PART 05"Yuhu, Momy pulang," ucapan nyaring seorang wanita yang baru saja melangkah mendekati ruang tamu.
Sarah Ariasta Alcatras, ia adalah ibunda kandung dari Aidan. Sarah telah menikah dengan Albara Alcatras sejak 25 tahun yang lalu dan dikaruniai satu anak laki-laki dan satu anak perempuan.
"Mama udah pulang?" Aidan melirik ibunya.
"Udah dong. Oh iya, ini mama beliin kamu jas kerja baru, nih," ucapnya sambil mengeluarkan suatu pakaian yang ia beli dari toko.
"Makasih, Ma," jawab Aidan, menampilkan senyum manisnya.
"Mama tau, pasti kamu suka. Dipake ya, pas kamu mau resmiin hotel nanti, biar cewek-cewek yang ada di sana pada meleleh liat anak mama yang ganteng ini," ucapnya-- mencubit hidung Aidan.
"Ah, mama bisa aja." Aidan hanya tersenyum dan meraih paperbag itu.
"Ekhem. Tumben, si es batu paling keras dibumi senyam-senyum," sindir Albara, tersenyum menggoda ke arah anaknya.
Cukup sudah, Aidan tidak bisa menahan senyuman lagi. Bibirnya tertarik lebar ke samping dan menampakkan deretan giginya.
Aidan sedikit salah tingkah, "Iya, Pa. Mungkin karena mood Aidan yang agak bahagia aja hari ini."
"Manis banget sih senyumannya, tetep bahagia ya, Nak." Sarah mengelus surai rambut putranya.
"Tetap bahagia, Aidan," Albara tersenyum dan melenggang pergi.
"Hm, apa Aidan mama lagi kasmaran, nih?" ucap Sarah, menaik turunkan alisnya.
Mendengar celotehan ibunya, ntah mengapa Aidan merasa malu untuk mengatakan perasaannya itu. Aidan cukup gengsi untuk mengatakan bahwa ia memiliki suatu perasaan kepada seorang gadis.
"Nggak ada apa-apa kok, Mah. Aidan lagi bahagia aja, karena sebentar lagi proyek yang sudah Aidan bangun beberapa tahun yang lalu sekarang sudah selesai dan akan segera dibuka," tutur Aidan. Sebenarnya Aidan tidak berbohong, memang ia sangat senang dengan hal ini juga, dan karena itu ia menjadikannya alasan saja.
***
Matahari sudah berada tepat di atas kepala. Udara panas, keringat yang bercucuran bahkan semua peralatan elektronik tidak dapat dihidupkan, suatu kesan yang mudah ditebak. Benar sekali, mati lampu.
Kediaman keluarga Aliya dan seluruh deretan perumahan sedang mengalami pemadaman listrik sementara, dikarenakan gardu listrik setempat mereka mengalami gangguan.
"Huuhh, Huuhh. Panas banget," gumam Aliya, mengipasi tubuhnya menggunakan kipas sate. Luka-lukanya terasa sangat pedih ketika terkena keringat.
"Panas banget!" tambah Aliza, yang sedang merentangkan tubuhnya di lantai keramik. Berharap bisa mengusir rasa gerah. Rasanya Aliza seperti terpanggang di oven.
"Ya ampun, kapan listrik kita hidup!" ricuh Aliya yang mulai gusar. Aliya sudah merasa tidak nyaman. Keringat terus menerus menerpa tubuhnya. Ditambah cuaca panas yang terasa ribuan derajat memanggang rumah-rumah.
"Ck, bisa nggak, sih, gak usah teriak-teriak siang bolong gini," ketus Miranda, yang sedang duduk santai di sofa sambil membaca majalah miliknya.
"Panas banget, Bun,"
"Jadi?"
"Bunda suruh kak Liza beliin es koki di warung."
"Kiko Yaya! Kiko!" ketus Aliza--yang tiba-tiba bangun.
"Hehe, kakak Yaya yang paling cantik dan baik hati sedunia," goda Aliya dengan seringainya.
"Hm?"
"Maukah Princess Aliza membelikan satu kilo es koki untuk Yaya?" Aliya tersenyum lebar dan menampakkan puppy eyesnya.
Ingin sekali Aliza menampol wajah yang sok imut itu.
"Cukup, Al. Gue mau ke warung dulu." Aliza mulai jengah mendengar celotehan adiknya.
"Yeay, kak Liza baik banget, deh," riang Aliya sambil mengangkat kedua tangannya ke atas, persis seperti anak TK.
"Makanya cepet sembuh, biar nggak minta tolong mulu," ejek Aliza, mencubit pipi adiknya sekilas.
"Heheh, iya Kak. Yaya cinta deh sama Kakak," pekik Aliya saat melihat kakaknya melenggang pergi keluar dari pintu.
***
Langit yang gelap, hujan mengguyur dengan deras, petir menyambar dan angin berhembus sangat kencang. Cuaca berbanding terbalik dari sebelumnya.
Ayesha dan Lily bersepakat bahwa akan pergi ke rumah teman mereka, ketika mendengar kabar, bahwa Aliya mereka mengalami kecelakaan dan terluka.
Tak lupa mereka membawa berbagai makanan ringan dan buah-buahan sebagai buah tangan.
Veer dan Gilang, kedua teman laki-laki Aliya pun ikut serta menjenguk Aliya.
Walaupun beberapa hari ini cuaca tidak mendukung, itu tidak masalah. Mereka tetap pergi menuju rumah Aliya untuk menjenguk keadaannya.
"Buka pintunya, Bang," Gilang berteriak--di depan pintu.
Lily memukul keras bahu Gilang, hingga membuatnya meringis. "Ngomong yang bener, bego." Lily menekankan kalimat akhirnya.
"Hehe iya-iya. Assalamu'alaikum." Gilang mengetuk pintu dengan pelan. Namun, tetap tak ada jawaban dari dalam sana. Beberapa menit berlalu. Mereka terus-menerus mengetuk pintu.
"Ada orang nggak sih di rumah?" Ayesha bertanya-tanya.
"Hm, nggak tau tuh. Coba panggil aja terus." Veer mencoba mendekat dan mengetuk pintu.
"Assalamu'alaikum, Aliya, buka pintu nya dong, say," Ayesha terus memanggil--sambil mengetuk pintu, namun tetap tidak ada jawaban.
Selang beberapa detik, akhirnya pintu rumah terbuka dan terlihat Aliya yang telah membuka pintu dengan raut wajah yang khas.
"Hooamm." Aliya menguap tanda mengantuk.
"Masuk." ia membuka lebar pintu dan mempersilahkan temannya masuk.
"Gila, Al. Lo kita panggil-panggil mulu dari tadi nggak ngejawab. Kaki gue sampe pegel gini," Gilang terus-menerus menggerutu. Hampir setengah jam mereka menunggu konfirmasi dari tuan rumah. Menunggu hingga pegal di luar rumah dengan hujan deras dan petir. Bisa memaklumi bahwa mereka semua kesal dengan Aliya.
Aliya menggaruk kepalanya. Gilang melangkahkan kaki memasuki rumah disusul oleh yang lain.
"Woy, kok gelap." pekik Lily.
"Iya, komplek gue lagi ada pemadaman listrik, jadi gelap gini," Aliya menggerutu dan membawa satu lilin yang ia pegang menuju meja sofa. Aliya meletakkan lilin itu di sana.
"Pantesan lampu teras lo mati," kata Lily--sibuk membuka berbagai kantong kresek yang mereka bawa.
"Btw, Bunda sama Kak Liza mana?" tanya Ayesha.
"Bunda pergi cari lilin di toko sama Kak Aliza, pake motor, tapi belum pulang-pulang juga, mungkin masih berteduh dulu, hujannya juga masih deras," jawab Aliya sambil memakan buah anggur di sana.
"Jadi, lo sendiri dirumah?" Gilang meninggikan suaranya.
"Ya iyalah,"
"Bagus, dong," Lily melirik Gilang sekilas.
"Nice," Gilang tersenyum smirk sambil menggosok kedua telapak tangannya.
Hal biasa. Mempunyai sahabat dengan satu frekuensi dan humor. Bukan sahabat jika mereka tidak akan membuat onar.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alcatras [ON GOING]
Genel Kurgu𝚂𝚊𝚝𝚞... 𝙳𝚞𝚊... 𝚃𝚒𝚐𝚊... 𝙿𝚎𝚛𝚖𝚊𝚒𝚗𝚊𝚗 𝚍𝚒𝚖𝚞𝚕𝚊𝚒! Keserakahan, keangkuhan, dan dendam. Tiga hal yang dimiliki oleh Tuan Onur. Segala cara dilakukan demi menjatuhkan dan menghancurkan musuh-musuhnya. Rahasia dan tertutup, pembuat...