Chapter 3

107 66 19
                                    


PART 3

Aidan telah sampai di pekarangan rumahnya. Ia membuka pintu mobil bagian tengah untuk mengambil beberapa berkas-berkas kantornya. Mata Aidan terpaku saat melihat benda hitam berbentuk persegi panjang duduk diam di kursi mobilnya.

Segera dia mengambil dan mengamatinya,
"Apa ini tas milik gadis, tadi?"

Aidan hanya terpaku sejenak. Bibirnya tertarik ke samping dan menampakkan senyum indah yang terukir.

***

Sinar matahari menembus jendela kaca dan mengusik tidur nyenyak seorang gadis yang tertidur sangat pulas itu. Ia menetralkan pandangan saat cahaya matahari masuk ke retinanya. Perlahan, gadis itu bangun dari tidurnya dengan posisi duduk, tak lupa diikuti oleh rambut yang acak-acakan.

Ia meraba-raba rak yang ada di samping tempat tidurnya dengan mata yang masih sedikit tertutup untuk melihat jam di ponselnya.

"Kok nggak ada?"

Sontak, mata Aliya langsung terbuka dengan lebar. "What, di mana ponsel gue!?" pekiknya tak percaya.

Aliya segera bangkit dari kasur dengan perlahan karena luka-lukanya masih terasa sangat sakit. Aliya mencari ponselnya dan mengacak-acak seluruh barang-barangnya. Namun, ia tetap tidak bisa menemukan benda itu.

"Astaga, di mana ponsel gue, ya ampun kok gue bisa pikun gini, sih!" Aliya mulai gusar ketika kehilangan benda itu.

Aliya berpikir sejenak dan mengambil posisi duduk di bibir kasurnya. "Gue taruh dimana, ya," gumamnya--mencoba mengingat-ingat.

Tiba-tiba, pikirannya bergeming saat mengingat, jika ia sama sekali belum menyentuh ponselnya sejak kemarin.

"Tapi 'kan, kemarin gue bawa tas, terus tas gue kemana, ya?"

"Tunggu dulu, apa ponsel gue hilang pas kemarin kecelakaan?" Aliya langsung menganga, matanya melotot tak percaya. Gadis itu berlari terbirit-birit keluar dari kamarnya.

***

"Nda, tolonglah Yaya, pliss," Aliya merayu, bergelayut di lengan bundanya.

"Kamu sih, ceroboh banget, udahlah ikhlasin aja," jawab Miranda acuh.

Aliya tidak akan menyerah begitu saja. Ia akan terus mencoba merayu sang Bunda.

"Bunda kok gitu sih, di dalam tas itu banyak skincare Yaya, Nda. Terus ada ponsel juga, mana tasnya branded lagi," ucap Aliya, memohon lagi agar bundanya mencari tahu keberadaan tasnya yang hilang.

"Halah, 'kan kemarin udah dapat uang dari Tuan itu, kamu beli aja yang baru," timpal Miranda.

Aliya menundukkan pandangannya, "Mana bisa gitu, Bun. Bunda kira ponsel Yaya nggak ada data-data yang kesimpen gitu?"

Miranda menghela napasnya pasrah. "Ya udah, nanti Bunda coba cari dulu, kalo nggak ketemu, Bunda minta tolong sama Ayah."

"Makasih Bunda." Aliya tersenyum lebar, antusias.

"Kamu istirahat aja, luka kamu juga belum sembuh. Nggak usah banyak gerak dulu okey, Aliya tunggu di rumah. Bunda lagi masak air di belakang, jangan lupa matiin," ucap Miranda sambil melenggang memakai jaketnya.

"Siap, Bun,"

Baru saja Miranda akan membuka pintu rumah, bel pintu rumahnya berbunyi. Miranda segera membuka pintu itu.

Mulutnya sedikit menganga ketika melihat seorang pria familiar di depannya. "Kamu yang kemarin, 'kan?" Miranda bertanya, terpaku.

"Iya Nyonya, benar sekali," jawab Aidan dengan senyum lebarnya, yang mampu membuat Miranda meleleh.

"Oh iya-iya. Silakan masuk dulu, Nak," kata Miranda. Aidan pun permisi untuk melenggang masuk.

Aliya sedang duduk santai di sofa ruang tamunya. Gadis itu mengerutkan dahi ketika melihat pria yang sangat tak asing duduk di sofa seberang.

What, itu 'kan Pak Aidan. Yang nabrak gue kemarin. Ngapain dia kesini?_batin Aliya.

Aliya langsung berdiri dan berjalan menuju sofa yang ada di tengah rumahnya dengan perlahan. "Pak Aidan," panggilnya.

Aidan tertegun dan menoleh ke belakang saat mendengar suara yang tak asing.

"Gadis itu?"_batinnya. Ia kembali memalingkan pandangan dan mencoba tidak mengukir ekspresi.

Aliya mendudukkan tubuhnya di sofa bersebelahan dengan Aidan duduk. Jantung Aidan kembali berdetak dengan kencang saat gadis itu berada di dekatnya.

Aidan meraba dadanya sesaat.
"Astaga, jantung,"_ batinnya, khawatir.

Aliya mengangkat satu alisnya. Melihat ekspresi Aidan yang terlihat cuek ketika dia menyapanya. Baiklah, Aliya tidak peduli. Sekarang, Aliya akan mencoba mencari tahu keberadaan handphonenya. Mungkin saja Si Tuan Menyebalkan itu mengetahuinya.

"Pak, bapak waktu pas saya kecelakaan lihat tas saya, gak? Warnanya....." ucapan Aliya terhenti karena Aidan menyelanya.

"Tas ini?" Aidan memperlihatkan sebuah tas hitam kecil di balik tubuhnya.

"Nah iya! Ini tas Yaya, Bun. Ternyata ada di Bapak, ya," ucap Aliya dengan girang sambil memperlihatkan deretan giginya. Miranda mengangguk dan tersenyum.

"Makasih ya, Pak." Aliya mengambil tasnya.

"Iya, sama-sama."

"Pak, saya minta maaf karena waktu itu saya sudah lancang memaki-maki Bapak," ucap Aliya menyesal, dan beranjak duduk di sofa yang sedikit jauh dari Aidan.

Aidan tertawa kecil melihat raut menyesal dari gadis itu. Menurut Aidan, itu sangat menggemaskan. "Iya, tidak apa-apa, saya maafin."

Tiba-tiba terdengar suara bising dari dapur. Pertanda, jika air yang dimasak telah mendidih.

"Kayaknya airnya udah mateng. Aliya, kamu di sini sebentar ya, Bunda mau buatin Tuan Aidan minum dulu," kata Miranda dan pergi menuju dapur.

"Iya bun."

Aidan melihat peluang besar yang bisa ia manfaatkan untuk mengobrol bersama gadis yang telah membuatnya terpikat. Sepertinya, gadis itu hanya tinggal berdua dengan ibunya, tak ada siapa pun di sana.

Bersambung.

Alcatras [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang