02. Telepon

14 6 29
                                    

Naya sampai di rumahnya saat jam tepat menunjukkan pukul 5, saat langit dengan warna biru tenang berpadu dengan warna oranye yang begitu indah. Naya membuka pintu utama rumahnya setelah menghela nafas berat.

Di ruang tamu tidak ada siapapun, membuat hati Naya sedikit lega. Setidaknya dia bisa beristirahat sebentar sebelum Ayahnya datang dan membuat telinganya sakit. Gadis itu lanjut berjalan menaiki tangga menuju lantai dua dengan tenang.

"Dari mana aja kamu?"

Sialan, batin Naya. Di tengah anak tangga yang Ia pijaki, Naya menoleh pada Ayahnya. "Bukan urusan Ayah." Jawabnya.

"Kamu pikir bagus jawab orang tua begitu?"

Naya mulai menghela nafasnya, "Naya dari sekolah, Yah."

"Anak sekolah mana yang pulang sesore ini?!" Ayah Naya mulai membentak.

Gadis itu mengulum bibir sejenak, kedua tangannya mengepal, meredam emosi. "Kenapa Ayah peduli? Bukannya Ayah pernah bilang, Naya gak pernah Ayah inginkan?"

"Tapi kamu tetap anak Ayah."

Naya mendengus geli, "Ayah mana yang tega menyiksa anaknya sendiri?"

"Ayah gak akan nyakitin kamu, kalau kamu mau nurut sama Ayah!"

"Ayah gak pernah kasih aku kebebasan." Ujar Naya, kemudian tertawa. Tawa yang sialnya membuat hatinya semakin sakit. "Ayah gak pernah biarin aku ngelakuin apa yang aku mau. Ayah gak pernah biarin aku hidup dengan caraku sendiri. Ayah larang semuanya!"

"Coba Ayah pikir, pernah gak Ayah dengerin aku sekali aja?! Semenjak Bunda pergi, pernah gak Ayah ngebelain aku?!" Gadis itu berteriak, kemudian menangis. "Ayah selalu dibuat buta sama cinta! Ayah selalu lebih percaya wanita itu daripada aku! Padahal aku ini anak Ayah! Aku darah daging Ayah!"

Kemudian Naya berlari menaiki tangga, meninggalkan sang Ayah yang masih terdiam di tempatnya. Entah apa yang sedang pria itu pikirkan, Naya tidak peduli. Dia bahkan tidak berharap Ayahnya akan berubah setelah ini, karena Naya tahu hal itu terlalu tidak mungkin.

Gadis itu masuk kedalam kamarnya, mengunci pintunya kemudian melemparkan tas sekolahnya ke sembarang arah. Dia berjalan kearah meja belajarnya, mengambil sebuah cutter ditempat pensil yang ada di sana.

Naya sempat terdiam sejenak saat dia memegang benda tajam itu di tangannya, ditatapnya benda itu dengan mata yang basah karena menangis. Gadis itu mengangkat tangan kirinya, melihat banyak bekas goresan cutter di sana.

Seketika terlintas di kepalanya, sebuah kalimat yang diucapkan seseorang saat di halte bus padanya.

"Tuhan menciptakan tubuh lo buat lo jaga, bukan lo rusak."

***

Dulu saat masih SMP, saat jam pelajaran olahraga Naya bisa jadi yang paling semangat untuk praktek di lapangan. Namun entah menapa sekarang untuk berganti baju olahraga pun Naya malas sekali, gadis itu merasa lebih baik diam mencatat materi daripada praktek.

Tapi mau tidak mau Naya harus tetap ikut. Walaupun bisa saja Naya berpura-pura sakit agar disuruh beristirahat di UKS, tapi akting Naya tidak sebagus itu sehingga dapat meyakinkan Pak Daru jika dia benar-benar sakit.

Gadis itu kini sedang berdiri di depan lokernya yang terbuka. Awalnya memang dia ingin mengambil baju olahraganya, tapi tiba-tiba saja ponselnya yang ada di dalam loker berdering.

Ada sebuah panggilan masuk dari orang yang tidak dikenal.

Naya mengernyit, kemudian memutuskan untuk mengambil benda pipih itu dan membawanya ke tempat yang tidak terlalu banyak orang. Setelah itu barulah dia menggeser ikon berwarna hijau, dan menempelkan ponsel ke telinganya.

"Halo?"

"Halo, ini Naya kan?"

Gadis itu mengerutkan dahi. Dia pernah mendengar suara ini, namun entahlah... dia tidak yakin.

"Iya ini Naya, ini siapa ya?" Tanyanya kemudian.

Orang di seberang sana terkekeh pelan, "Dirga."

"Kak Dirga?!" Itu refleks, Naya langsung menutup mulutnya dengan tangan setelahnya. "Lo dapet nomor hape gue darimana, Kak?"

Hening sejenak, sebelum akhirnya Dirga memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Naya. "Lo masih di sekolah?"

Naya yang masih agak terkejut pun menjawab, "Iya, masih. Lo di kampus ya, kak?" Tanyanya balik.

"Gak, gue di kost."

"Ohh... terus kenapa lo telepon gue?"

"Mau mastiin aja, kalau ini beneran nomor telepon lo."

Jawaban Dirga membuat Naya tertawa, "Lo bisa chat kan?"

"Kurang efektif."

Lagi-lagi Naya tertawa.

"Pulang sekolah jam berapa?" Tanya Dirga dari seberang telepon, membuat tawa Naya mereda.

"Kenapa lo nanya hal begini?"

"Kalau gak mau jawab, gak papa."

Naya diam sebentar, "Jam 2."

"Oke."

Naya terkejut, "Oke?!"

"Emang lo berharap gue jawab apa?"

"Ya... gak ada sih," Naya jadi seperti orang bodoh, gadis itu menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal sebelum kembali bicara, "kalau gak ada kepentingan, gue tutup sekarang ya, Kak? Bentar lagi jam pelajaran mulai soalnya."

"Bentar." Dirga menyela cepat, membuat Naya harus mengurung niatnya yang hendak menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Ada apa?"

Hening beberapa menit, Dirga tak kunjung mengucapkan sepatah kata pun pada Naya. Hal ini membuat Naya heran, namun juga kesal karena Dirga telah membuang-buang waktunya.

Hingga pada akhirnya, Naya memutuskan untuk membuka suara terlebih dahulu.  "Kak, kalau lo gak—"

"Kalau gue jemput lo pulang nanti, boleh?"

---

akk!
wkwkwkwk
oke, gaada note karena again.... gue pusing njir nulis tengah malem:)))

maapin kalau ceritanya gak jelas, gue kan ngarang hahahahh!
dahlah,

babay~

Selesai ditulis pada18 September 202102:07🍁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selesai ditulis pada
18 September 2021
02:07
🍁

Kak DirgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang