Tiga Enam

2.1K 457 20
                                    


Bab 36

Hari raya idul Fitri sudah berlalu. Keluarga Ardi berada di tempat Mona hanya 2 hari saja dan setelahnya mereka pulang.
Sisa liburan mereka habiskan di rumah saja. Kini saatnya mereka kembali mulai beraktivitas seperti hari biasa.

Contohnya Seno yang kembali bekerja, begitu juga dengan Ardi yang kembali mengecek restoran serta kost-an miliknya ditemani oleh Widya tentunya.

Di rumah hanya ada Evita, Bu Ami, serta Hani yang ikut kembali ke kota bersama Bu Ami.

Gadis yang lebih tua 2 tahun dari Evita itu berencana akan menikah 6 bulan mendatang. Sementara masih menunggu hari pernikahannya, Hani memilih untuk ikut dengan bibinya ke kota dan bekerja.

"Terima kasih banyak."

Evita tersenyum setelah menerima dua mangga muda yang diberikan oleh anak tetangganya.

Bocah laki-laki itu tersenyum. "Mbak Vita kalau mau buat rujaknya, aku minta, ya. Kata Bang Seno, Mbak paling mantap buat rujak," pintanya dengan senyum malu.

"Boleh. Mau Mbak buatkan sekarang?"

"Beneran, Mbak? Merepotkan tidak?"

Anak laki-laki 12 tahun itu takut jika merepotkan istri dari tetangganya. Seno adalah tetangga yang dekat dengannya dan mereka sering bermain dadu bersama di sore hari. Namanya adalah Anggara. Seorang anak laki-laki yang hanya memiliki Ibu tanpa ayah yang sudah meninggalkan mereka. Anggara sendiri sering membantu ibunya bekerja di sebuah rumah mewah yang berada di kompleks depan.  Pekerjaan sang ibu sebagai asisten rumah tangga, tentu saja tidak membuat Angga malu meski terkadang ia diejek oleh teman-teman sekolahnya.

"Tidak sama sekali, Ngga. Tunggu, ya, Mbak ambil ulekannya dulu. Kita buat rujaknya di depan ini saja."

"Iya, Mbak."

Anggara kemudian mengambil posisi duduk di teras rumah sambil menatap sekeliling pekarangan rumah yang bersih dari sampah.

Tak lama kemudian sosok Sinta datang membawa satu plastik belimbing yang baru ia petik dari halaman belakang rumahnya.

"Lho, kamu di sini, Ngga?"

"Iya, Tante. Tadi habis antar mangga sama Mbak Vita. Terus, Mbak Vita mau buat bumbunya juga di sini," jawab Anggara sopan.

"Terus Mbak Vita-nya di mana?"'

Sinta mengedarkan pandangannya dan tidak menemukan sosok Evita.

"Mbak Vita lagi ambil ulekan di dalam."

Tak lama kemudian Evita muncul sambil membawa ulekan serta bumbu yang akan ia ulek sampai halus.

"Mbak Sinta?" Perempuan itu tersenyum menyapa Sinta.

"Iya, nih, Vit. Ini Mbak bawakan kamu belimbing. Kata Mama mertua kamu, kamu lagi suka makan yang manis asam, ya?"

"Iya, Mbak. Tidak tahu kenapa akhir-akhir ini suka makan yang manis dan asam. Biasanya Mas Seno yang selalu suka. Ini sudah giliran saya," jawabnya sopan.

"Wah, jangan-jangan kamu lagi hamil, Vit. Kamu sudah ngecek ke dokter?"

Sinta mengambil posisi duduk di lantai mengikuti Evita dan Anggara. Sementara belimbing tadi ia letakkan di sisi Evita agar memudahkan perempuan itu mengupas dan memotongnya.

"Belum tahu, Mbak. Rencananya nanti sore Mama mau mengajak aku untuk mengecek ke dokter."

"Oh. Tapi, kamu sering mual-mual?"

Evita menggeleng. "Kalau aku tidak merasakannya, Mbak. Paling cuma pusing aja. Tapi, Mas Seno sering mual-mual kalau pagi."

"Nah, bisa aja yang mengalami mual itu Seno."

Evita tersenyum. "Doakan saja, Mbak. Semoga benar-benar isi."

"Amin."

Evita membuat bumbu rujak ditemani Anggara dan Sinta. Perempuan itu kemudian memanggil Bu Ami dan Hani untuk bergabung dengan mereka. 

Jadilah siang itu acara merujak dilakukan di teras depan halaman rumah milik Ardi.

Sore harinya, ditemani Widya dan Ardi, Evita akhirnya memeriksakan diri di sebuah rumah sakit. Widya juga ternyata sudah membuat janji dengan dokter kenalannya yang sudah menunggu di ruang praktiknya.

Saat sampai di rumah sakit, mereka kemudian diarahkan ke ruangan dokter Helen yang merupakan teman Widya. Dokter Helen sendiri adalah seorang dokter obgyn yang bekerja di Rumah sakit swasta cukup terkenal di kota ini.

"Cantik sekali menantu kamu, Wid. Apalagi berjilbab seperti ini, rasanya tenang waktu menatapnya."  Dokter Helen berujar memuji kecantikan Evita yang berbalut jilbab warna dusty, sesuai dengan gamis yang dikenakannya.

"Iya, Len. Alhamdulillah. Makanya saya harus menjaganya supaya tidak dilirik sama laki-laki lain," balas Widya tak mau kalah.

Sementara Evita sudah berbaring di atas tempat tidur dengan gamis yang terangkat hingga batas dada. Beruntung, legging hitam yang ia kenakan bisa menutup auratnya. Meskipun di dalam ruangan ini hanya ada dirinya, Mama mertua, dan juga dokter Helen, tetap saja Evita merasa malu.

"Santai saja, ya, Nak. Tidak perlu tegang. Ini Tante mau memeriksa lebih detail lagi."

Evita tersenyum membalas ucapan dokter Helen. Tadi ia diperiksa denyut nadinya, dan beberapa bagian tubuhnya yang lain. Kemudian, kembali ia diminta lagi untuk berbaring di atas ranjang.

"Sudah siap, Dok." Seorang suster masuk memberitahu tentang persiapan yang sudah dilakukan. Apalagi jika bukan mempersiapkan alat USG yang akan segera digunakan.

Dokter Helen tersenyum kemudian mengoleskan gel di atas perut Evita. Rasanya dingin, hingga membuat perempuan itu hanya diam memperhatikan gerakan dokter Helen yang meletakkan alat di atas perutnya, setelah mengoleskan gel.

Tatapan serius dokter Helen tentu saja membuat baik Evita mau pun Widya juga tampak tegang.

"Benar-benar positif," ujar dokter Helen, membuat Widya menoleh menatapnya.

"Positif apa maksudnya?"

Dokter Helen kemudian menjelaskan, "menantu kamu benar-benar hamil, Wid. Selamat ya, sebentar lagi kamu akan mendapatkan cucu."

Widya langsung berbinar senang mendengar jawaban temannya itu. Menantunya hamil? Ah, wanita paruh baya itu jadi tidak sabar ingin melihat cucunya nanti setelah dilahirkan.

Sementara Evita sendiri diam-diam tersenyum sambil mengusap perutnya yang sudah bersih dari gel. Merasa bersyukur karena, Allah kembali memberikannya rezeki tanpa diduga.

Dokter Helen kemudian menjelaskan jika kandungan Evita ternyata sudah memasuki usia 9 Minggu. Tidak mengalami gejala wanita hamil, membuat mereka tidak pernah mengeceknya dan baru hari ini memeriksa kondisi Evita.

"Mungkin saja waktu Seno yang sering  makan rujak malam-malam, itu karena dia ngidam, Vit," kata Widya penuh semangat.

Evita tersenyum dan menjawab, "iya, Ma."

"Pokoknya mama, Papa, Seno, dan adik-adik kamu akan menjaga kamu. Kalau ada yang mau kamu makan, bilang sama mama atau yang lain, biar dicari. Ingat, jangan dipendam."

"Terima kasih banyak, Ma." Mata perempuan itu berkaca-kaca mendapat perhatian penuh dari Mama mertuanya.

Widya yang merasa bahagia mengusap kepala menantunya. Tidak salah ia meminang Evita pada ibunya dulu untuk menjadi menantunya. Beberapa kali perempuan itu berkunjung ke rumah, Widya tahu Evita adalah gadis rajin dan penurut. Sangat cocok dengan putranya yang tidak pernah bisa menemukan pilihan tepat.

Cinta Setelah MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang