Chapter 4

116 72 102
                                    

PART 04

"Boleh saya tahu siapa nama kamu?" Aidan memecahkan keheningan.

"Aliya," jawabnya singkat--sibuk mencolok kabel headset di ponselnya.

"Baiklah, kamu masih sekolah atau bekerja?"

"Saya kerja, Pak."

"Kamu kerja di mana?"

"Saya kerja di toko bunga Flora," jawab Aliya, sedikit menoleh ke arah Aidan.

Aidan sepertinya mengenali tempat itu. Dulu, Aidan sebenarnya ingin melakukan ganti untung dengan toko itu, karena ia hendak memperluas pembangunan hotelnya. Tapi, pengajuan Aidan ditolak oleh pemilik tempat itu.

Aidan tersenyum dengan lebar dan menoleh ke lain arah, itu yang membuat Aliya heran sekaligus bergidik. Aliya sebenarnya merasa tak nyaman dengan senyuman yang terpancar dari pria itu. Aneh menurutnya.

"Ada apa ya, Pak?" tanya Aliya, heran.

"Kamu tahu?" Aidan mencondongkan tubuhnya ke arah Aliya.

"Nggak tau, Pak," jawab Aliya, asal.

"Saya pemilik hotel sebelah tempat kamu bekerja," kata Aidan dengan senyum yang lebar dan berharap mendapat respon yang memuaskan dari Aliya.

"Hah? Oh, iya." Aliya kembali fokus ke layar ponselnya dan masih mencerna ucapan Aidan yang tidak jelas dia dengar--Aliya memakai headset.

Walaupun telah memberitahukan betapa terhormatnya dan kaya-raya, itu tetap tidak membuat Aliya tertarik. Sebenarnya tipe laki-laki gadis itu seperti apa? Aidan hanya mengembuskan napasnya gusar.

Tak lama, suara nyaring yang bisa menghancurkan gendang telinga terdengar di seluruh sudut rumah.

"Halo guys, Princess Aliza udah pul....." Aliza berteriak dan membuka pintu rumah dengan kasar, ucapannya pun terhenti ketika melihat seorang pria tampan menoleh kearahnya.

"Tuan Aidan!" teriak Aliza dengan antusias dan terkejut hingga membuat belanjaannya terjatuh.

***

Aidan mengambil gelas yang ada di depannya dan meminum kopi susu itu. Sejak tadi, ia sibuk berbincang-bincang hangat dengan Miranda dan Aliza, sedangkan Aliya hanya menjadi nyamuk, karena ia hanya fokus dengan ponselnya saja.

"Jadi, Tuan mau cari pegawai, ya?" tanya Aliza antusias, dengan mata yang berbinar.

"Iya, benar. Saya akan open recruitment, jadi kalian bisa datang ke hotel saya sesuai jadwal." Aidan memberikan beberapa lembaran brosur kepada Aliza.

"Iya Tuan, kami pasti datang, kok," jawab Aliza, mengambil brosur itu.

"Nah, boleh juga tuh. Kalian coba-coba aja dulu ngelamar kerja di hotel Tuan Aidan," timpal Miranda--merayu anak-anaknya.

"Mohon maaf Nyonya, panggil saya Aidan saja, anda sudah saya anggap seperti ibu saya sendiri."

"Ah, iya, Nak. Duh calon mantu idaman Bunda, nih," Ketus Miranda sambil melirik Aliya dan Aliza. Sedangkan Aidan tak menampilkan ekspresi, walaupun sejak tadi jantungnya berdegup tak terkendali.

"Ish, apaan sih, Bun." pipi Aliza bersemu merah. Memang benar, Aliza jatuh cinta pada Aidan karena ketampanannya.

"Kamu mau 'kan, Ya? Iya gak?" tanya Miranda pada anak bungsunya yang sibuk sejak tadi dengan ponsel.

"Hah? Apa Bun?" Aliya melepas sebelah headsetnya. "Mau, 'kan?" tanya Miranda bergurau.

"Ah, iya-iya mau, kok," jawab Aliya dengan asal. Gadis itu mengira bahwa ibunya bertanya apakah dirinya mau bekerja sebagai pegawai di hotel itu. Tentu mau.

Ucapan Aliya membuat jantung Aidan kembali berdegup dengan sangat kencang, seakan-akan jantungnya akan siap melompat dari kerangka tubuhnya begitu saja.

Ternyata tak sangka, usahanya untuk memikat Aliya membuahkan hasil. Setidaknya itulah yang Aidan pikirkan. Rasanya Aidan ingin sekali menenggelamkan dirinya dalam-dalam di palung Mariana. Aidan memilih untuk pulang dan pamit karena tak ingin berlama-lama larut dalam perasaan ini.

***

Mobil mewah hitam mengkilap memasuki pekarangan mansion. Tak lama, sosok pria tampan dengan wajah yang berseri-seri dan senyum yang tak kunjung pudar itu pun berjalan memasuki Mansionnya.

"Selamat datang kembali, Den," sapa Bi Ijah, ramah.

"Iya bi. Oh iya, di mana Mama?" Aidan bertanya--sibuk membuka kancing kemeja bagian lengannya.

"Nyonya Sarah lagi keluar, Den," jawab Bi Ijah.

"Iya Bi, Aidan ke atas dulu, ya," ucapnya dengan senyum manis yang terus mengembang dan melenggang pergi.

Sikap Aidan yang jarang sekali terlihat. Itu pun yang membuat Bi Ijah dan ART yang lain ikut senang dengan suatu kebahagiaan yang Tuan mereka rasakan. Biasanya, Aidan selalu menampilkan raut lelah dan tak memasang ekspresi ketika ia pulang ke rumah.

Dua orang ART Mansion Aidan yang terkenal dengan sosok yang suka menggosip itu mulai berbisik-bisik mengenai perilaku tuannya yang tidak biasa.

"Woy, Dayana. Psstt," panggil Mang Arya, ART Mansion Aidan yang sibuk membersihkan lemari antik tuannya.

"Ngapa, Mang? " sahut Dayana yang sedang menyapu lantai. Mang Arya melangkah sedikit mendekat ke arah Dayana.

"Tuan Aidan kenapa senyam-senyum mulu dari tadi ya, Neng." heran Mang Arya sambil melirik tuannya berjalan menuju ruang tamu.

"Sama, Mang. Gue jadi takut, jangan-jangan Tuan kesambet, tuh," sewot Dayana.

"Demi cumi laut, sembarang aja kalo ngomong, mana bisa gitu, lah," balas Mang Arya, berkacak pinggang.

"Siapa tau, Mang, ada saingan perusahaan yang iri ke Tuan, terus di guna-gunain," pikir Dayana.

"Ta ...." ucapan Arya terpotong saat Aidan tiba-tiba memanggilnya.

"Mang Arya ..." panggil Aidan.
"Aidan bisa minta tolong bentar, gak?" Aidan mengatakan maksudnya.

"I-iya Tuan," jawab Mang Arya lantang.

"Udah, ntar lanjut ghibahnya, gue di panggil Tuan." dia menaruh kain lap di pantry.

"Iya, cepet sana samperin," balas Dayana. Lalu melanjutkan aktivitasnya.

Bersambung.


Alcatras [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang