun, aku cinta kamu," celetuk pria itu, disambut dengusan Evita.

"Sampai, bukan sapi, Mas."

"Kalian berdua dari tadi berdebat terus. Seno, kamu harusnya bantu istri buat beres-beres rumah. Bukan asik rebahan seperti itu," tegur Widya menatap putranya.

Sikap Seno seperti orang kelaparan seminggu tidak makan yang tentu saja membuat Widya kesal.

"Aku lemas, Ma. Haus juga. Mama tidak melihat aku tadi kelelahan mengangkat barang? Itu memerlukan tenaga dalam, lho."

"Mengangkat barang apa? Jelas-jelas yang mengangkat beban paling berat itu Mama, papa, dan Evita." Wanita itu mendengus dan mendudukkan dirinya di sofa. "Bantu Evita ngepel sana. Kamu jadi laki-laki kok tidak peka. Istrimu juga kelelahan, bukan cuma kamu saja," titahnya pada sang putra.

"Ma," rengek Seno, yang disambut pelototan Widya.

Seno akhirnya dengan pasrah membantu Evita mengepel ruang tengah yang baru selesai disapu oleh istrinya itu.

Sementara Widya dengan santai merebahkan tubuhnya di atas sofa setelah selesai menata kembali barang-barangnya.


Tepat pada pukul 5 sore, Evita dan Seno berangkat menuju restaurant yang sudah menjadi tempat janji mereka untuk buka bersama. Sesampainya di sana, ternyata baik Raka dan Gibran belum ada yang tiba. Padahal yang membuat janji lebih awal adalah Raka serta Raline.

"Mereka yang buat janji, mereka pula yang telat," gerutu Seno, kesal.

"Sabar, Mas. Mungkin aja mereka lagi di perjalanan."

"Iya. Tapi, ini udah setengah enam. Kenapa pula mereka belum sampai?"

"Mungkin macet, Mas. Apalagi jam segini lagi padatnya jalanan," sahut Evita.

Perempuan itu sedang berusaha untuk menenangkan suasana hati suaminya yang memang tampak buruk hari ini. Mudah sekali terpancing emosi, seperti halnya dengan perempuan yang akan datang bulan.

"Tapi, lama," balas Seno setengah merengek. Pria itu benar-benar merasa jengkel dengan tingkah laku temannya yang datang terlambat.

"Sabar. Mas Seno dari tadi pagi emosian terus. Mas sebenarnya kenapa? Ada masalah apa? Kalau ada masalah cerita sama aku, biar mas bisa lega." Evita berujar dengan nada lembut berharap agar suaminya mau berbagi cerita karena melihat sikap Seno yang uring-uringan seharian ini, membuat perempuan itu berpikir jika suaminya mungkin saja memiliki masalah.

"Tidak. Aku tidak ada masalah di manapun dan pada siapapun. Hari ini saja mood-ku memang agak berantakan."

"Mas yakin?"

"Yakin. Lagipula aku juga tidak tahu cara menyimpan rahasia. Jadi, tidak ada rahasia di antara kita."

"Baguslah kalau begitu."

Tak lama kemudian, Raka datang bersama Raline, disusul oleh Gibran dan istrinya.

"Lama sekali kalian. Memangnya jarak antara rumah kalian dan restoran seperti Indonesia menyeberang ke benua Amerika?" Seno langsung berujar sinis saat mereka sudah mengambil posisi duduk.

"Sabar. Kami terlambat karena sempat mengantar anak-anak ke rumah mama dulu. Terus, Raline mengobrol dengan Mama sampai lupa waktu," sahut Raka menjelaskan.

Mendengar jawaban dari temannya itu, Seno mendengus. "Perempuan memang hobi bergosip," ujarnya.

"Hobi perempuan itu shopping dan menghabiskan duit suami, Sen. Bukan menggosip. Sorry, tidak level," sahut Raline. Wanita itu mengibaskan rambutnya hingga mengenai wajah Raka.

Ingin sekali pria itu mengomeli istrinya, namun ia cukup sadar diri jika ia tidak memiliki keberanian. Seperti itulah Raka yang terlalu bucin pada istrinya.

"Tidak level?" Seno balas mendengus. "Kamu adalah ratu dari segala ratu gosip di dunia ini, Ral. Jangan tidak mau mengaku, kamu."

"Oh, tidak. Aku sudah bertaubat."

Gibran bersama istrinya Aqila hanya diam menyaksikan perdebatan Seno melawan Raline serta Raka. Begitu juga dengan Evita yang hanya menyaksikan suaminya sibuk berceloteh menanggapi obrolan Raline.

"Eh, Sen, kamu ingat dengan Meta?" tanya Raline menatap Seno.

"Meta? Oh, yang aku putuskan dua bulan lalu?"

Raline mengangguk.

"Meta siapa, Sayang?" Raka yang tidak mengerti segera bertanya. Dia tidak ingat sama sekali dengan perempuan bernama Meta tersebut.

"Meta itu lho, Sayang, yang diputusin Seno gara-gara Seno pernah tidak sengaja melihat dia pakai celana pendek, dan betisnya penuh bawang goreng itu? Ingat?"

"Oh? Mantannya Seno? Kalau tidak salah, dia suka pakai rok panjang atau celana panjang 'kan?"

Raline mengangguk membenarkan perkataan suaminya.

"Iya, dia."

"Memangnya dia kenapa?"

"Tahu tidak, ternyata dia sudah menikah dengan laki-laki tua yang pantas jadi bapaknya. Aku tahu dari teman arisanku yang memang kenal sama dia. Kemarin juga sempat ketemu di restoran," jelas Raline sambil menatap ke Seno. "Ternyata, dia dari pacaran sama laki-laki good looking, beralih ke good rekening."

"Astagfirullah."

Evita dan Aqila sama-sama beristighfar mendengar Raline yang mulai bergosip. Sementara Seno hanya tertawa canggung karena terus diejek oleh Raline yang ditinggal mantan menikah.

Inilah bukti ketidak level-an seorang Raline yang hobi bergosip, batin Seno mendengus sinis.

Cinta Setelah MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang