Tap vote ya 😶. Yang ini🌟
udah? happy reading..•••
_Author_
"Kelompoknya mau ditentuin sama Ibu atau kalian sendiri yang atur?" tanya Bu Fida, Guru PKK (Produk Kreatif dan Kewirausahaan).
"DIATUR SENDIRI AJA BU.." Jawab beberapa murid serempak.
"Oke, Ibu ngikut suara terbanyak aja seperti biasa. Kalo gitu kalian pilih anggota kelompok kalian mau sama siapa, maksimal enam orang. Tapi mungkin nanti ada yang bakal lima orang karena jumlah kalian ganjil. Ibu beri kalian waktu tiga puluh menit buat bentuk kelompok sama nentuin materi plus siapin presentasinya. Semuanya harus tuntas hari ini, gak boleh ada yang ditunda sampai minggu depan. Siap semuanya?"
"SIAP BU.."
Baru satu langkah Bu Fida melewati pintu, suasana di kelas sebelas TKJ 1 berubah drastis. Semua orang seperti berlomba-lomba untuk meninggikan suara. Yang jelas, jajaran sepuluh besar di kelas jadi rebutan.
Rubi kurang suka dengan cara penentuan kelompok seperti ini. Anak-anak yang di cap kurang pandai, terutama bila tidak diiringi dengan kemampuan interaksi sosial yang bagus akan terkena dampaknya.
Hasna, misalnya. Dia bisa dengan mudah menggaet siapa saja teman sekelompok yang diinginkannya. Meski fehamannya terhadap materi tergolong standar, presentasi bisa terlihat lebih hidup berkat keterlibatannya, karena dia memiliki kemampuan speaking yang baik dilengkapi bumbu humor menarik orang-orang untuk memperhatikan penerangannya.
Hal seperti ini menyebabkan timbulnya kerumpangan. Satu kelompok sangat bersinar karena semua murid cerdas, istilahnya, berkumpul disana. Dan ada pula yang sebaliknya. Hal itu memicu kurangnya rasa percaya diri, sehingga pada saat presentasi pun mereka tidak bisa melakukannya dengan baik, karena kurangnya keyakinan mereka terhadap diri sendiri itu tadi.
Rubi hanya diam diatas kursi, menolak ajakan beberapa temannya yang mengajaknya bergabung. Dia sempat meminta Nanat untuk menjadi rekan satu kelompoknya yang langsung diangguki gadis pendiam itu. Padahal Natasha adalah juara ketiga di kelas, namun karena dia mendapati julukan 'si aneh', banyak orang tidak mau berada satu ruang lingkup dengannya. Meskipun begitu Rubi tidak melakukan semua itu untuknya, dia hanya malas dengan orang-orang yang baik padanya hanya ketika ada maunya saja.
"Rub, udah punya kelompok?" tanya Jureko.
Rubi menggelengkan kepala, "belum."
"Gue join, boleh?"
"Oke, kalo bisa cari satu lagi. Gue udah." Rubi menunjuk Nanat.
"Gampang."
Tak beberapa lama kemudian Jureko datang dengan Evan. Rubi menatap tak percaya kearah mereka. Juara kelas belum ditarik kelompok manapun? tidak mungkin.
"Dia-"
"Evan sendiri yang nawar. Udah, kita mulai aja langsung." Jureko duduk di tempat Mira, di belakang Nanat. Rubi dan Nanat sendiri memutar arah kursi mereka sehingga keempatnya duduk berhadapan.
Diantara mereka hanya Rubi dan Jureko yang menyampaikan masukan, Evan sesekali menimpali, sementara Nanat hanya diam. Terkadang menjawab jika ditanya setuju atau tidak. Kata "setuju" senantiasa keluar dari mulutnya. Itulah alasan kesekian kenapa dirinya dianggap tabu oleh teman sekelas. Otaknya memang berpotensi, tetapi tidak bisa dimanfaatkan.
Mereka larut dalam percakapan itu, sampai masuk Bu Fida dengan secangkir teh manis panas di tangannya. "Gimana, sudah ada kelompok yang siap maju ke depan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Obsessive Friend (On-going)
Teen Fiction** Memiliki sahabat yang terobsesi padanya, menariknya untuk masuk kedalam pusaran masalah seiring waktu berjalan. Pilihannya hanya dua. Menjadi tawanan, atau kekasih💋