4. Pertengkaran

43 14 3
                                    

Vivi mengendarai mobilnya dengan santai. Ia melirik jam tangannya lalu ke kantong plastik di sebelahnya. "Jam pulang ...."

Saat masuk ke gerbang perumahan, Vivi tersenyum pada satpam yang menjaga. Setelahnya, matanya fokus ke depan, tapi tidak dengan pikirannya yang terus melayang-layang. Seklilingnya adalah rumah-rumah besar dengan pagar yang menjulang. Biasalah, perumahan orang-orang kaya.

Vivi memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Setelah mematikan mesinnya, ia mencabut kunci dan keluar dari mobil. Ia melirik sekilas pada mobil putih di sampingnya lalu menghela napas.

Karena ini rumahnya, jadi tak perlu mengetuk pintu atau memencet bel. Ia langsung nyelonong masuk. Langkahnya memelan saat melihat seorang pria paruh baya sedang membaca koran, di depan pria tersebut ada dua remaja berbeda kelamin.

Vivi mengepalkan tangannya lalu mengatur napasnya agar tetap stabil. Santai, selagi nggak terlalu ngelunjak, diemin aja.

"Dari mana, kamu?" Vino, seorang ayah dari Vivi, bertanya dengan nada datar. Matanya tetap fokus pada koran. Tangannya sesekali bergerak untuk mengambil cangkir berisi kopi hitam di atas meja.

"Main." Sama halnya dengan Vino, Vivi pun membalas dengan datar.

Vino mengerutkan keningnya. Ia langsung meletakkan korannya dan menatap anaknya tajam. "Main? Kamu bolos sekolah lagi?"

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Vivi. Remaja perempuan itu hanya terdiam dengan mata yang sesekali melirik kedua sepupunya yang menatapnya mengejek.

"Sampai kapan kamu mau bersikap seperti ini? Pulang malem, main, bolos, badgirl di sekolah, kenakalan apa lagi yang ingin kamu lakukan?"

Lagi, tak ada jawaban dari Vivi. Remaja itu hanya terdiam menahan sesak. Mata tajam Vino seakan-akan menyayat hati Vivi.

"Clubbing mungkin, Om," celetuk Vina dengan tanpa salah.

"Hati-hati, Om. Jaman sekarang banyak cewek-cewek yang kalau malem mainnya ke club. Katanya, sih, sekedar refreshing doang, tapi kan kita nggak tau kalau mereka bakal minum atau enggak, atau mungkin lebih?" Remaja di sebelah Vina ikut mengompori. "Amit-amit, dah. Jangan sampe!"

Vino memejamkan matanya. Berusaha mengendalikan emosi dalam dirinya yang memberontak.

"Bukannya itu kerjaan lo berdua? Nggak usah sok-sokan nuduh gue kalau kenyataannya kebalikan," balas Vivi dengan sinis.

"Vivi! Jaga omongan kamu! Jangan asal nuduh orang sembarangan!"

"Terus mereka apa?!" Vivi menatap Papanya tajam.

"Gue bilang mungkin, 'kan? Gue cuma mengutarakan pendapat gue." Vina menaikkan sebelah alisnya. Ia tersenyum miring.

"Opini tanpa bukti sama aja dengan omong kosong!"

"Loh, kalau lo nggak ngelakuin itu ya biasa aja, nggak usah pake emosi kali. Katanya, sih, ya, Om, kalau kita ngomongin kesalahan seseorang terus orang itu marah-marah, tandanya dia beneran ngelakuin."

Vivi mengepalkan tangannya. Matanya menatap lurus dan tajam pada sepupu laki-lakinya. "Nggak usah ngomporin bokap gue, njing!"

"VIVI!"

"Terus aja, Pa! Terus! Belain aja, tuh, dua orang terus-terusan! Anak Papa itu Vivi atau mereka? Oh, atau jangan-jangan selama ini cuma Vivi yang nganggep Anda sebagai Papa saya, dan ternyata Anda bukan Papa saya? Wow, plot twist." Vivi bertepuk tangan heboh.

"Cukup, Vi!" Vino kembali menatap tajam anaknya. "Kamu dilarang keluar rumah selama seminggu, kecuali untuk sekolah."

"Loh, Om? Nanti pulang sekolah dia bisa aja main dulu." Vina langsung menimpali.

FUCKGIRL COMEBACK 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang