Unconditionally
By In_stories•••••
Menjadi seorang tenaga pengajar di taman kanak-kanak memang tidak akan mendapat upah sebesar ketika ia masih bekerja di bank. Namun, bagi Laily materi tidak bisa dijadikan sebagai parameter sebuah kepuasaan dan kebahagiaan.
Hidup bukan perihal hanya bekerja, mengumpulkan harta lalu bersenang-senang. Ada ibadah yang tidak boleh dilepaskan dari setiap sendi kehidupan. Oleh karena itu, mengajar dan membagikan ilmu kepada para calon penerus bangsa, Laily niatkan sebagai langkah melakukan ibadah dengan harapan bahwa ilmu yang dia beri mampu menjadi ladang pahala jariyah untuknya hingga nanti.
Selain daripada itu, dapat bersosialisasi dan berkomunikasi baik dengan anak-anak, Laily tujukan guna mengurangi kerinduannya pada kehadiran buat hati yang masih dia perjuangkan hingga kini. Setidaknya, bila dia tak berkesempatan untuk mendidik anak sendiri, ia masih berkesempatan untuk mendidik dan membentuk kepribadian yang baik bagi para murid meski berdekatan dengan mereka ada kala mencipta kesedihan tersendiri di hati.
Semua memang tidak mudah. Namun, di tengah kepercayaannya yang sering rapuh, Laily tentu selalu berusaha yakin bahwa suatu saat harapannya akan terkabulkan.
Semua hanya menunggu waktu terbaik.
"Udah beres?" Laily berseru pada ke-20 anak muridnya yang tengah bersiap-siap untuk pulang.
"Sudah, Bu guruuu."
Laily tersenyum atas jawaban serempak tersebut. Kemudian, disuruhnya ke semua murid untuk membaca Surah Al-asr sebagai doa penutup pembelajaran.
Selesai membaca doa, secara teratur pula para murid berbaris rapi untuk menyalimi guru pengajar. Para orang tua yang sudah datang untuk menjemput, satu per satu mulai menghampiri anak masing-masing dan mengubah suasana yang tadinya riuh oleh celotehan khas anak kecil menjadi berangsur senyap.
Laily mengembuskan napas lirih. Kedua matanya menatap kepada arah kepergian para siswa dengan senyuman tipis. Ruang sepi yang selalu ia usahakan untuk terisi kini mulai kembali kosong dan baru akan ia jumpai lagi esok hari.
"Sepi lagi, ya, Mbak?"
Laily mengulas senyum atas ucapan temen sesama pengajar yang berusia tiga tahun di bawahnya itu.
"Iya, Mbak. Ngerasa kosong," jawabnya sambil memutari seantero ruang kelas dengan dua bola matanya.
"Saya aja yang punya anak di rumah, masih bisa ngerasain sepi, gimana sama Mbak Lail."
"Ada kala nguji kesabaran. Tapi, kalo udah ditinggalin ngangenin. Apa lagi kalo pas libur semester itu."
"Tapi, lebih ngangenin jauh dari suami dong, Mbakkk?"
Laily terkekeh dan mencubit gemas tangan Lisna. "Itu beda lagi rindunyaaaa."
Lisna tertawa. "Rapatnya masih jam satu. Isi perut dulu, yok?" ajaknya. "Bu Kepala juga masih kondangan."
Laily mengangguk atas ajakan tersebut. Keduanya lalu pergi bersama ke warung soto yang berada di seberang jalan gedung sekolahan di sela penantian.
"Rasanya jadi artis gimana, ya, Mbak? Dikit-dikit hidupnya dikomentarin orang." Lisna berceletuk saat tengah menanti pesanan datang. "Contohnya ini, Mbak." Linsa lalu menyodorkan layar ponselnya yang menampilkan foto milik salah satu seleberiti yang cukup kontroversial. "Udah pakek hijab dinyinyir, hijab dilepas tambah dinyinyir."

KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditionally
RomancePersembahan kecil untuk para pejuang dua garis merah dan untuk suami yang selalu menerima apapun keadaan wanitanya. ______ Original story by In_stories Credit pic : Pinterest