Unconditionally~11 (Ending)

2K 166 80
                                    

Unconditionally
By In_stories

•••••


Mata Laily masih terasa berat untuk diajak terbuka. Badannya masih lemah dan kerongkongannya terasa kering. Keinginan untuk meminta tolong kepada sang suami juga batal ia utarakan kala mendapati lelaki itu tengah berada di sampingnya sembari membaca ayat suci dengan volume rendah.

Seketika dahaganya lenyap. Ayat demi ayat yang keluar dari bibir lelaki itu menyalurkan hawa sejuk hingga bagian terdalam sanubarinya yang tengah berduka. Ketakutan-ketakutan, rasa bersalah serta berbagai perasaan yang begitu membuatnya merasa rendah, sedikit tersisih atas kehadiran Ali yang tidak sekalipun alpa.

Sepuluh menit berselang, Ali merampungkan bacaan. Ia menurunkan kitab suci yang sejak tadi membatasi pandangan Laily dan spontan senyumnya merekah menemukan sang istri terbangun dengan fokus mata kepadanya. Diletakkannya terlebih dahulu kitab suci sebelum mengusap kening Laily, lalu memberikan kecupan di sana.

"Mau minum?"

Laily mengangguk. Ali bergerak mengambil air mineral dan mengarahkan sedotan ke bibir wanita itu.

"Kapan boleh pulang, Mas?" Suara Laily masih terdengar lemah, tetapi kondisinya telah membaik selepas melakukan operasi karena kehamilan ektopiknya.

Ali mengulas senyum. Diamatinya wajah sang istri tanpa memberi jeda usapan di kening. "Dua hari lagi, insyaallah."

"Mama sama Ibu pulang jam berapa?" Laily meraih tangan Ali. Ia mengecup dan memeluknya dengan hangat.

"Pulang dari habis maghrib. Tadi semuanya ke sini lagi, tapi kamu masih tidur."

"Kebo banget aku, ya?"

Ali terkekeh. "Efek obat juga mungkin."

Laily kemudian diam. Tatapan wanita itu kosong ke arah langit-langit ruangan. Bulir air mata menggenang, lalu kemudian luruh bagai darah luka kala kesadaran menyerangnya secara bertubi dengan fakta bahwa kehamilannya kembali gagal dan harus direlakan.

"Nggak pa-pa, Sayang. Nggak pa-pa." Ali mengerti dan langsung mengusap air mata Laily. "Nggak pa-pa. Ikhlasin, ya?"

"Maaf, Mas, maaf." Laily terisak. Wajah ia palingkan ke arah lain. Dirinya terlanjur malu kepada sang suami karena tidak juga mampu memberikan keturunan meski telah berjuang mati-matian.

"Nggak ada yang salah." Ali menaiki ranjang rumah sakit yang cukup besar, lalu ikut berbaring di sisi sang wanita. Dipelukanya tubuh Laily sembari terus mengecupi pelipis atau keningnya sebagai bentuk dukungan. Ia pun merasakan sakit dan kehilangan atas apa yang terjadi. Tetapi, ia lebih tidak bisa melihat Laily menangis seperti sekarang. "Kamu nggak salah. Ikhlasin, ya?"

"Indung telurku udah nggak ada satu, Mas. Aku nggak akan bisa hamil. Nggak akan bisaaa." Laily semakin tersedu. Ia terus menggumam 'maaf' dengan tangan memeluk erat lengan sang suami. Kegagalannya untuk kesekian kali, selayaknya racun yang berhasil membunuh separuh dari harapan hidupnya.

"Masih bisa, Yang. Masih bisaaa." Suara Ali menyerak, tetapi ia tetap kuat diri karena Laily begitu membutuhkannya. "Indung telur satu itu masih bisa hamil, Sayang, masih bisa."

Laily menggeleng. Ia menolak kuat ucapan berisi optimisme itu. "Indung telurku utuh aja, aku masih harus insem biar bisa hamil, Mas. Gimana dengan kondisiku yang sekarang cuma punya satu?"

"Hidup dan mati itu cuma di tangan Allah, Sayangg."

"A-aku nggak berguna, Mas. Aku nggak pantes jadi istriii!"

UnconditionallyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang