1. Hari senin

1.7K 137 3
                                    

"Semuanya, ayo sarapan dulu!" seru Naysilla sambil meletakkan makanan yang tadi ia masak, dibantu oleh Bi Tati, asisten rumah tangganya.

Razzan turun dari lantai atas, diikuti Lea yang berjalan di belakangnya. Sambil mengenakan dasi, Razzan menarik perhatian Naysilla yang langsung menghampiri suaminya untuk membantu merapikannya.

Razzan tersenyum, "Makasih, istriku," ucapnya sambil mengelus kepala Naysilla dengan lembut.

Naysilla tersenyum, lalu mulai membagikan piring. Tak lama kemudian, Tania turun mengenakan seragam merahnya.

"Ayah, Bunda, Kak Lea... Maaf aku telat—eh, telat, hehe." Tania menghampiri kedua orang tuanya dan kakak sulungnya dengan wajah canggung.

"Gapapa, sini duduk." Lea tersenyum manis, lalu menarik kursi di sampingnya agar Tania bisa duduk.

Saat mereka menikmati sarapan dengan tenang, tiba-tiba suara teriakan dari rumah sebelah membuat mereka terkejut.

"BERANTEM TERUS! MAKAN CEPETAN!!!"

"Astagfirullah..." Naysilla menggeleng-gelengkan kepala mendengar suara Reina yang menggema sampai ke rumahnya.

Mereka kembali makan, tetapi belum lama kemudian, teriakan lainnya kembali terdengar, membuat Lea sampai tersedak saking kagetnya.

"SABITHA BILLE ANGGARA! BIANCA BILLE ANGGARA! AMIH BAWA KAMU KE BANDUNG YA!!"

"Ibu..." rengek Lea, merasa terganggu dengan keributan yang terus berlanjut.

"Sebentar ya, Ibu mau ke sana." Naysilla bangkit dan berjalan ke rumah sebelah. Sesampainya di sana, ia melihat Sabitha dan Bianca duduk berdampingan, sementara Reina berdiri di depan mereka dengan kedua tangan bertolak pinggang.

Ternyata, Jema juga sudah ada di sana.

"Berisik bener sih, heh! Anak gue sampai keselek gara-gara suara cempreng lo!" kata Jema sambil melipat tangan di dada.

Reina menatap Jema kesal. "Cempreng-cempreng lo bilang?! Mun ngomong yang bener, ih!"

"Fakta! Fakta!" balas Jema dengan santai.

"Ih, dasar tukang julid!" Reina mendelik, membuat Jema makin kesal dan langsung menarik rambut Reina.

Mata Naysilla membelalak. "Astaga!" Tanpa pikir panjang, ia segera berlari untuk melerai keduanya, dibantu oleh Sabitha dan Bianca.

"Ya ampun, ini kenapa malah kalian yang ribut?!" batin Naysilla sambil menarik Reina ke belakang.

Tiba-tiba, suara Reene terdengar dari arah depan. "Heh! Bukannya ngurus suami sama anak, malah ribut! Nanti laki lo diambil orang!"

Reina dan Jema langsung melepas genggaman mereka dari rambut satu sama lain.

"Jangan suka teriak pagi-pagi, lo ya!" Jema menunjuk Reina dengan wajah sebal.

"Jangan suka ribut juga lo pada!" katanya sambil menoleh ke Sabitha dan Bianca.

Sabitha dan Bianca hanya bisa mengangguk pelan. Jema lalu bergegas kembali ke rumahnya, takut perkataan Reene tadi jadi kenyataan.

"Jangan ribut terus ya, kasihan Amihnya," kata Naysilla sebelum kembali ke rumahnya.

Setelah Naysilla pergi, Reina menoleh ke arah Reene yang masih berdiri di tempatnya. "Lo ngapain masih di sini?" tanyanya dengan curiga.

"Ini lagi lihat rumah gue dari rumah lo. Kira-kira gede atau enggak," jawab Reene santai.

Reina mendelik. "Ya gede lah, gila lo! Dari rumah Sonya aja yang di ujung kelihatan rumah lo paling gedong!"

Reene mengangguk. "Hanya memastikan," katanya, lalu berbalik meninggalkan Reina yang hanya bisa memutar bola mata sebelum masuk ke rumahnya.

"Haduh, para rakyat." Reene menghela napas sebelum akhirnya berjalan santai menuju rumahnya yang sudah sepi karena anak-anak dan suaminya sudah pergi sejak tadi.

Awalnya, ia berencana pergi siang ini untuk mengunjungi toko kuenya, tetapi sepertinya ia harus menunda rencana itu.

Saat hendak membuka gerbang, tiba-tiba terdengar suara dari belakang.

"Pagi, Tante!"

Reene menoleh dan menemukan Aurora berdiri bersama seorang laki-laki. Reene tersenyum. "Pagi juga, cantik. Berangkat sama siapa ini?" tanyanya penasaran.

Laki-laki di belakang Aurora melepas helmnya dan menjulurkan tangan untuk memberi salam.

Reene menatapnya lekat-lekat. "Loh, kok mirip Zora?"

Laki-laki itu tersenyum canggung. "Siapa namanya?" tanya Reene lagi.

"Julian, Tante."

Aurora hanya tersenyum saat melihat Reene yang tampaknya tertarik dengan temannya.

"Jadi mantu Tante yuk, Tante punya anak cewek!" kata Reene iseng.

Julian terkekeh. "Boleh, Tante, hahaha!"

Julian mengira Reene hanya bercanda, tapi sebenarnya Reene serius.

"Ya udah, kalau gitu, kita berangkat dulu ya, Tante." Aurora berpamitan.

Reene mengangguk. "Iya, hati-hati ya, ganteng, cantik."

Reene menatap kepergian Aurora dan Julian dengan senyum lebar. "Yes! Dapet mantu cakep. Pokoknya harus jadi!"

Tiba-tiba, suara dari balkon rumah sebelah terdengar.

"Heh, kenapa lo? Gila ya? Susah ngabisin duit? Sini gue bantuin!"

Reene mendongak, menemukan Selena sedang duduk santai di balkon rumahnya.

"Berisik lo, rakyat," balas Reene sebelum masuk dan menutup pintu.

Selena mendecak. "Dasar tua," gumamnya, meski kemungkinan besar Reene tidak mendengarnya.

Dari balkon, Selena memperhatikan suasana komplek Blok A.

"Tadi rame banget, sekarang kok sepi ya?" gumamnya.

Sementara itu, di rumah Jema.
Nuel berbicara. "Besok kayaknya aku pulang telat, Mom."

Jema melirik anaknya. "Oke. Nanti Mommy jemput, ya?"

"Jangan, biar aku bareng Daddy atau bisa bareng Rora sama Zora."

Jema mengangguk. "Yaudah, ayo cepat habiskan. Mommy mau ambil kunci mobil dulu."

Setelah mengambil kunci, Jema turun ke lantai bawah. "Ayo, kamu sudah siap?"

Nuel menoleh dan menggeleng. "Bentar, ambil tas dulu, Mom." Ia beranjak ke atas.

"Mommy tunggu di luar ya!" kata Jema.

"Iya!" sahut Nuel dari atas.

MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang