Musim hujan sudah memasuki penghujung akhir bulan Januari di tahun ini. Bulan pertama di tahun yang sama sekali tidak terpikirkan dan menjadi mimpi buruk bagi Willona.
Ia membiarkan jendela kamarnya terbuka, mengizinkan udara malam yang dingin membawa rintik hujan masuk membasahi tepi kamarnya. Pintu kamarnya berulang kali diketuk, namun ia tidak berniat menggerakkan dirinya untuk membuka pintu.
Kejadian sore tadi di restoran sushi tidak berakhir begitu saja. Ezra terus membuntutinya dengan mobil Jeep yang ia gunakan. Hingga akhirnya ketika malam datang dan hujan turun menumpahkan seluruh isinya dan membasahi Ezra yang berdiri menunggunya di depan pekarangan rumah Joshua, memaksanya untuk pulang dan mengikuti perkataan pria gila itu.
Rencana untuk melarikan diri sudah buntu di pikirannya. Willona sudah kehabisan cara setelah Ezra, pria yang dikenalnya hampir sebulan terakhir melukai orang lain. Willona tidak ingin orang lain terluka karena dirinya.
Sebuah kain tebal berbahan wool menyelimuti dirinya. Ia tak bergeming. Siapa lagi yang dapat membuka pintu kamarnya sesuka hati selain dirinya sendiri?
"Makan."
Willona tidak menanggapi satu kaya yang terlontar dari mulut Ezra. Terdengar helaan nafas cukup panjang di belakangnya.
"Luna, ayo makan."
"Gue gak laper."
Tidak ada balasan dari Ezra. Willona masih memandang lurus ke arah luar jendela yang terbuka, yang mengarah langsung ke pekarangan luas cluster mewah ini.
Berjalan melewatinya, Ezra menutup jendela kamar Willona yang semakin membasahi sofa karena hujan turun semakin deras. Setelahnya, Ezra berlutut di hadapan Willona dan menggenggam pergelangan tangan perempuan itu. Namun langsung di tepis dan tidak ada niatan Willona menatapnya.
"Saya minta maaf."
Lagi, Willona tidak merespon kalimat itu. Ezra menarik napasnya lagi, mencoba terus membujuk makhluk ciptaan Tuhan yang paling istimewa.
Tangannya bergerak mengusap rambut dan pipi Willona, kemudian menggerakkannya untuk menatap matanya.
"Luna, saya minta maaf atas perlakuan saya tadi ke teman kamu."
Willona hanya menghela napas dan kembali membuang wajahnya, tidak ingin menatap wajah Ezra.
Mendapatkan perlakuan dingin, Ezra bergerak maju, mendekatkan dirinya dengan Willona. Tangannya berusaha meraih wajah perempuan yang mempesona di hadapannya, sejengkal sebelum menyentuh hal yang ingin ia rasakan sepenuhnya, ia hanya berakhir mengusap lembut pipi perempuan ini.
"Kamu masih mau orang tua kamu selamat, bukan?"
Kalimat itu sukses mendapatkan perhatian Willona, meskipun Ezra harus mendapatkan tatapan tajam dari perempuan itu. Setidaknya perempuan itu mau menatapnya.
"Lakukan ini untuk orang tua kamu. Sekarang, ayo makan."
Ezra berdiri dan mengulurkan tangannya, berusaha mengajak Willona. Perempuan itu berdecih.
"Pathetic."
"Luna!"
"Lo anggap gue rendahan, ya? Lebih baik lo bunuh gue daripada lo terus ngancem dengan bawa-bawa orang tua gue yang gak tau dimana keberadaannya sekarang."
"Kalau saya bisa, saya sudah lakukan semua itu dari awal," bisik Ezra.
Suara Ezra yang cukup kecil itu berhasil di tangkap indra pendengarannya. Willona bangkit dan meluapkan amarahnya. Ia meraih pisau buah yang ada di depannya, meraih telapak tangan Ezra dan mengarahkannya tepat ke lehernya.

KAMU SEDANG MEMBACA
SAVIOR • PCY
Fanfiction🔞⚠️ MATURE CONTENT ⚠️🔞 Willona tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah 180⁰ setelah perusahaan yang orang tuanya miliki bangkrut. Yang lebih parah daripada itu, Willona terpaksa harus tinggal dengan seorang pria yang "menculiknya" karena huta...