Kehidupan tidak selalu melahirkan kebahagiaan, dan kebahagiaan tidak selalu berasal dari sesuatu yang hidup
🌼🌼Tap ☆ sebelum membaca..
Rafa memberikan tepuk tangan sebagai upah atas permainan serulingku yang telah menghiburnya.
"Lain kali coba lagu lain, Bi," sarannya.
Pantas, sih, semua yang ku tampilkan di hadapannya barusan berupa lagu-lagu yang kupelajari dari dulu. Aku angkat topi atas kesediaannya mendengarkan sesuatu hal yang sama berulang-ulang.
"Kamu tahu keadaannya 'kan." Balasku sambil menampilkan senyuman masam.
Dia mengalihkan tatapannya kearah lain, lantas kami berdua sama-sama terdiam.
Sekilas informasi saja, aku sangat mencintai instrumen ini. Sebuah recorder diberikan padaku saat berulang tahun yang ke-tujuh. Semenjak itu aku sering melatih kemampuanku melalui Rumah Bimbingan di kota yang sama dengan tempat tinggalku sebelumnya.
Bagiku, bakat berasal dari minat yang dikembangkan. Aku sangat ingin menguasai bidang itu, makanya aku sangat keras berlatih. Walaupun ilmu bermusik yang kudapat dari bangku bimbingan tidak lagi berlanjut, aku tetap belajar.
Sendiri, benar-benar sendiri. Bahkan kemampuanku membaca partitur pun dilalui dengan keadaan seperti itu. Diam-diam. Aku hanya bertahan dua hari di tempat pelatihan. Sekedar diberi contoh serta materi dasar, itupun tidak berlangsung lama.
Untungnya aku dapat dengan mudah mengaplikasikan contoh dan masukan dari pemain lain. Dengan bermodalkan penglihatan serta ingatan, aku dapat menghasilkan nada serupa yang cantik.
"Besok datang ke rumahku, kita pelajari lagu baru."
Rafael Ardilekha Winata. Temanku satu-satunya, sekaligus sosok yang selalu setia mensupportku. Padahal, dia sama sekali tidak suka musik.
"Gak apa-apa Raf, aku ada les bahasa besok." Tolakku halus.
Kulihat Rafa menaikkan kedua sudut bibirnya, dia tipikal orang yang mudah sekali tersenyum.
"Kayak yang kamu les setiap detik aja. Pasti ada waktu luang 'kan meski cuma sedikit?"
"Iya, tapi aku harus belajar." Tanpa sadar aku mengatakan hal itu dengan ketus. Selama ini aku selalu bisa menyembunyikan suasana hati dengan baik. Hari ini benar-benar lost control. Tidak hanya hari ini saja, sih. Berada di sekitar Rafa selalu begitu.
Aku menghindari kontak mata dengannya, takut kelepasan lagi. Kulirik jam di pergelangan tangan. Oh tidak, wanita it- maksudku ibuku pasti akan murka jika dalam waktu sepuluh menit lagi aku belum sampai juga di rumah.
Rafa terkejut dengan aksiku loncat dari meja yang kami duduki secara tiba-tiba. Dia menatapku dengan sorot mata menyalang.
"Kamu ini, kalau jatuh gimana?!"
Ah, raut mahluk yang sedang mencemaskanku itu sangat menggemaskan.
"Maaf Raf, aku juga sama terkejutnya. Lupa bilang tadi kalau hari ini jadwal Mama jemput aku pulang sekolah. Aku pergi dulu, ya! dadaaah.."
Tanpa mempedulikan balasannya, aku melambaikan tangan dan lari menjauh. Meski berat, aku membalikkan badan dan lekas berlari menuju satu tempat yang ku sebut rumah.
🍎🍎
Aku meringkuk diatas kasur, satu-satunya tempatku meluapkan segala keluh kesah. Tempat tak bersalah yang terkadang jadi samsak kekesalan pemiliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Obsessive Friend (On-going)
Teen Fiction** Memiliki sahabat yang terobsesi padanya, menariknya untuk masuk kedalam pusaran masalah seiring waktu berjalan. Pilihannya hanya dua. Menjadi tawanan, atau kekasih💋