Tap vote🌟.
Jangan sungkan buat coment guys^^ Tapi kalo nggak mau juga isokeeyy.. Happy reading🌝..**
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku merapikan peralatan belajar dengan gerakan kilat sampai dibuat kesal sendiri.
Pulpen yang hendak kuambil dari atas meja terasa licin, terjatuh menggelinding ke lantai. Kalau sedang buru-buru semua hal terasa menjengkelkan memang.
Benda itu tak ku pedulikan, tanpa berleha-lagi segera keluar dari kelas, bahkan tanpa sengaja menabrak siswa lain yang memenuhi area koridor.
Karena menyerobot antrean itulah, aku tidak bisa menahan keseimbangan begitu tanpa sengaja tubuh krempengku menabrak tubuh tegap seseorang. Sial sekali, sudah kuduga endingnya menyebalkan.
Aku hanya bisa tersenyum bodoh pada orang-orang yang menatapku seperti melihat orang gila. Entah kenapa, Semakin aku ingin menjauh, semakin semesta menuntunku padanya.
"Ngapain kamu?" tanya Rafa datar.
Pandanganku menghunus padanya, bisa kulihat dia menautkan kedua alisnya kutatap seperti itu.
Tangan Rafa terulur untuk membantu, namun dengan segenap harga diri yang kupunya aku memilih bangkit sendiri. Tidak ingin terlihat semakin payah di hadapannya.
"Maaf," gantian aku yang keheranan. Tidak ada angin, tidak ada hujan apalagi badai, si Rafa ini tiba-tiba mengucapkan kata yang seharusnya keluar dari mulutku.
"Kamu gak perlu nyindir. Maaf," ketusku sambil melanjutkan perjalanan.
Rafa menyelaraskan langkahnya denganku, membuat kami berjalan bersampingan. "Harusnya aku tunggu aja depan kelas kamu, pasti gak bakal jatuh begitu."
Aku tidak bisa berkata-kata dibuatnya. Sempat berhenti sebentar untuk melontarkan beberapa kata. "Aku cuman lagi buru-buru dan kebetulan nabrak kamu. Kalo aku tahu itu siapa, mending nabrak orang lain aja."
"Kenapa gitu?"
Aku hanya menggeleng, entah Rafa menyadarinya atau tidak.
"Eh, Raf, kamu gak mau kemana dulu, gitu?" ucapku begitu kami keluar dari gedung tempat pembelajaran biasa dilaksanakan.
"Kemana aja kamu pergi, aku ikut."
Padahal bukan itu maksudku..
"Mau makan di luar?"
"Ke toko buku?
"Mall?"
Leherku sampai pegal menggeleng, membalas serentetan pertanyaan yang keluar dari mulutnya.
"Hotel?" Hampir saja aku melemparkan kerikil ke kepalanya, namun niatanku terhenti begitu menyadari sepasang mata menyorot kami.
Dia Nanat, masih belum beranjak dari sekolah padahal sudah aku izinkan ke pihak absensi. Akhirnya kusuruh Rafa berjalan terlebih dahulu, yang tentu saja diwarnai protes darinya.
Nanat tampak tersentak saat aku mengangguk kearahnya, namun tak lama kemudian dia membalas dan langsung tancap gas. Sempat heran juga sebenarnya.
Bukan hal baru jika mobil jemputan langsung masuk ke area sekolah yang luas lapang parkirnya tak kira-kira, namun ini untuk pertama kalinya aku melihat Nanat menaiki kendaraan roda empat itu.
Sekali lihat, siapapun bisa langsung tahu kalau dia orang berada. Namun bisa dikatakan dia tidak mengekspos kehidupan pribadinya sedikitpun, berikut keluarga ataupun orang-orang yang mengenalnya.
Pulang maupun pergi pasti menaiki ojol atau taxi online, itupun tidak pernah langsung melintasi gerbang yang menjadi akses keluar masuk sekolah.
Entah Rafa melihat atau tidak, namun disaat aku mengangguk itulah dia menuruti ucapanku untuk memimpin perjalanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Obsessive Friend (On-going)
Teen Fiction** Memiliki sahabat yang terobsesi padanya, menariknya untuk masuk kedalam pusaran masalah seiring waktu berjalan. Pilihannya hanya dua. Menjadi tawanan, atau kekasih💋