01. Halte

32 8 30
                                    

Jam menunjukkan pukul 4 lewat 15 menit saat Naya berjalan kaki untuk pulang ke rumah, sudah terlalu sore untuk anak SMA sepertinya masih berada di jalanan dengan seragam sekolah. Tapi Naya sungguh tidak peduli. Bahkan sepertinya gadis itu terlihat enggan untuk pulang, atau hanya sekedar menginjakkan kaki di halaman rumahnya.

Jujur, kalau saja Naya punya keberanian pada orang-orang di rumah, dia tidak akan pulang bahkan sampai matahari yang sudah terbenam, kembali menampakkan dirinya.

Pulang ke rumah sebenarnya sama saja membuat dirinya yang sudah hancur semakin di hancurkan. Tapi apa yang bisa dilakukan Naya selain menuruti aturan-aturan yang menyiksa dirinya? Tidak ada.

Gadis itu tidak punya cukup keberanian untuk melawan. Dia lemah. Definisi putus asa yang sebenarnya. Bahkan mungkin, Naya juga sudah mati rasa.

Dia hanya akan hidup, mengikuti alur. Dia hanya akan hidup, sampai batas waktunya hidup. Dan Naya berharap, dirinya sudah dekat dengan batas itu.

Hampir 10 menit berjalan kaki, Naya memutuskan untuk beristirahat di halte bus yang kebetulan Ia lewati. Gadis itu mendaratkan bokongnya di sana, sambil membuka sebotol air mineral yang Ia beli di warung tadi.

Naya meneguk isinya hingga setengah, kemudian menutup kembali botol air mineralnya. Membutuhkan waktu kurang lebih 5 menit lagi untuknya sampai di rumah, tapi ayolah... Naya hanya ingin mengulur sedikit waktu sebelum dia kembali disiksa.

"Tangan lo kenapa?"

Naya tersentak kaget, dengan cepat menoleh saat suara berat itu terdengar. "Apa?"

"Tangan,"

Refleks Naya mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan banyak bekas luka dari sayatan cutter di lengan bagian dalamnya.

"Astaga, masih ada ya ternyata orang-orang yang suka ngelukain diri sendiri." Cowok itu berujar, membuat Naya kembali menatapnya.

"Maksud?"

"Seharusnya lo gak perlu ngelakuin hal segila ini. Sayang tubuh lo. Tuhan menciptakan tubuh lo buat lo jaga, bukan lo rusak."

Naya mendengus geli, lalu menurunkan tangannya kembali. "Orang yang hidupnya baik-baik aja, mana tau beginian."

"Oiya?"

Naya mengangguk, "Gue ngelakuin ini buat nenangin diri aja."

"Setahu gue, banyak cara nenangin diri yang lebih baik, tanpa harus ngelukain diri." Cowok itu tersenyum tipis setelahnya, membuat Naya mengerutkan kening bingung. "Oh, kita belum kenalan. Gue Dirga, lo bisa panggil gue kak Dirga karena gue lebih tua dari lo."

"Tau darimana?"

"Lo masih pake seragam SMA, sedangkan gue udah kuliah semester 3."

Naya ber-oh tanpa suara, mengangguk sebanyak dua kali sebagai respon. "Gue Naya. Hai, kak Dirga." Katanya.

"Hai Naya."

Mendengar sapaannya di balas, entah kenapa membuat Naya tertawa geli.

"Sebenernya ini bukan pertama kalinya gue ngeliat lo di sini," Ucap Dirga.

Naya mengangkat kedua alisnya, kemudian bertanya, "Sebelumnya kita pernah ketemu?"

"Gak. Bukan ketemu. Gue yang liat lo, kemungkinan lo gak liat gue waktu itu."

"Kapan?"

"Dua hari yang lalu. Gue ngeliat lo dari sana," Dirga menunjuk bangunan Alfamart diseberang jalan. "Waktu itu hujan kalau gak salah." Lanjutnya.

Naya mengangguk paham. "Dua hari yang lalu ya..." Ucapnya pelan.

"Dan waktu itu lo juga pake seragam."

Kak DirgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang