Chapter 2

113 71 20
                                    


PART 2


"Cepet, buka pintunya!" Aliya memberontak dan memukul-mukul pintu mobil--berharap pintu itu dibuka secepatnya.

Aidan membuka kunci pintu mobil, ketika mobilnya telah sampai di depan pintu masuk suatu klinik. Pentingnya mengunci pintu mobil, berjaga-jaga, jika gadis itu bisa saja melompat keluar dari mobilnya.

"Biar saya bantu." Aidan mencoba untuk memegang lengan Aliya, membantunya berjalan--Aidan malah diacuhkan begitu saja.

Aliya berusaha berjalan memasuki klinik itu tanpa bantuan siapa pun. Walaupun berjalan dengan tertatih, itu tidak masalah. Aliya tidak akan terima, jika pria sialan itu menyentuh tubuhnya.

Sesampainya di dalam, Aliya segera diperiksa dokter. Lukanya sudah diobati. Keadaan Aliya sudah lebih baik dari sebelumnya.

"Nona, luka anda sudah saya obati dan perban," ucap seorang Dokter, meletakkan peralatannya kembali, usai mengobati luka Aliya dan berjalan menuju mejanya.

"Terima kasih, Dok," balas Aliya.

"Ini resep obatnya, agar luka Nona cepat sembuh, diminum yang teratur, ya." Dokter memberikan secarik kertas resep obat pada Aidan yang refleks mengambilnya kemudian mengangguk mengerti.

"Kalau masih lemas, istirahat saja dulu di sini." Dokter menghampiri Aliya dan tersenyum ramah ke arahnya, lalu pergi dari ruangan.

Aidan melihat gadis itu hendak turun dari brankar dengan sedikit susah, ia pun mencoba untuk membantunya, tetapi Aidan malah mendapatkan umpatan darinya, lagi.

"Jangan sentuh-sentuh gue. Lo, sebaiknya pergi sekarang," usirnya dengan kejam. Entah mengapa Aliya sangat membenci pria di depannya ini.

Bagaimana pun, Aidan harus tetap bertanggung jawab, sudah biasa jika melihat kepribadian seperti Aliya. Mengharuskannya mempunyai stok kesabaran yang ekstra.

Aidan cukup bingung, apa yang sebenarnya terjadi pada gadis aneh yang ia temui. Bukannya berterima kasih, gadis itu malah mencaci dirinya dengan seenaknya. Aidan mencoba untuk tidak mempermasalahkan ucapan gadis itu, ia lebih memilih menjaga wibawanya.

"Saya telah bertanggung jawab dan mengobati kamu, berapa nomor telepon rumahmu, saya akan memberitahu keluargamu," kata Aidan, mengeluarkan ponselnya dari saku.

Aliya menggerutu sikap pria yang sok dingin itu, dan mulai mengatakan nomor telepon orang tuanya.

***

DRRRTT, DRRRTTT

"Mas! Ada telepon, angkat." teriak Miranda dari dapur saat mendengar suara deringan ponsel.

"Iya, iya," sahut Juna, meraih ponselnya di atas meja.

|Halo ini siapa?

|Anak anda sekarang berada di Klinik X, silakan bicara dengannya.
Aidan memberikan ponselnya kepada Aliya. Gadis itu mengambil ponsel tersebut dan memutar bola matanya malas.

|Hah? Anak? Klinik?
Juna kebingungan.

|Halo Ayah, ini Aliya, Yah.
ucapnya di telepon dengan suara pelan.

|Oh, ini kamu, kenapa belum pulang hah? Udah mau maghrib ...'
ucapan Juna terpotong.

|"Ayah, Aliya kecelakaan..." lirihnya.

Beberapa saat setelah Aliya menelepon keluarganya. Bunda, ayah, serta kakaknya pergi menuju tempat Aliya diobati.

Aliya duduk di bangku besi yang ada di klinik tersebut, sedangkan Aidan tetap berdiri di dekat dinding, dengan suasana hening, tak ada satu kata pun yang terlontar di antara mereka. Tak lama, tiga orang manusia datang menghampirinya.

"Aliya.... "

"Bunda, Ayah ..." panggil Aliya, mencoba berdiri.

"Aliya, kamu nggak apa-apa, 'kan, Nak? Kaki Yaya kenapa, astaga." Miranda sangat cemas dan langsung memeluk Aliya erat.

"Ya ampun, Ya, kenapa kamu bisa begini?" risau Aliza, kakaknya Aliya, mengelus surai rambut adiknya.

"Yaya, tadi kecelakaan, Bun." Aliya menatap Bundanya penuh menyesal.

"Maaf, saya yang bertanggung jawab atas semua kejadian ini." Aidan menghampiri mereka dan menjelaskan kejadian itu secara rinci tanpa dilebihkan.

"Oh, jadi kamu, yang buat anak saya kecelakaan?" Juna menatap tajam Aidan.

Aidan hanya memasang wajah datarnya. Sungguh, ini benar-benar kecelakaan dan tidak disengaja. Dan perlu diingat bahwa ini adalah kesalahan sopirnya.

Aidan menghela napasnya. "Maafkan saya, saya akan mengganti semua kerugian."

"Hmm..." Juna menyunggingkan senyumnya dan memalingkan pandangan.

"Kenapa nggak sekalian kamu lindas aja dia pake mobil?" tambahnya sambil melipat lengannya ke dada dan langsung mendapatkan tatapan maut dari sang istri.

"Gak lucu ya, Mas." Miranda memutar telinga Juna sehingga membuatnya meringis kesakitan.

"Ampun! Bercanda atuh, Bun." Juna berteriak histeris. Sedangkan Aliya dan Aliza hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Aidan hanya menampilkan raut wajah datarnya, melihat lelucon di depannya ini. Ia merasa sangat direndahkan dan tidak dihormati oleh keluarga ini.

Miranda mendekati Aidan dan memegang sebelah bahunya. "Nak, bagaimanapun ini kecelakaan, suatu musibah yang tiba-tiba datang menimpa. Kami tidak akan memperpanjang masalah ini," ucap Miranda tulus.

Aidan mengangguk dan tersenyum. Ia merogoh saku jasnya, dan mengeluarkan beberapa kertas. "Ini cek ganti rugi atas semuanya, saya benar-benar menyesali perbuatan saya, saya mohon pamit." Lalu memberikan secarik kertas dan lembar resep obat ke tangan Aliya.

Sebenarnya Aidan sangat ingin berlama-lama bersama gadis itu. Ia ingin mengetahui lebih banyak tentang Aliya. Tapi, suasana yang terbilang tidak menentu, membuat Aidan merasa canggung.

Pandangan Aliya menunduk menatap secarik kertas yang tercetak suatu nominal di dalamnya. "Seratus juta!"

Miranda, Juna dan Aliza mematung melihat kertas berbentuk persegi panjang yang diberikan pria tadi. Pikiran mereka hanya tertuju pada nominal cek itu.

"Tunggu, Pak." langkah Aidan terhenti saat mendengar suara memanggilnya.

"Siapa nama Bapak?"

Aidan tersenyum mendengar kalimat itu. Kepalanya sedikit menoleh ke samping. Aliya bisa melihat senyum manis yang terpancar dari pria sialan itu. Apakah kutub itu mencair?

"Aidan," jawabnya singkat, lalu melanjutkan langkahnya.

"Ganteng, ya," gumam Aliza, sambil merangkul bahu adiknya, tersenyum penuh arti.

"Kita mendadak kaya, Ayah nggak mimpi, 'kan?" Juna terpaku menatap punggung Aidan yang perlahan menghilang.

Bersambung.







Alcatras [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang