6

2.7K 141 4
                                    

Vote and coment dulu yaww⛄⛄

___

Hari ini berjalan sebagai mana mestinya. Di depan sana seorang guru tengah menjelaskan materi, sementara siswi sok pintar sepertiku malah sibuk menatap jendela, memerhatikan tetes tetes demi tetes air yang berjatuhan dari langit.

Dedaunan hijau serta buah belimbing muda yang terguyur hujan itu menarik perhatianku. Tak ada yang spesial memang. Alasannya sangat sederhana,  aku senang melihatnya. Sebatas itu.

Tubuhku tersentak begitu merasakan sesuatu menempel di pipi kanan, yang rupanya telunjuk seseorang. Namun aku jauh lebih terkejut lagi begitu Pak Bambang yang sebelumnya berada di depan semua murid malah berdiri tepat di hadapanku.

Jantungku berdetak cepat saking kagetnya melihat bola mata guru Bahasa Indonesia yang terkenal receh  itu melotot dengan jarak kurang dari sepuluh centi meter.

Pak Bambang kembali berdiri tegak. Ekspresinya berubah, memamerkan senyuman tengilnya.

"Gak ada yang bisa larang Mata kamu kalo mau nyangkut di Revan yang bening semriwing evening morning tahi kucing itu kalo semisal enek ngeliat muka Bapak. Tapi pendengaran harus tetep ke pelajaran, dong." Ujarnya dengan nada jenaka.

Apa katanya?

Aku menatap Evan, siswa paling jenius di kelas yang kebetulan sedang menatapku. Anehnya dia segera memalingkan wajah begitu netra kami bertubrukan.

Aku hanya diam saat teman-temanku yang lain menyerukan kata "cie" beramai-ramai. Baru setelah berhasil menganalisis akar permasalahannya aku tersadar.

"Saya lihat kaca, Pak." Terangku.

"Memang siapa yang nuduh kamu lihat Revan? kamu sendiri yang merasa." Pak Bambang menggedikan bahu. Selaras dengan tawa renyah yang keluar dari seisi kelas, kecuali aku, Nanat dan Evan sendiri tentunya.

"Itu.."

"Ah, sayangnya Bapak lihat sendiri."

"Buk -"

"Sudah-sudah. Itu privacy kamu, kok. Sekarang, bisa fokus dulu?"

Apanya yang Privacy, dia sendiri yang membeberkan kesalah fahaman itu ke seisi kelas. Tidak ingin memperpanjang masalah, akupun mengangguk. Kesal sekali karena tidak ada kesempatan untuk meluruskan.

Setiap detiknya terasa sangat lama. Selama hampir dua tahun bersekolah, aku hampir tidak pernah menantikan waktu istirahat. Namun sepertinya hal itu tidak berlaku hari ini.

Jika seandainya tidak ada suara bising yang dihasilkan oleh hujan, aku yakin gemuruh di perutku akan dapat didengar teman sekelas.

Sekarang aku mengerti kenapa orang-orang berkata bahwa suara bel istirahat bagai lantunan lagu yang terdengar merdu, karena itu terjadi padaku saat ini. Aku memasukkan semua peralatan belajar kedalam tas sekaligus, tanpa memilah dulu mana yang mesti dimasukkan ke tempat pensil.

Hasna, yang sempat beberapa kali berinteraksi denganku walau tidak terlalu akrab bertingkah jahil dengan sengaja menyenggol tubuhku hingga mengenai Evan. Sontak saja aku memelototkan mata kearah gadis berkucir kuda itu.

Itu tidak berlangsung lama, sebab setelahnya pandanganku menghambur kearah cowok yang nampak tidak terpengaruh oleh keberadaan kami meski cukup mengusiknya.

"Evan, maaf."

Astaga, apa dia marah? Evan berlalu begitu saja tanpa mempedulikan perkataanku.

"Gara-gara kamu," sewotku.

My Obsessive Friend (On-going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang